Silsilah & Biografi Singkat Syekh Siti Jenar

Silsilah & Biografi Singkat Syekh Siti Jenar dan hubungan beliau dengan Syekh Datuk Kahfi, pangeran Panjunan, dan Pangeran Santri Sumedang.

Oleh : Sofia Abdullah

Syekh Siti Jenar adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat berpengaruh dan dihormati pada masanya bahkan hingga saat ini. Sayangnya Kisah Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur dan banyak ketidak jelasan karena banyak kisah-kisah tidak masuk akal yang tidak bisa dibuktikan oleh ilmu sejarah.

Kenapa bisa demikian?

Hal ini terkait dengan sumber-sumber sejarah yang mengisahkan tentang Syekh Siti Jenar. Sumber-sumber ini umumnya dibuat ratusan tahun setelah masa Syekh Siti Jenar hidup, dan memiliki banyak kepentingan. Umumnya sumber-sumber ini bergantung pada sumber-terdahulu hanya diberi sedikit tambahan keterangan.

Diantara sekian banyak sumber yang telah kami telusuri sejak tahun 2010, terdapat 3 buku yang menjadi rujukan hampir di setiap buku yang mengisahkan Syekh Siti Jenar, yaitu : Serat Siti Jenar yang ditulis oleh Raden Panji Natarata tahun 1917, sumber utama buku ini adalah Babad Tanah Jawi, dan Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara. Sayangnya ketiga buku ini adalah buku-buku salinan yang disalin pada era kolonial, yang didalamnya terdapat banyak penambahan dan pengurangan baik yang disesuaikan dengan kaidah penulisan sastra Jawa ataupun disalin kembali dalam bentuk prosa untuk memudahkan kepentingan penguasa kolonial saat itu.

Silsilah & Biografi Singkat Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar adalah putra seorang bangsawan dan ulama asal Malaka, bernama Syekh Datuk Saleh bin Syekh Isa Alawi. Ayah beliau menjabat kedudukan penting di Malaka hingga jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Keluarga Syekh Siti Jenar kemudian hijrah ke Caruban Nagari. Di negeri inilah Syekh siti jenar dilahirkan. Caruban pada saat itu masih menjadi Pakuwuan Caruban atau Caruban Larang setingkat kecamatan saat ini. Kota tempat kelahiran Syekh Siti Jenar sekarang lebih di kenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon.

Lokasi Kecamatan Astana Japura, tempat kelahiran Syekh Siti Jenar

Seperti umumnya kaum bangsawan saat itu, Syekh Siti Jenar memiliki 3 nama; nama kecil atau nama lahir, nama julukan dan nama gelar jabatan. Ketiga nama ini umum digunakan oleh para tokoh pemimpin atau ulama pada masa itu. Syekh Siti Jenar lahir dengan nama Hasan Ali Anshar, setelah dewasa dan menjadi ulama beliau dikenal sebagai Syekh Abdul Jalil. Gelar Syekh Siti Jenar cukup banyak, gelar beliau yang paling dikenal adalah Syekh Siti Jenar, Sunan Kajenar dan Syekh Lemah Abang. Gelarnya ini menunjukkan lokasi tempat beliau pernah mengajar dan membuka pesantren selama hidupnya.

Berikut silsilah lengkap Syekh SitiJenar

  1. Syekh Siti Jenar/Syekh Abdul Jalil/Hasan Ali Anshar bin
  2. Syekh Datuk Saleh bin
  3. Syekh Isa Alawi atau Datuk Isa bin
  4. Ahmad Syah Jamaludin Husein aķbar, petinggi di Gujarat India bin
  5. Sayyid Ahmad Syah Jalal aka Ahmad Jalaluddin al Khan bin
  6. Syekh Abdullah Khanuddin/Azhamatkhan bin
  7. Sayid Amir Abdul Malik al Qazam/al Muhajir Azhmatkhan (Nasrabad) bin
  8. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadramaut, Yaman, makam: Oman) bin
  9. Muhammad Shahib Mirbath (lahir di Hadramaut, Yaman, wafat di Oman) bin
  10. Sayyid Ali Khalli Qasim bin
  11. Sayyid Alawi Ats Tsani bin
  12. Sayyid Muhammad Shohibush Saumi’ah bin
  13. Sayyid Alawi Awwal bin
  14. Sayyid al Imam Ubaidillah bin
  15. Sayyid Ahmad al Muhajjir bin
  16. Sayyid Isa an Naqib ar Rummi (Basrah, Iraq) bin
  17. Sayyid Muhammad an Naqib bin
  18. Sayyid al Imam Ali Uraidhi bin
  19. Sayyidina al Imam Ja’far Shadiq (Madinah) bin
  20. Sayyidina al Imam Muhammad al Baqir bin
  21. Sayyidina al Imam Ali Zainal Abidin bin
  22. Sayyidina al Imam Husein as Syahid bin
  23. Sayyidina al Imam Ali bin Abi Thalib wa Fatimah Zahra binti
  24. Muhammad Rasulullah saw

Masa muda Syekh Siti Jenar digunakan untuk menuntut ilmu dari satu guru ke guru yang lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Guru pertama Syekh Siti Jenar (SSJ) adalah ayahnya. Selama dalam pendidikan ayahnya, SSJ sudah mampu menghafal Al Qur’an pada usia 12 tahun. Pada usia remaja hingga dewasa SSJ belajar pada beberapa ulama di Persia, Gujarat, dan Malaka. Kembali ke Tanah air beliau menjadi ulama yang dihormati, mendirikan banyak pesantren dan memiliki banyak murid dari mulai ujung Jawa Barat hingga Jawa Timur. Diantara muridnya yang terkenal adalah Ki Ageng Pengging dan putranya Hadiwijaya yang lebih dikenal dengan Joko Tingkir, yang kemudian menjadi pemimpin tertinggi kasunanan di Jawa yang beribukota di Pajang.

Syekh Siti Jenar hidup pada akhir abad ke-16. Berdasarkan penelitian M.C Riclefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern, pada akhir abad 16 ini di Jawa terjadi pergolakan politik dan kekuasaan. Pergolakan politik ini terjadi antara sistem pemerintahan lama yaitu sistem pemerintahan Dewan Wali atau Kasunanan dengan sistem pemerintahan Kesultanan (kerajaan) yang bekerjasama dengan Kerajaan Turki Utsmani.
Sistem pemerintahan Lama dalam karya sastra sering disebut dengan Mataram Kuno dengan struktur pemerintahan dewan wali, yang menempatkan posisi para wali atau pandita atau pemuka agama diatas pemimpin negara. Struktur pemerintahan dewan wali ini dalam karya sastra dikenal dengan sebutan Walisongo.

Pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17, Mataram dan wilayah-wilayah lain yang memberontak, ingin mengganti sistem pemerintahan Dewan Wali yang pada saat itu beribukota di Pajang dengan sistem kesultanan, dan menempatkan posisi dewan wali di bawah sultan yang berkuasa. Dalam kisah-kisah babad pergolakan politik ini dimulai dengan pecahnya pemberontakan Panembahan Senopati dan sekutu-sekutunya untuk mengkudeta Pajang dan wilayah sekitarnya yang tidak mau mengakui kekuasaan Mataram Baru yang menyebut kelompok mereka sebagai Mataram Islam, padahal yang mereka kudeta adalah wilayah-wilayah yang penguasa dan penduduknya mayoritas muslim.

Singkat kisah, perebutan tahta Jawa diambil alih oleh sistem kesultanan (Mataram Islam/Mataram Baru). Sistem pemerintahan dewan wali dibubarkan dan pada masa ini banyak ulama-ulama yang dibantai dan dibunuh karena dicurigai mendukung pemerintahan lama. Syekh Siti Jenar adalah salah satu diantara sekian banyak ulama yang dibunuh pada masa pergolakan ini, karena beliau adalah tokoh ulama yang berpengaruh dan memiliki banyak tokoh-tokoh yang menjadi murid beliau. Murid beliau yang paling berpengaruh adalah Ki Ageng Pengging dan putranya Hadiwijaya atau lebih dikenal dengan Joko Tingkir, pemimpin tertinggi pemerintahan Lama yang tewas pada masa pergantian kekuasaan dari Mataram Lama ke Mataram Baru.

Syekh siti Jenar (SSJ) bukan dihukum mati oleh Dewan Wali tapi oleh Kesultanan Mataram Baru. Kenapa bukan dengan dewan Wali/Walisongo? karena pada saat Syekh Siti Jenar dihukum mati Dewan Wali sudah resmi dibubarkan. Syekh Siti Jenar dihukum mati di alun-alun di depan Masjid Sang Cipta Rasa, Cirebon, dengan tuduhan melawan pemerintahan baru dan mengajarkan ajaran sesat hanya karena Syekh Siti Jenar bermazhab Syi’ah Imamiyah/Syiah Muntadzar dan berbeda dengan mazhab resmi kesultanan (Mataram Islam) saat itu yang berorientasi ke kesultanan Turki Utsmani, yaitu Mazhab Hanafi dan Syafii.

SSJ dimakamkan oleh murid-muridnya di desa Kemlaten. Dalam Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara dikisahkan tentang makam SSJ yang dipindahkan dari Kemlaten ke Bukit Amparan Jati secara sembunyi-sembunyi agar makam SSJ tidak diketahui oleh para peziarah dari kalangan murid-murid SSJ yang terus berdatangan dari seluruh Jawa dan ditakutkan akan terjadi pengultusan dan perlawanan balik dari para murid SSJ kepada kesultanan Mataram Islam yang baru berdiri.

Terdapat beberapa makam yang diyakini sebagai makam Syekh Siti Jenar, desa Kemlaten dan Gunung Jati di Cirebon, Pekalongan, Mantingan-Jepara, Tuban, dan beberapa kota lainnya yang tersebar di pulau Jawa. Dari semua makam yang diyakini sebagai makam Sykeh Siti Jenar, yang paling mendekati kisah asli beliau dari berbagai sumber yang kami telusuri adalah makam beliau yang berada di bukit Ampatan Jati, berdekatan dengan makam sepupu beliau Syekh Datuk Kahfi, walaupun tidak diketahui lokasi tepatnya.

Terdapat beberapa makam yang diyakini sebagai makam Syekh Siti Jenar, desa Kemlaten dan Gunung Jati di Cirebon, Pekalongan, Mantingan-Jepara, Tuban, dan beberapa kota lainnya yang tersebar di pulau Jawa. Dari semua makam yang diyakini sebagai makam Sykeh Siti Jenar, yang paling mendekati kisah asli beliau adalah makam beliau di bukit Ampatan Jati, berdekatan dengan makam sepupu beliau Syekh Datuk Kahfi, walaupun tidak diketahui lokasi tepatnya.

Berdasarkan penelusuran kami, makam Syekh Siti Jenar berada di sekitar lokasi makam Syekh Datuk Kahfi/Syekh Dzatul Kahfi/Syekh Nurjati di komplek Pemakaman Gunung Jati.

Banyaknya makam dan gelar yang diyakini sebagai Syekh Siti Jenar ini dikarenakan banyaknya pondok pesantren yang beliau buka sepanjang pulau Jawa. Ketika beliau meninggalkan pesantren yang didirikan untuk melakukan syi’ar Islam ke daerah-daerah lain, pesantren tersebut beliau serahkan ke murid kepercayaan beliau sebagai pengurus dan pimpinan pesantren. Berjalannya waktu Murid tersebut kemudian dikenal dengan gelar yang sebelumnya disematkan kepada Syekh Siti Jenar.


*Silsilah Syekh Siti Jenar, Syekh Datuk Kahfi, pangeran Panjunan, Pangeran Santri*

1. Nabi Muhammad SAW, berputeri
2. Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputera
3. Husain r.a, berputera
4. Ali Zainal Abidin, berputera
5. Muhammad al-Baqir, berputera
6. Imam Ja’far ash-Shadiq, berputera
7. Ali al-Uraidhi, berputera
8. Muhammad al-Naqib, berputera
9. Isa al-Rumi, berputera
10. Ahmad al-Muhajir, berputera
11. Ubaidillah, berputera
12. Alawi, berputera
13. Muhammad, berputera
14. Alawi, berputera
15. Ali Khali’ Qosam, berputera
16. Muhammad Shahib Mirbath, berputera
17. Sayid Alwi, berputera
18. Sayid Abdul Malik, berputera
19. Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
20. Ahmad Syah Jalaludin (rodovid, sulaiman al baghdadi)
21. Sayid Abdul Kadir, berputera
22. Maulana Isa, berputera
23. (1)Datuk Soleh, (2)Datuk Ahmad
24. (1) Datuk Sholeh berputra: Syekh Siti Jenar,
(2) Datuk Ahmad b’putra : Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nurjati).
Syekh Datuk Kahfi, Berputra :
25. Pangeran Panjunan / Syekh Maulana Abdurahman, berputra :
26. Pangeran Pamelekaran / Pangeran Muhammad
27. Pangeran Santri / Pangeran Koesoemadinata I/Maulana Salih/Ki Gedeng Sumedang

*Hubungan keluarga dengan Syekh Nurjati*

Maulana Isa, Kakek dari Syekh Siti Jenar, adalah seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya, demikian pula putra beliau Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Abdul Soleh (ayah dari Syekh Siti Jenar). Syekh Datuk Ahmad, kakak dari ayah Syekh Siti Jenar, memiliki putra Syekh Datuk Kahfi yang selanjutnya dikenal pula dengan nama Syekh Nurjati. Dari silsilah keluarga ini dapat diketahui bahwa Syekh Siti Jenar adalah saudara sepupu dari Syekh Datuk Kahfi.

Catatan : Tulisan ini terkait dengan tulisan kami yang telah kami unggah sebelumnya yang berjudul : Memahami Ajaran Manunggaling Kawula Gusti; 5 Februari 2019; https://sofiaabdullah.wordpress.com/2019/02/05/memahami-ajaran-manunggaling-kawula-gusti/

Sumber:

1. Sunyoto, Agus, Atlas Walisongo
2. Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern
3. Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara
4. Carita Purwaka Caruban Nagari
5. Sholikhin, Muhammad, K.H Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak dieksekusi Walisongo
6. Arnold, T.W, The Preaching of Islam
7. Al Hadad, Habib Alwi bin Thahir, Masuknya Islam ke Timur Jauh
8. Babad Tanah Jawi
9. Dan sumber-sumber lain yang terkait

****

Alurwaktu & Penjelasan  Ringkas Sejarah Islam di Nusantara (3)

Penjelasan Ringkas (Ikhtisar) Alur Waktu Sejarah Islam Di Nusantara : 1602 hingga era Orde Baru.

4. 1602-1755 M Dibentuknya VOC, Berdirinya Mataram Baru, hingga dibubarkannya Mataram Baru thn 1755. Pada era ini terjadi beberapa peristiwa sejarah penting yang berpengaruh terhadap Islam di Nusantara :

●   Dibentuknya Perserikatan Dagang Negara-Negara Eropa, 2 negara anggotanya adalah VOC (Belanda) dan EIC (Inggris) memiliki peran besar dalam berbagai peristiwa sejarah di Indonesia. Dibentuknya Perserikatan Dagang ini semakin menguatkan kedudukan kolonialisasi bangsa Eropa di Nusantara. Era ini ditandai dengan berbagai pemberontakan dan kudeta sejak tahun 1578 hingga wafatnya Sultan Pajang Hadiwijaya tahun 1582. Pemberontakan dan kudeta terus berlanjut hingga Sultan Agung Hanyokrokusumo berkuasa tahun 1613. (1)

Lambang EIC (Inggris) dan VOC (Belanada), adalah 2 dari sekian banyak anggota Perserikatan dagang bangsa Eropa di wilayah Hindia Timur. Awalnya mereka bersaing untuk mendapat tanah jajahan, namun karena selalu gagal, mereka kemudian bekerja sama membentuk Perserikatan Dagang Hindia Timur, dan akhirnya dengan politik pecah belah dan kuasai (devide et empera), mereka berhasil memonopoli perdagangan di wilayah Hindia Timur

●   Tahun 1613 sultan Agung Hanyokrokusumo mencapai puncak kekuasaannya setelah melakukan penyerangan keberbagai daerah untuk mengakui kedaulatan Sultan Agung.

●   Melakukan kerjasama dengan Kesultanan Turki Utsmani. Diawali kerjasama perdagangan, kemudian politik dan pada akhirnya penyerahan Pulau Jawa sebagai bagian dari wilayah Turki Utsmani oleh Sultan Agung di Mekkah.

●   Merubah bentuk pemerintahan dari sistem Dewan Wali menjadi Kerajaan (pemilihan sultan berdasarkan ke turunan), mengadopsi sistem kerajaan atau Kesultanan  Turki Utsmani.

●   Pada era Amangkurat I (1646-1676) diberlakukan blokade perdagangan laut hingga penduduk Pulau Jawa tidak dapat melakukan perdagangan keluar Pulau Jawa. Ekonomi negara hanya mengandalkan sistem pertanian dan perkebunan. Kebijakan ini dilakukan karena takut pemberontakan terhadap Amangkurat I meluas keluar Pulau Jawa.

●   Blokade perdagangan laut menyebabkan perekonomian negara menjadi kacau. Pemberontakan terhadap Amangkurat I semakin meluas. Amangkurat I meminta batuan VOC untuk mengatasi pemberontakan dalam bentuk hutang untuk membayar pasukan, kebutuhan perang, dan senjata.

●   Pembunuhan ribuan ulama dan para pemimpin lama yang memberontak kebijakan Amangkurat.

●   Desas Desus yang menyebar ke berbagai keraton (Kota berbenteng) di Jawa bahwa Amangkurat II (1677-1703) bukan Sunan Rahmat tapi Anak Gubernur Jenderal dengan wanita lokal. Penduduk Jawa menyebutnya sebagai Sunan Amral (Admiral) karena Amangkurat II pemimpin Jawa pertama yang menggunakan baju dan atribut Belanda.

5. 1755-1945 Sejarah Indonesia era Kolonial.

Era kolonial ini dibagi menjadi 3 Era :

1. 1602-1799 : Era kolonialisasi VOC/ EIC (gabungan Perusahaan-Perusahaan Dagang Eropa di Hindia Timur). Pada era ini satu persatu wilayah nusantara di kuasai dengan cara mengadu domba antar wilayah. Era ini mencapai puncaknya setelah perjanjian Giyanti 1755. (2)

●   Diawali dengan perjanjian Giyanti 13 Febuari 1755, dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti, secara de Fakto dan de Jure menandai berakhirnya kesultanan Mataram dan membagi wilayah Mataram menjadi 2 wilayah kerajaan yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta.

●   Pemerintah kolonial membuat pemerintahan Islam baru yang berbentuk kesultanan-kesultanan kecil di bekas wilayah Mataram yang tunduk pada aturan kolonial dalam segala aspek bahkan dalam rumah tangga para sultan. Pejabat yang berkuasa saat itu dipilih oleh pemerintah kolonial berdasarkan kesetiaannya pada pemerintah kolonial. contoh : Pakubuwono I (pangeran Puger) menyerahkan seluruh kekuasaannya di sepanjang pantai utara Jawa kepada pemerintah kolonial dengan alasan membayar hutang perang yang dibantu oleh VOC. PB I ataupun Pangeran Puger disini bukan nama hanya gelar, pangeran Puger diangkat menjadi PB I oleh VOC utk melawan Amangkurat III

●   Pada era ini pula satu persatu sistem kesultanan (feodal) yang melawan pemerintah kolonial Belanda dibubarkan diganti dengan keresidenan. Kesultanan yang ‘taat’ dengan aturan kolonial tetap berdiri.

2. 1799-1941 : Era Kolonialisasi kerajaan Belanda. Peristiwa sejarah penting pada periode ini adalah lahirnya generasi Indo/peranakan. Generasi ini lahir dari bapak/ibu Eropa dengan penduduk pribumi atau para tawanan perang yang diperbudak dan dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik bangsa Eropa. Adanya generasi indo menambah keragaman penduduk Indonesia, bukan hanya keragaman wajah tapi juga budaya campuran, terutama dalam seni bangunan dan makanan.

Lahirnya generasi Indo dan peranakan Tionghoa adalah 2 diantara beberapa peristiwa sejarah yang pengaruhnya dirasakan hingga saat ini.

3. 1941-1945 : Era kolonial Jepang. Peristiwa-peristiwa sejarah penting yang terjadi pada era ini :

●   Lahirnya budaya campuran perpaduan Jepang dan Nusantara dalam bentuk tarian dan lagu, contoh: tari dan lagu gending Sriwijaya yang diciptakan pada era ini. Tari dan lagu Gending Sriwijaya yang dibuat berdasarkan tarian dan musik tradisional Jepang. Tarian ini mengisahkan kejayaan Palembang pada masa Sriwijaya yang berdasarkan teori kolonial Belanda, dikatakan sebagai kerajaan Budha terbesar yang pernah ada di Indonesia.

●   Generasi Indo (campuran penduduk lokal dengan bangsa Eropa) dikembalikan ke negeri-negeri ayah mereka baik terpaksa atau sukarela.

●   Lahirnya generasi campuran penduduk Indonesia dengan Jepang baik akibat pemaksaan atau pernikahan.

●   Kewajiban upacara dan menyembah Matahari terbit sebagai simbol agama Shinto.

●   Keempat faktor diatas menyebabkan pemberontakan kaum Ulama dan para santri. Pemberontakan ini menyebabkan banyaknya para ulama yang terbunuh. Tokoh ulama pejuang yang terkenal pada era ini : Kyai Haji Hasyim Asy’ari (Jatim), Kyai Haji Zaenal Mustafa (Tasik)

KH Zaenal Mustafa (1899-1944) ulama Tasik pemimpin perlawanan terhadap penjajahan Jepang.

6. 1945 M – sd Saat Ini. Era kemerdekaan Indonesia. Berikut peristiwa-peristiwa pada era ini yang merubah jalannya sejarah Indonesia. 

Foto tahun 1947, relief pada Candi Prambanan sedang dalam proses pembuatan, jadi jelas relief ini bukan relief dari beberapa abad yang lalu, tapi baru di buat tahun 1947.

●   1958 Semua sistem kesultanan di Indonesia dibubarkan kecuali DIY Yogyakarta. Kesultanan di Indonesia melebur dengan Negara kesatuan Republik Indonesia dan menjadi Propinsi. 

●   Sistem pendidikan umum tetap menggunakan sistem pendidikan era kolonial. Teori-teori sejarah yang dibuat oleh sejarawan era kolonial seperti teori seputar kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Teori Hindu Budha, Teori Masuknya Islam ke Nusantara, Teori Sejarah Jakarta, Teori Kerajaan Sunda dan sebagainya diresmikan sebagai sejarah resmi yang dipelajari di sekolah-sekolah umum.

●   Sekitar tahun 1960an, Sukarno membentuk tim sejarah untuk menyusun kembali sejarah nasional Indonesia yang dipimpin antara lain oleh Buya Hamka dan Abu Bakar Aceh. Dari sinilah lahir slogan bung Karno yang terkenal : “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali melupakan sejarah). Pembentukan tim ini melahirkan teori-teori baru tentang sejarah Islam di Indonesia, diantaranya teori Mekkah Buya Hamka, Sejarah Syiah di Nusantara karya Abu Bakar Aceh. Sayangnya, sebelum tim ini sukses merubah sejarah, banyak terjadi konflik politik dalam negeri hingga naiknya Suharto pada tahun 1968 menggantikan Sukarno.

●   Pada era Orde Baru, susunan sejarah Indonesia kembali menggunakan Teori-teori era kolonial bahkan memperkuat teori era kolonial dengan melakukan perubahan-perubahan di banyak situs sejarah, antara lain :

●   1976 situs pemakaman muslim kuno di Cangkuang, Garut diresmikan sebagai situs Hindu dengan didirikannya Candi Cangkuang yang dibuat hanya berdasarkan perkiraan yang didasari teori sejarah candi Era Kolonial. (2)

●   1982 dan seterusnya banyak situs makam-makam kuno yang dihancurkan dengan alasan pembangunan atau diubah menjadi tempat pesugihan (Gunung kawi dsb), lokalisasi (Kemukus, Kramat Tunggak)

●   1970-1990an berbagai situs pemukiman dan pemakaman kuno mengalami perombakan besar-besaran dengan alasan renovasi, diantaranya situs Trowulan dan Troloyo yang dijadikan sebagai situs Ibukota Majapahit. Situs pemakaman kuno di Palembang dijadikan situs arkeologi Sriwijaya hanya berdasarkan perkiraan, pemindahan situs pemakaman kuno di sekitar Borobudur dan sebagainya. Adanya renovasi yang hanya bersumber dari asumsi yang diambil dari teori-teori era kolonial baik disengaja ataupun tidak semakin memperkuat teori sejarah Indonesia era kolonial yang sudah seharusnya di kaji ulang.

Bagi para peneliti, pemerhati dan pecinta sejarah bila berkunjung ke situs-situs sejarah, sangat penting untuk mempertanyakan sejarah renovasi situs tersebut sebelum menyimpulkan hasil riset atau hanya sekedar menulis di internet. Mengetahui sejarah renovasi situs sangat penting karena renovasi situs memiliki peran penting dalam mengubah sejarah.

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Catatan & Sumber-sumber :

(1) Tentang Sejarah VOC bisa dibaca tulisan kami yang berjudul : Hebatnya Indonesiaku;17 Januari 2017; https://sofiaabdullah.wordpress.com/2017/01/17/hebatnya-indonesiaku/

(2) Tentang Candi Cangkuang dan pemakaman muslim bisa dibaca tulisan kami : Candi Cangkuang, Situs Hindu atau Islam?;12 Februari 2020; https://sofiaabdullah.wordpress.com/2020/02/12/candi-cangkuang-situs-hindu-atau-islam/

*Alur waktu ini dibuat berdasarkan lebih dari 10 thn penelitian sejarah Indonesia, dan untuk membuat Timeline ini kami mengambil sumber dari ratusan buku referensi yang daftarnya akan kami posting di WordPress kami dalam waktu dekat InsyaAllah.

Ziarah ke Situs Makam Pasarean Agung Sentono Boto Putih (2)

Tokoh-tokoh yang dimakamkan di Sentono Boto Putih

Sentono Boto putih, seperti umumnya situs makam-makam kuno, terdiri dari beberapa kompleks makam. Pada tiap kompleks makam terdapat gapura paduraksa dan dinding yang mengitari makam yang disebut cungkup makam. Satu cungkup makam terdiri lebih dari 1 makam, biasanya dari satu keluarga. Cungkup makam ini memisahkan kompleks makam yang satu dan lainnya. Keberadaan cungkup makam yang unik yang tersebar di Nusantara sering kali dikatakan sebagai bangunan bercirikan Hindu atau Budha, padahal agama apapun tidak memiliki kaitan dengan bentuk bangunan. Bangunan terkait dengan budaya dan lingkungan dimana masyarakat tersebut berada.

Terdapat beberapa tokoh penting yang dimakamkan di Sentono Boto Putih ini. Berikut 5 tokoh yang cukup terkenal dan banyak diziarahi diantaranya :

1. Pangeran Lanang Dangiran/Kiai Ageng Brondong, w 1638. Seorang ulama dan pemimpin dukuh Botoputih. Beliau keturunan Brawijaya dan leluhur dari trah Kanoman dan Kasepuhan Surabaya (dukuh = wilayah setingkat kecamatan).

2. Mas Adipati Panji Djoyodirono. Wafat 1758. Beliau adalah cucu dari Ki Ageng Brondong, atau Putera ke-13 dari 14 putera Kyai Tumenggung Onggodjoyo I. Semasa hidup beliau menjabat sebagai Bupati Kanoman di Wonokromo Surabaya, 1746-1758.                                              (Sumber : https://id.rodovid.org/wk/Orang:238670)

3. Raden Tumenggung Adipati Aryo Tjondronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono). Wafat sekitar akhir abad ke-17.

4. Al Habib Syekh bin Ahmad bin Abdullah Bafaqih, wafat pada tahun 1811. Beliau adalah seorang pejuang melawan pemerintah kolonial Belanda dan juga guru dan penasehat dari keturunan pangeran Lanang Dangeran.

5. Maulana Mohammad Syaifuddin. Beliau adalah Sultan Banten ke XVII / yang terakhir yang wafat pada tanggal 3 Rajab 1318 H/11 November 1899.

Ziarah ke Situs Makam Pangeran Lanang Dangeran di Pasarean Agung Sentono Boto Putih.

Pangeran Lanang Dangiran dikenal pula dengan sebutan Kiai Ageng Brondong dan Sunan Boto Putih.

Ketiga nama di atas bukan nama asli beliau. Pangeran Lanang Dangiran adalah seorang tokoh ulama yang mengajarkan nilai-nilai Islam dalam  berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Pangeran Lanang Dangiran adalah 1 dari 5 bersaudara, putra dari Pangeran Kedawung atau Sunan Tawangalun. Dalam kisah babad, beliau disebut juga dengan penguasa atau Raja Blambangan. Pada usia 18 tahun pangeran Lanang Dangiran berguru kepada Kyai Kendhilwesi di Sedayu.

Hingga tulisan ini kami bagikan, kami baru menemukan sekilas biografi dan silsilah beliau berdasarkan silsilah keturunan beliau dan silsilah versi babad, namun sayangnya dari beberapa versi silsilah ini kami belum menemukan nama asli beliau. Silsilah keluarga dari keturunan beliau yang kami temukan pun kemungkinan bersumber dari versi babad, seperti silsilah keluarga yang banyak kami temukan di Indonesia. Salah satu ciri silsilah versi babad umumnya tidak menyertakan nama asli tokoh nasab. Nama yang digunakan umumnya julukan, gelar jabatan, tempat asal, tempat tokoh dimakamkan atau tempat wafatnya. contoh : Joko Tingkir, Jaka Sembung, Rakeyan Sancang, Pamanah Rasa dan sebagainya.

Berdasarkan beberapa silsilah yang kami temukan beliau adalah generasi ke-8 keturunan Brawijaya yang bernama asli wan Abu Abdullah, penguasa terakhir Champa dari tahun 1471-1478. Nama asli Brawijaya terakhir hingga leluhur beliau keatas kami dapat dari silsilah keluarga keturunan Raden Fatah (yang bernama asli Raden Hasan).

Berikut silsilah beliau :

1. Raden Sumana/Singhawardhana/Bhre Paguhan, nama asli beliau Abdullah Khan,  Kerajaan Paguhan meliputi wilayah sekitar Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo, Jawa Timur. Raden Sumana berputra

2. Wikramawardhana/ Raden Gagak Ali, nama asli beliau Ahmad Syah Jalal, berputra

3. Kertawijaya/Brawijaya I (Bhre Tumapel III) W 1451, nama asli beliau Jamaluddin Husein al Akbar, dalam karya sastra dan pewayangan beliau dikenal juga sebagai Prabusiliwangi terakhir, wafat di tahun yg sama dengan Brawijaya I.

4. Raden Rajasawardhana Dyah Wijayakumara / Brawijaya II + Putri Indu Dewi Purnamawulan (Bhre Lasem sang Halemu) W 1382, nama asli beliau Ali Nurul Alam, dalam kisah babad atau pewayangan dikenal sebagai Patih Gajah Mada. Keterangan nama asli ini didapat dari keturunan beliau yang berada di Kesultanan Kelantan, pada masa lalu disebut juga Kesultanan Chermin (sekarang Kelantan).

5. Bhre Kertabhumi / Raden Alit /Brawijaya V/ Ongkowijoyo/ Arya Dillah / Arya Damar / Damar Wulan nama aslinya adalah wan Abu Abdullah W 1478 (penguasa Champa terakhir) berputra

6. Raden Sudjana / Lembu Niroto. Gelarnya Adipati Blambangan (saudara Raden Fatah/Raden Hasan) berputra

7.  Menak Simbar / Adipati Puger, berputra

8. Menak Sumende. Gelar : Adipati Blambangan, berputra

9. Menak Gadru. Gelar : Adipati Blambangan, berputra

10. Menak Werdati / Menak Lampor = eyang/kakek dari Raden Paku Sunan Giri pancer trah Dermoyudo. Gelar : Jumeneng Bupati Blambangan, berputra

11. Sunan Rebut Payung / Menak Beduyu. Gelarnya adalah Adipati Blambangan Timur, berputra

12. Pangeran Kedawung / Pangeran Tawangalun / Adipati Blambangan Timur, berputra

13. Pangeran Lanang Dangiran / Ki Ageng Brondong W 1638

14. Anggawangsa Adipati Jangrana (Jayeng Rono) Bupati Surabaya.

15. Sawung Galing, Joko Berek, Joko Tangkeban (Panembahan Panotogomo).

Nama asli Brawijaya terakhir kami dapat dari silsilah keluarga keturunan Raden Fatah (Raden Hasan).

Nama asli pada silsilah Brawijaya ke atas sengaja hurufnya kami tebalkan agar bisa membedakan nama asli tokoh pada silsilah keluarga dengan nama yang tercantum pada silsilah versi babad, yang umumnya tidak menyertakan nama asli beliau.
Catatan ini juga kami khususkan bagi keturunan keluarga pangeran Lanang Dangiran, yang kebetulan membaca tulisan kami.

Silsilah keluarga yang lengkap dengan nama asli tokoh leluhur di Indonesia sangat penting dalam penelitian sejarah. Namun sayangnya silsilah keluarga yang lengkap ini agak sulit ditemukan, diantara penyebabnya adalah faktor keamanan. Keturunan dari tokoh-tokoh terkenal umumnya anti kolonial dan selalu menjadi pemimpin perlawanan kepada pemerintah kolonial. Karena faktor inilah pada masa lalu, untuk melindungi keturunan tokoh-tokoh terkenal ini sengaja dirahasiakan nama aslinya. Tentunya hal tersebut saat ini sudah tidak berlaku lagi, fungsi nasab saat ini lebih sebagai ilmu bantu penelitian sejarah, namun sayangnya menyamarkan nama asli tokoh leluhur akhirnya menjadi tradisi yang bahkan dikalangan keturunannya sendiri pun banyak yang tidak mengetahui seperti sebagian besar keturunan Raden Fatah dan Pangeran Lanang Dangiran pada umumnya.

Selain alasan keamanan, salah satu tujuan penyamaran nama pada silsilah versi babad juga bertujuan untuk menghormati sang tokoh yang juga leluhur Nusantara karena kisah babad adalah sumber kisah pewayangan yang dikisahkan berulang ulang dari masa ke masa. 

Ditulis oleh Sofia Abdullah

Sumber dan referensi

1. https://id.rodovid.org/wk/Orang:238670 (silsilah keturunan pangeran Lanang Dangiran)

2. Silsilah keluarga keturunan Raden Fatah / Brawijaya V

3. Beragam silsilah versi babad dan silsilah versi keluarga sebagai bahan perbandingan.

Mengunjungi Situs Makam Sunan Ampel

Alhamdulillah akhirnya sempat juga mengunjungi makam Sunan Ampel, setelah lebih dari 10thn menelusuri sejarah beliau, sebagai salah satu anggota Walisongo dan sebagai sosok ulama yang menjadi salah seorang leluhur penduduk Jawa keturunan Champa. Makam Sunan Ampel berlokasi di Jl. Ampel Masjid No.53, Ampel, Kec. Semampir, Kota SBY, Jawa Timur 60151. Makam Sunan Ampel terletak di bagian belakang Masjid Agung.

Gapura Paduraksa utama menuju makam Sunan Ampel. Gapura adalah ciri khas komplek situs pemakaman kuno. Gapura pada situs pemakaman berfungsi sebagai pembatas antar kompleks makam. Sayang sekali karena renovasi berulang bentuk gapura dan fungsinya pada makam Sunan Ampel sudah tidak jelas lagi. Foto : koleksi pribadi.

Seperti umumnya situs-situs sejarah Islam di Indonesia yang mengalami banyak perubahan, situs makam Sunan Ampel pun demikian. Selain kompleks makam yang berulang kali dirombak, Batu nisan yang seharusnya berfungsi sebagai penanda kubur dengan informasi jenazah, pada situs makam Sunan Ampel kami tidak dapat menemukan informasi ini.

Informasi jenazah pada batu nisan memiliki fungsi yang sangat penting sebagai bukti sejarah tertulis yang kuat. Nisan Sunan Ampel dibuat tinggi dan polos, hanya ukiran sederhana tidak terdapat keterangan apapun. Informasi tentang Sunan Ampel hanya di dapat dari penjaga makam setempat. Tanpa adanya bukti tertulis pada nisan Sunan Ampel, walaupun komplek makam dibuat lebih indah, beberapa generasi yang akan datang lokasi situs ini akan sangat mudah dipalsukan, dihilangkan jejaknya atau hanya sekedar diragukan keasliannya.

Gbr.1 Nisan Sunan Ampel dibuat tinggi dan polos, hanya ukiran sederhana tidak terdapat keterangan apapun. Informasi tentang Sunan Ampel hanya di dapat dari penjaga makam setempat. sumber: koleksi pribadi
Gbr.2 Makam Sunan Ampel dan Istri berada di balik pagar. Gbr.1 & 2 memperlihatkan tinggi batu nisan hasil perombakan terakhir 2012, seperti yang terlihat, Batu Nisan pada makam Sunan Ampel pada perombakan terbaru dibuat tinggi dan tidak tertulis apapun seperti seharusnya fungsi nisan. sumber : koleksi pribadi
Gbr.3 Suasana di sekitar makam Sunan Ampel. Sumber gambar : koleksi pribadi.
Gbr.4 Gapura menuju makam Sunan Ampel dengan ratusan peziarah setiap harinya. Sumber gambar : Koleksi Pribadi
Gbr 5 Ratusan peziarah mengunjungi makam Sunan Ampel setiap harinya. Sumber gambar: Koleksi pribadi

*Sejarah Singkat Sunan Ampel*

Nama asli Sunan Ampel adalah Ali Rahmatullah. Penduduk Jawa Tengah mengenal beliau dengan sebutan Sunan Rahmad, diambil dari nama belakang beliau Rahmatullah. Sebelum hijrah ke Jawa, Sunan Ampel adalah seorang pangeran dan ulama yang berasal dari Champa.

Gbr. 6 Peta Champa, semenanjung Melayu, Sumatera dan Jawa

Dari pihak ibu, Sunan Ampel adalah keturunan diraja Champa, Zainal Abidin I, yang berkuasa dari tahun 1360-1390. Zainal Abidin I, dikenal pula dengan sebutan Che Bonga atau dalam bahasa melayu Cik Bunga. Pada masa kekuasaannya, kerajaan Islam Champa mengalami puncak kejayaan.

Hubungan Kesultanan Chermin, Champa, Jawa, Malaka dan Kerajaan Samudera (Pasai)

Gbr.7 peta Kesultanan Chermin, lokasinya sekarang berada di Kelantan.

Champa, Chermin, Malaka, Pasai dan Jawa memiliki hubungan baik yang timbal balik sejak berdirinya negeri Champa tahun 192 M. Hubungan baik ini terus terjaga dengan pernikahan, perdagangan dan saling bantu bila terjadi serangan dari luar. Posisi Champa yang strategis menyebabkan negeri ini menjadi incaran negeri-negeri lain. Diantaranya Mongol, Khmer dan Dai Viet (Sukothai, Tibet). Ketiga negeri ini selalu menjadi penyulut peperangan di Champa dan Semenanjung (Malaka).

Dari tahun 1345 hingga 1357, Kesultanan Champa, Chermin (Kelantan), Kamboja, Malaka dan Samudera Pasai menjadi negara bawahan kerajaan Ayodhia (Sukothai dari Tibet).

Tahun 1357 Jawa menyerang Ayodhia dan membebaskan negeri-negeri jajahannya,  diantaranya Champa, Malaka dan Samudera Pasai. Negara-negara ini kemudian menjadi  bagian dari Jawa sebagai negara mitra yang berada dibawah lindungan Jawa (Majapahit). Masa ini ditandai dengan banyaknya perwakilan Jawa yang memiliki kedudukan penting di Champa, Kelantan, Malaka, hingga Samudera Pasai. Pada masa inilah Zainal Abidin I atau Che Bonga menikahkan putrinya, Amarawati dengan Jamaluddin Husein al Akbar, seorang sayyid, ulama dan pemimpin dari Jawa keturunan India dan Yaman. Beliau adalah kakek dari Sunan Ampel. Pernikahan putri Ramawati dengan Jamaludin Husein al Akbar menurunkan beberapa putra dan putri diantaranya ayahanda Raden Ali Rahmatullah, Ibrahim Zainuddin al Asghar.

Ibrahim Zainuddin Asghar bin Jamaluddin al Akbar menikah dengan putri Champa, bernama putri Candrawulan, kakak dari putri Dwarawati, istri Brawijaya V.  Pernikahan Ibrahim Zainuddin al Asghar dengan putri Chandrawulan menurunkan beberapa orang putra diantaranya Raden Ali Rahmatullah dan Raden Ali Murtadho.

Setelah pergantian kekuasaan beberapa kali, ayah Sunan Ampel, Ibrahim Zainuddin al Asghar menjadi diraja Champa yang dikenal juga dengan nama penobatan beliau Zainal Abidin II Diraja Champa, yang diambil dari nama kakek beliau Zainal Abidin I. Selain menjadi pemimpin tertinggi di Champa, Zainal Abidin II juga menjadi pemimpin tertinggi di Samudera Pasai yang pada masa itu masih menjadi bagian dari Jawa.

Tahun 1451, kerajaan Islam Champa mengalami serangan terus menerus dari Dai Viet hingga beberapa kota dikuasai. Tahun 1471 peperangan mencapai puncaknya dengan kekalahan Champa, ditandai dengan jatuhnya ibu kota Wijaya ke pasukan Dai Viet.

Peristiwa peperangan yang berlangsung lebih dari 20 tahun ini menyebabkan terjadinya gelombang hijrah penduduk Champa ke Jawa dan Sumatera. Dalam naskah kuno, peristiwa ini digambarkan ketika dua pangeran dari Champa yaitu Ali Rahmatullah (Raden Rahmat/Sunan Ampel) dan Ali Murtadho (Raden Santri) bersama rombongannya hijrah ke Jawa dan menghadap Brawijaya V untuk meminta suaka.

Berdasarkan silsilah keturunan Raden Fatah yang kami teliti, Brawijaya V, yang bernama asli wan Abu Abdullah bin Ali Nurul Alam, adalah sepupu dari Sunan Ampel. Ayah Sunan Ampel, Ibrahim Zainuddin al Asghar, dan ayah dari wan Abu Abdullah (Brawijaya V), adalah saudara seayah. Sementara istri Brawijaya V yang bernama Dwarawati adalah adik dari ibunda sunan Ampel, Chandrawulan.

Raden Ali Rahmatullah dan pengungsi Champa kemudian diberi wilayah tak bertuan oleh Brawijaya v yang  diberi nama Ampel Denta. Raden Ali Rahmatullah memimpin wilayah ini hingga mendapat gelar ‘Sunan Ampel’. Dibawah kepemimpinan Sunan Ampel, wilayah ini kemudian berkembang menjadi kota pelabuhan yang maju yang kini dikenal dengan nama Surabaya.

Silsilah, Istri dan Keturunan Sunan Ampel

Sunan Ampel diperkirakan lahir pada tahun 1401, hijrah ke Jawa sekitar tahun 1450an. Tahun 1450an hingga wafatnya 1481, Raden Ali Rahmatullah menjabat sebagai sunan di wilayah Ampel. Sunan adalah gelar jabatan politik bagi ulama yang memimpin satu daerah.

Dari garis keturunan ayahnya, Raden Ali Rahmatullah atau Sunan Ampel adalah seorang Sayyid atau keturunan dari Rasulullah saw dari putrinya Sayyidah Fatimah az Zahra. Berikut silsilah beliau :

As-Sayyid Ali Rahmatullah bin
As-Sayyid Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy bin
As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
As-Sayyid Abdullah bin
As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin- As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
As-Sayyid Alwi bin
As-Sayyid Muhammad bin
As-Sayyid Alwi bin
As-Sayyid Ubaidillah bin
Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
Al-Imam Muhammad An-Naqib bin
Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
Al-Imam Ja’far Shadiq bin
Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
Al-Imam Al-Husain bin
Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

Sunan Ampel menikah dua kali, istri pertamanya, Dewi Candrawati, putri Arya Teja, adipati Tuban. Istri keduanya bernama  Nyai Karimah putri dari Kyai Kembang Kuning (Kembang Kuning adalah nama wilayah antara Wonokromo dan Ampeldenta).            

Istri pertama Sunan Ampel, Dewi Candrawati, lahir dan besar di Champa ketika ayahnya masih menjabat sebagai perwakilan Jawa di Champa. Setelah menikah dengan Raden Ali Rahmatullah, Dewi Candrawati dikenal juga dengan gelar ‘Nyai Ageng Manila’ , dari gelarnya ini dapat diketahui bahwa suami dari Nyai Ageng Manila adalah seorang ‘Kyai Ageng’, artinya sebelum menjabat sebagai Sunan Ampel, Raden Ali Rahmatullah pernah menjabat sebagai ‘Kyai Ageng’, yaitu pejabat tinggi di Manilla. 

Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati menurunkan putra putri :                                 

1. Sunan Bonang yang bernama Maulana Makdum Ibrahim,                                              2. Siti Syari’ah / Nyai Ageng Maloka                                                                    3. Sunan Derajat / Sunan Sedayu yang bernama Raden Qosim / Rdn Syarifuddin,   4. Siti Muthmainnah, menikah dengan Sayid Muhsin Yaman, berputra Amir Hamzah.                                                                 5. Siti Sofiah menikah dengan Raden mas Said/Raden Mas Sahid / Sunan Kalijaga. (Kalijaga adalah nama daerah di Cirebon. Sejarang wilayah kelurahan di Kecamatan Harjamukti, Cirebon.)

Dengan Istri keduanya, Nyai Mas Karimah binti Kyai Kembang Kuning (Ki Bang Kuning), memiliki beberapa putra-putri yang juga memiliki kedudukan penting pada masanya, diantaranya :                                                       

1. Nyai Mas Murthasiyah / Asyiqah menikah dengan Raden Paku / Sunan Giri / Maulana Ishaq                                                                         2. Nyai Mas Murtasimah menikah dengan Adipati Demak, Raden Hasan yang kemudian lebih dikenal dengan Raden Fatah.                                                                        3. Raden Ahmad Hussam / Husamuddin (Sunan Lamongan)                                             4. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak) (sbr. https://www.geni.com/people/Sunan-Demak-Raden-Zainal-Abidin-Sunan-Demak/)    

Dari hasil penelusuran kami, baik Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Giri dan Sunan-Sunan yang lain adalah nama Gelar atau nama jabatan setingkat jabatan gubernur saat ini. Dibalik gelar-gelar ini ada sederet nama-nama tokoh dengan gelar yang sama, karena memimpin daerah yang sama hanya berbeda generasi. Diantara mereka ada tokoh-tokoh sunan yang namanya kita kenal ada juga yang belum dikenal. Insya Allah dalam tulisan berikut akan kami buka biografi mereka satu persatu.

Kendala yang paling berat dalam menelusuri tokoh-tokoh sunan adalah banyaknya pemalsuan kisah-kisah para tokoh dan minimnya sumber sejarah. Karena masalah ini banyak para peneliti dan peminat sejarah yang akhirnya mengatakan kemungkinan mereka tokoh fiktif dan ungkapan tersebut tidak bisa disalahkan karena minimnya sumber-sumber sejarah. Namun demikian, derasnya arus informasi 10 tahun terakhir memudahkan kami mengumpulkan bukti-bukti penting lain terkait dengan biografi para sunan, diantaranya silsilah keturunan para sunan yang memberikan informasi nama-nama asli para sunan dan sejarah situs makam serta perombakannya yang merupakan bukti kuat bahwa tokoh sunan memang pernah ada dan berperan penting dalam sejarah Islam di Indonesia.   

Sebagai peminat dan peneliti sejarah, penting bagi kita untuk mencari tahu sejarah para wali, karena kedudukan mereka bukan hanya sebagai ulama dan penyebar Islam tapi juga salah satu leluhur nusantara. Mengenal mereka, khususnya umat muslim di Indonesia, artinya kita mengenal diri kita sendiri dan mengetahui jati diri sebagai bangsa Indonesia yang majemuk. Semoga tulisan seserhana ini bisa sedikit memberi kejelasan tentang sejarah Sunan Ampel Sayyid Ali Rahmatullah atau Raden Rahmad.

Galeri

Makam Sunan Ampel dan Istri sekitar tahun 1920an. Renovasi ini dilakukan pada masa  pemerintah Belanda. Makam dikelilingi dinding kapur dan pagar besi. Bentuk nisan belum mengalami banyak perubahan dan masih terdapat tulisan pada nisan, sayangnya hingga saat ini,  kami belum mendapatkan kualitas foto yang lebih baik agar tulisan yang  tertera pada batu nisan dapat terbaca. Peran nisan pada makam kuno sangat penting, selain kita dapat mendapat informasi jenazah dari mulai nama asli, tahun lahir dan wafat, nisan yang tertulis adalah bukti kuat kedatangan Islam di Indonesia.
Renovasi makam Sunan Ampel telah dilakukan berulang kali sejak era kolonial. Renovasi resmi pertama dilakukan tahun 1939. Renovasi ini menyebabkan ratusan makam kuno dibongkar, batu nisan lama yang bertulis diganti dengan yang baru. Renovasi ini disengaja atau tidak telah menghilangkan banyak bukti sejarah Islam yang penting.
Makam sunan Ampel sekitar tahun 1990an, pagar besi di atas dinding yang awalnya mengelilingi kompleks makam,  pada renovasi ini hanya mengelilingi makam Sunan Ampel. Makam istri Sunan Ampel pun tidak terlihat. Bentuk makam dan batu nisan sudah berubah, namun keterangan makam masih tertulis di bawah nisan.
Tulisan baru sebagai petunjuk makam posisinya berada paling bawah, sementara tidak terdapat apapun pada nisan.
Makam Sunan Ampel sekitar awal tahun 2000an. Pagar besi mengelilingi makam, bentuk makam dan nisan berubah. Ada atau tidaknya tulisan pada makam tidak diketahui seperti yang tertera pada gambar, karena nisan ditutup kain mori putih. Keterangan bahwa makam tersebut adalah makam Sunan Ampel hanya dapat dilihat dari tulisan diatas.
Sebagai bahan perbandingan kami mencari bentuk nisan di Jawa Timur dari tahun yang sama dan bentuknya mirip dengan nisan Sunan Ampel untuk memastikan letak tulisan pada nisan Sunan Ampel yang sudah tidak ada lagi dan separah apa kerusakan makam yang terjadi pada situs makam Sunan Ampel.
Makam siti Ruqayah Cempo putri Sunan Kalijaga, di Kampung Peneleh Surabaya, hanya berjarak 15 menit dari makam sunan Ampel. Renovasi Makam mbah nyai Ruqayah ini adalah cara renovasi situs makam yang seharusnya, tulisan pada batu nisan tidak dihilangkan. Walaupun telah dibuat replika nisan, nisan lama tetap di pertahankan.
Sangat disayangkan renovasi yang mengeluarkan biaya banyak ini bukannya melestarikan keaslian warisan sejarah namun justru merusak situs penting dalam sejarah Islam. Situs makam kuno di Indonesia dan wilayah Asia Tenggara baik sebelum atau sesudah kedatangan Islam adalah lokasi yang paling lengkap untuk mencari informasi tentang jenazah yang dimakamkan. Dari mulai nama asli, gelar, tahun lahir, tahun kematian hingga silsilah terdapat pada situs makam kuno. Banyaknya situs makam kuno yang dihancurkan menyebabkan informasi berharga leluhur nusantara ini hanya didapat dari penunggu makam.
Nisan-nisan baru tanpa nama di sekitar makam Sunan Ampel.
Sisa batu nisan lama yang masih bertebaran di lokasi makam, namun sayangnya karena perombakan era kolonial, nisan-nisan yang terlihat kuno ini pun hanya beberapa yang masih berukir nama jenazah.
Salah satu cara mengetahui bentuk dan fungsi bangunan pada masa lalu adalah dengan membandingkan antara situs makam kuno yang masih ada dan masih memiliki fungsi sama hingga saat ini. Dua gambar berikut adalah situs kompleks makam kuno Sunan Sendang Dhuwur, Lamongan di lokasi perbukitan dan situs makam kuno Aermata Ibu di Bangkalan, Madura. Kedua makam ini berasal dari abad ke 15 yang masih berfungsi hingga saat ini karena masih di kelola oleh keturunan dari keluarga yang dimakamkan di lokasi situs. Di Indonesia masih banyak situs makam kuno seperti ini, dan seharusnya bisa dijadikan contoh ketika renovasi, agar tidak menghilangkan bukti sejarah.
Gambar salah satu nisan pada salah satu kompleks makam di situs makam Sunan Sendang Dhuwur, Lamongan. Bentuk nisan kuno yang banyak ditemukan di Jawa Timur dan Madura. Pada nisan ini masih tertera nama jenazah. Nisan pada makam Sunan Ampel, walaupun dibuat replikanya seharusnya tetap tertulis nama dan keterangan yang seharusnya terdapat pada nisan.
Situs makam kuno Aermata Ibu, Bangkalan, Madura. Pada 2 gambar di atas terlihat jelas susunan situs makam kuno yang terbagi menjadi beberapa kompleks makam. Setiap kompleks makam dipisahkan oleh gapura. Terdapat 2 Lokasi situs makam kuno: daerah perbukitan atau kota. Lokasi makam di lokasi yang berbukit ditandai Semakin keatas kompleks makam semakin tua dan tokoh yang dimakamkan semakin penting. Bila lokasi makam di daerah perkotaan, semakin masuk kedalam kompleks makam, semakin penting tokoh yang dimakamkan, contoh makam sunan Kudus, Sunan Demak, kompleks situs makam di Banten.
Salah satu cara mengetahui bentuk dan fungsi bangunan pada masa lalu adalah dengab membandingkan dengan situs yang memiliki fungsi sama yang masih ada hingga saat ini. 2 gambar di atas adalah situs kompleks makam kuno Aermata Ibu di Bangkalan, Madura dan situs makam Sunan Sendang Dhuwur, lamongan. Kedua makam ini berasal dari abad ke 15 yang masih berfungsi hingga saat ini karena masih di kelola oleh keturunan dari keluarga yang dimakamkan di lokasi situs. Di Indonesia masih banyak situs makam kuno seperti ini, dan seharusnya bisa dijadikan contoh ketika renovasi, agar tidak menghilangkan bukti sejarah.



Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Sumber-sumber

1. Al Hadad. Bin Thahir. Al Habib Alwi, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Jauh, Cet.I, 2001, Lentera Baristama.

2. Sunyoto. Agus, Atlas Wali Songo, Cet.1, 2012, Pustaka Iman.

3. C.I.E.MA.Arnold.TW, Preaching Of Islam : A History Of The Progation Of The Muslim Faith, 1913.

4. Rochyatmo. Amir, Wimarta. Sri. Soekesi, Babad Tanah Jawi 1, Buku1, Amanah Lontar, 2003

5. Riana. I Ketut, S. U. Prof. Dr. Drs, Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara Krtagama Masa Keemasan Majapahit, hal.36-37 Cet 1, Kompas Media Nusantara.

6. Nugroho. Djoko. Irawan, Majapahit Peradaban Maritim Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia,hal. Cet.1,2011, Suluh Nuswantara Bakti.

7. Coedes, George (1975), Vella, Walter F. (ed.), The Indianized States of Southeast Asia, University of Hawaii Press, ISBN 978-0-824-80368-1

8. Sumber-sumber Kesultanan Chermin :
Prof DGE Hall, A History of South East Asia, London Macmillian, 1955 Page 149.

Khadijah Al-Kubro, Sang Putri Mekkah (1)

Khadijah al Qubro adalah istri Rasul saw dan Ummul mukminin yang pertama. Rasul saw sangat mencintai Khadijah. Banyak hadits yang mengisahkan kemuliaan Khadijah, hingga beliau bergelar Khadijah al Kubro atau Khadijah yang Agung (memiliki kedudukan mulia).

Siapakah Khadijah al Kubro? Benarkah beliau seorang janda dan menikah dengan Rasul saw di usia 40 tahun? Berapakah putri rasul saw dengan sayyidah Khadijah? Kenapa hanya sayyidah Fatimah az Zahra yang dikisahkan dalam sejarah Islam? Apakah benar ada manipulasi data terkait sejarah sayyidah Khadijah?

Biografi singkat ini mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dan mengulik rasa ingin tahu pembaca untuk mengenal lebih dalam tentang sejarah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah saw ini.

Suku Quraisy, leluhur Khadijah dan Muhammad saw

Khadijah adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qusay bin Qilab, nasabnya bertemu dengan Rasullullah saw di leluhur suku Quraisy yan1g bernama Qusay. Qusay bin Qilab berputra beberapa orang, 2 diantaranya Abdul Uzza dan Abdul Manaf. Abdul Manaf berputra Hasyim, Hasyim berputra Abdul Muthalib, Abdul Muthalib berputra Abdullah ayah Rasulullah saw.

Khadijah dan Rasul saw adalah keturunan Qusay bin Kilab bin Murra bin Lu’ayy bin Ghalib bin Fihr yang lebih di kenal dengan Quraisy. Suku Qurasiy adalah suku yang paling ulung dalam perdagangan baik dalam negeri atau perdagangan lintas negara.

Menurut Gus Achmad Dhofir, peneliti sejarah Islam,  kata Qurays berasal dari kata Qurs artinya yang mengumpulkan/mendistribusikan uang/ para pengusaha (saudagar) pada zamannya. Kaum Quraisy ini keturunan dari Fihr, beliaulah yang pertama kali mendapat gelar Quraisy, karena ia ahli di bidang Kurs atau administrasi/perdagangan. (1)

Kemahiran suku Quraisy dalam berdagang terlihat dari kemampuan mereka melihat situasi politik, pergantian musim dan lokasi yang berpengaruh pada keuntungan perdagangan. Politik perdagangan kaum Quraish ini diantaranya selalu mengadakan perjalanan dagang pada 2 musim, yaitu pada musim panas dan musim dingin. Sementara pada masa itu perdagangan hanya di lakukan permusim, 1 musim 1 kali perjalanan dagang. Sementara kafilah dagang Quraisy melakukan 2 kali perjalanan dagang.

Pada musim dingin mereka melakukan perjalanan dagang ke selatan Hijaz, yaitu Yaman. Lokasi Yaman berada di tepi pantai, karenanya memiliki iklim yang berbeda dengan di Hijaz, bila di Hijaz musim dingin di Yaman musim panas. Pada musim panas kaum Quraisy melakukan perjalanan ke utara Hijaz, yaitu wilayah Syam dan sekitarnya hingga ke Turki dan Eropa.

Para kafilah dagang ini menjual hasil bumi dan kerajinan khas gurun, seperti karpet, barang porselen dan keramik yang di buat di sekitar wilayah hijaz (Mekkah, Madinah, Thaif dsb.). Mereka juga menjual berbagai barang dari perdagangan lintas benua, seperti rempah dari India dan Asia Tenggara, Sutera dari Cina dan sebagainya. Dari perdagangan inilah suku Quraisy menjadi salah satu suku terkaya yang di hormati di Jazirah Arab dan sekitarnya.

Kemahiran suku Quraisy dalam perdagangan disebutkan dalam Al Qur’an surat Quraisy, ayat 1-4

لِإِيلَٰفِ قُرَيْشٍ li`īlāfi quraīsyin = Karena kebiasaan orang-orang Qurais

إِۦلَٰفِهِمْ رِحْلَةَ ٱلشِّتَآءِ وَٱلصَّيْفِ īlāfihim riḥlatasy-syitā`i waṣ-ṣaīf = (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas

فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَٰذَا ٱلْبَيْتِ falya’budụ rabbahāżal-baīt = Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah)

ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۭ allażī aṭ’amahum min jụ’iw wa āmanahum min khaụf = Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan

Suku Quraisy adalah keturunan dari nabi Ibrahim as dari putra beliau Ismail as. Namun demikian tidak semua suku Quraisy beragama Tauhid. Mayoritas suku Quraisy telah banyak yang menyembah berhala, hanya sebagian kecil suku Quraisy yg masih beragama Tauhid. Beberapa diantara suku Quraisy yang mayoritas masih beragama tauhid adalah bani Hasyim yaitu suku dari keluarga rasul saw dari jalur ayah beliau Abdullah, sebagian kecil dari jalur Ibu beliau saw Aminah binti Wahab dari suku Zuhrah, yang juga dari bani Quraisy.

Demikian pula dengan kakek moyang Sayyidah Khadijah pun sama beragama Tauhid. Sepupu Khadijah, Waraqah ibn Naufal bahkan menjadi biarawan atau pemuka agama Tauhid pada masanya.

Selain beragama tauhid leluhur Khadijah adalah pewaris ilmu dagang dari Qusayy bin Qilab yang juga adalah leluhur Rasul saw. Qusayy adalah orang terkaya di Jazirah Arab pada zamannya karena kepandaiannya berdagang. Dalam kitab Barzanji disebutkan nama asli Qusayy adalah Muzammiq. Kenapa disebut Qusay? Karena ia sering melakukan petualangan ke berbagai negeri yang jauh.

Kisah kisah perjalanan dagang Qusayy ini tercatat dalam Syair-syair arab yang terkenal dan diturunkan kepada anak cucunya. Dari kisah-kisah inilah nabi sejak kecil sudah mengetahui peradaban dunia di luar Jazirah Arab, selain karena sering mendengar kisah-kisah tersebut, dari usia yang masih sangat muda, nabi saw juga sering ikut bersama kafilah dagang keluarganya, yang dipimpin oleh paman beliau Abu Thalib. Kafilah dagang Bani Hasyim melakukan perdagangan antar negeri dan bertemu dengan para pedagang dari berbagai negara di kota-kota yang menjadi pusat perdagangan pada masa lalu, diantaranya adalah negeri Syam (Syiria), yang sejak PD I dipecah menjadi 4 negara : Syam (Syria), Lebanon, Palestina dan Jordan. (2)

Sang Putri Mekkah

Sayidah Khadijah lahir di Mekkah, beliau putri dari Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti Za’idah dari Bani Quraisy keturunan Lu’ayy. Khuwaylid sang ayah adalah seorang saudagar terpandang dari suku Quraisy. Ia memiliki otak yang cerdas, kaya raya, terhormat, berakhlak mulia, jujur dan tepercaya. Kepiawaian ayah Khadijah dalam ilmu perdagangan telah membuat beliau menjadi saudagar yang sangat sukses dan terkaya di Jazirah Arab. Khuwaylid memiliki 4 orang putra dan putri, yaitu ; Khadijah binti Khuwaylid, Halah binti Khuwaylid, Awwam bin Khuwaylid (3) dan Hisyam bin Khuwaylid.

Dari ketiga saudaranya yang lain, sayyidah Khadijah-lah yang terlihat paling pandai dalam ilmu perdagangan dan administrasi, kemahiran yang beliau warisi dari ayah dan kakeknya Qusayy bin Kilab. Karena kemampuannya dalam berdagang, Khadijah menjadikan perusahaan dagang raksasa ayahnya bertambah sukses, ketiga saudaranya hidup makmur dengan segala fasilitas yang di berikan oleh Khadijah. Sebagai penerus perdagangan keluarganya, sayyidah Khadijah memiliki 2/3 modal masyarakat mekkah, yang menjadikan beliau wanita terkaya di seluruh hijaz.

Gelar Sayyidah Khadijah yang terkenal adalah Sang Putri Mekkah, gelar ini disematkan padanya oleh penduduk Mekkah sejak era Arab Jahiliyyah, karena selain kaya raya, cantik, dari keturunan mulia, Sayyidah khadijah juga sangat dikenal dengan kemuliaan sifatnya sejak usia yang masih sangat muda. Sayyidah Khadijah dikenal sangat santun dan berakhlak mulia. Ketika remaja beliau dikenal sebagai pelindung kaum papa dan yatim piatu, dan sangat dermawan kepada semua yang membutuhkan.

Sayyidah khadijah juga dikenal dengan gelarnya Thahirah, yang artinya wanita suci karena seumur hidup beliau, ayah dan kakeknya tidak pernah menyembah berhala, gelar ini juga disematkan pada beliau karena sayyidah Khadijah dikenal sangat menjaga kesuciannya, tidak seperti umumnya kelakuan wanita bangsawan pada masa jahiliyyah, yang sering kali berganti pasangan.

Pertemuan dan pernikahan dengan Rasul saw

Kepada asisten setianya, yang bernama Maysaroh, sayyidah Khadijah memerintahkan untuk melakukan rekrut pegawai. Nabi Muhammad saw yang baru berusia 25 tahun masuk menjadi pegawai sy Khadijah. Dimulailah masa perdagangan nabi ke Syam dan kota-kota lainnya dengan membawa barang dagangan milik sayyidah Khadijah.

Selama Nabi Muhammad saw bekerja di perusahaannya, keuntungan perdagangan Sayyidah Khadijah melonjak berkali lipat. Sayyidah Khadijah bertanya kepada Maysaroh, apa yang menyebabkan perdagangannya melonjak pesat?, Maysaroh menjawab cepat “Muhammad-lah penyebabnya, wajahnya yang tampan, akhlak dan tutur katanya yang halus telah menarik banyak pembeli ditambah lagi dalam berdagang pun Muhammad selalu jujur tidak mengambil keuntungan yang terlalu banyak, hingga semua pembeli tertarik untuk membeli hanya kepada Muhammad (saw).”

Kekayaan Khadijah terus bertambah, bahkan ia menjadi wanita paling terkenal di jazirah Arab dan sekitarnya karena kekayaannya, kecantikannya dan kesuksesan nya dalam berdagang. Seluruh penduduk Jazirah Arab mengetahui, keberhasilan dagang Khadijah yang bertambah-tambah tak lepas dari kepiawaian nabi Muhammad dalam menjual dagangannya hingga memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat.
Kekaguman akan kepandaian, ketampanan dan akhlak Nabi Muhammad saw yang luar biasa, berubah menjadi cinta dan keinginan untuk menjadi istri Muhammad saw.

Bersambung ke bagian 2 : https://sofiaabdullah.wordpress.com/2020/05/20/khadijah-al-qubro-sang-putri-mekkah/

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Sumber & Catatan Kaki

1. Kuliah tematik Gus Ach. Dhofir Zuhry, S. Sos, M. Fil. “Mahar Nabi Melamar Khadijah”. Beliau adalah pengasuh pesantren Luhur Baitul Hikmah, Malang.

2. Sa’adeh, Antoun (2004). The Genesis of Nations. Beirut. Translated and Reprinted

3. Awwam bin Khuwaylid menikah dengan bibi nabi Muhammad Shafiyyah binti Abdul Muthalib. Awam dan Shafiyyah berputra Zubair bin Awwam, salah seorang sahabat nabi saw yang terkemuka.

Buku referensi       

Razwy, Sayid, A.A, Menapak Jalan Suci Sang putri Mekkah: Sejarah Khadijah al Qubro, Istri Rasul Saw, hal.257-285, Jakarta, Lentera 2007

Dibaji, Sayid abul Qosim, Ummul Mukminin Khadijah : Biografi, Perjuangan dan Keteladanan Muslimah Pertama, cet.I, penerbit Citra Des. 2014

Al Huseini, al Hamid, H.M.H, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw,hal. 230-233, pustaka Hidayah, Bandung, 2006 (akhlak nb Muhammad dlm berdagang)

Al Jibouri, Yasin T, Allah Konsep Tuhan menurut Islam, penerbit Lentera, Jakarta 2003
Referensi:

https://tafsirweb.com/37392-quran-surat-al-quraisy.html

Kisah Fatimah bt Maimun, Leluhur Walisongo

Fatimah binti Maimun, Wafat di Leran, Gresik tahun 475 H (1082 M)

Makam Siti Fatimah binti Maimun

Pada tahun 1911 seorang sejarawan Belanda bernama J. P Moquette menemukan cungkup (rumah) makam berisi 5 makam wanita yang memiliki kedudukan tinggi. Kedudukan tinggi 5 makam wanita ini dapat dilihat dari bentuk makamnya yang lebih indah dari makam di sekitarnya dan banyak yang menziarahi.

Para wanita ini adalah putri dari sultan yang berkuasa saat itu, kedudukan paling tinggi diantara 5 putri ini adalah makam Fatimah bt Maimun, seorang putri sultan Kedah yang menikah dengan sayyid Hasan, seorang pemimpin di wilayah Gresik.

Namun dengan alasan penelitian sejarah, nisan Fatimah bt Maimun di lepas dari makamnya, dan tergeletak di depan pintu cungkup makam. Nisan ini kini tersimpan di museum Trowulan. Keberadaan makam Fatimah bt Maimun diketahui dari penjaga makam setempat yang telah menjaga makam ini turun temurun, sejak ratusan tahun lalu.

Melepaskan penanda makam atau nisan dan tulisan pada cungkup makam-makam kuno di Indonesia, erat kaitannya dengan usaha pemerintah kolonial untuk menghilangkan Jejak Islam di Nusantara.

Namun cara apapun yang digunakan pemerintah kolonial untuk menutupi Jejak Islam di Nusantara, tradisi Islam yang telah mengakar kuat dan telah menjadi budaya dan tradisi kaum Muslim di Indonesia adalah petunjuk kuat bahwa Islam telah berada di negeri ini sejak awal diutusnya Rasul saw. Tradisi Islam yang mengakar kuat bagi penduduk Nusantara diantaranya adalah tradisi ziarah dan membangun makam yang terkait dengan tradisi ziarah.

Tradisi ziarah dan membangun makam yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia ini karena tradisi ini sudah ada sejak masa sebelum Islam. Demikian pula dengan para penjaga makam yang telah turun temurun bertugas sebagai penjaga makam, memiliki sumbangsih yang besar dalam menjaga keberadaan makam, yang menyebabkan hingga sampai saat ini, makam Fatimah bt Maimun masih dikenal dan banyak yang menziarahi.

prasasti siti fatimah binti maimun

Prasasti Batu Nisan Leran terdiri dari tujuh baris, yang terjemahannya:

  1. Dengan Nama Allah (Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Semua yang ada
  2. di bumi adalah fana. Dan yang kekal hanya Dzat Tuhanmu yang mempunyai Kebesaran
  3. dan Kemuliaan. makam perempuan yang tak berdosa,
  4. yang lurus, binti Maimun, bin Hibatu’llah, yang meninggal
  5. hari Jum’at delapan Rajab (setelah tujuh malam berlalu)
  6. tahun 475, dengan rahmat
  7. Allah Yang Maha Mengetahui semua yang gaib, Tuhan Yang Maha Agung dan Rasul-Nya yang mulia.

Siapakah Fatimah bt Maimun?

Cungkup (bangunan) makam terbuat dari bata yang berasal batu kapur putih. Batu kapur putih sebagai bahan pembuat bata selain bata merah adalah tradisi pembuatan bata yang umum di wilayah Jawa Timur khususnya wilayah Gresik dan Lamongan. (Sumber foto: doc. Pribadi)

Gbr. Bagian dalam Cungkup makam Fatimah bt Maimun. Terdapat 5 makam putri dari berbagai negara di dalam cungkup makam. Makam Fatimah bt Maimun ditandai dengan pagar besi dan kelambu sebagai makam utama dan kemungkinan makam yang tertua dari lainnya. (Sumber foto: doc.pribadi)

Fatimah adalah puteri dari Sayyid Maimun. Sayyid Maimun adalah seorang sultan di Kedah, Malaka putra dari Seh Sayyid Hibatullah. Seh Sayyid Hibatullah adalah putera dr Muhammad Makdum Sidiq. Muhammad Makdum Sidiq adalah putera dr Idris al Malik. Idris al Malik adalah putra dr Sayyid Ahmad al Biruni. Sayyid Ahmad Al Biruni adalah putera dr Sulaiman al Basri. Sulaiman al Basri adalah putera dr Imam Musa Al Kadzim. (sumber: https://www.geni.com/people/Sulieman/6000000001079875321)

Fatimah bt Maimun menikah dengan Sayyid Hasan, seorang Sayyid (keturunan Rasul saw) yang leluhurnya berasal dari gelombang hijrah generasi pertama yang hijrah dari wilayah Jazirah Arab dan menetap di Jawa Timur. Sayyid Hasan adalah contoh penduduk Indonesia yang berasal dari keturunan pernikahan campuran antara para pendatang dengan penduduk lokal yang berapa puluh tahun kemudian menjadi salah satu penguasa wilayah Leran, Gresik, yang kini berada di wilayah Jawa Timur.

Pernikahan Fatimah bt Maimun dengan Sayyid Hasan memiliki beberapa orang putra, diantaranya seorang putra yang bernama Sayyid Abdurahman.

Seperti umumnya para keluarga bangsawan jawa saat itu, usaha utama mereka adalah perdagangan. Mereka memiliki kapal-kapal dagang yang berlabuh di kota-kota besar di wilayah Arab dan sekitarnya. Salah satu kota pelabuhan kuno yang terkenal pada masa itu, sekitar abad ke-11 sampai abad ke 15 adalah kota Tarim di Yaman.

Sayyid Abdurahman, putra syarifah Fatimah bt Maimun dengan sayyid Hasan adalah salah satu contoh kaum sayyid yang berasal dari Indonesia, yang pada masa lalu bernama Hindia. Kakek moyang sayyid Abdurahman adalah kaum Muhajirin dari jazirah Arab, Syam dan persia yang hijrah ke Nusantara pada gelombang hijrah pertama setelah peristiwa Karbala, tahun 681 M.

Setelah dewasa sayyid Abdurahman meneruskan usaha dagang ayahnya, sayid Hasan. Beliau mejadi pedagang yg sukses dan cukup terkenal di Yaman, tepatnya di kota pelabuhan Tarim.

Sayyid Abdurahman menikah dengan wanita Tarim dan memiliki beberapa putra-putri, salah satu puterinya bernama Sarah. Sarah menikah dengan Abdul Malik.

Siapakah Abdul Malik?

Beliau adalah putera dari Alwi Amir Faqih (1109/69 M) putra dari Ali al Ghazam putera dari Sayyid Alwi putera dari Muhammad putera dr Ubaidillah/Abdullah putera dari Ahmad al Muhajir putera dari Isa al Basri putera dari Muhammad an Naqib putera dari Sayyid Ali Uraidi putra dari Imam Ja’far Shadiq putra dari Imam Muhammad al Baqir putra dari Imam Ali Zainal Abidin putra dr Imam Husein as Syahid putra dari Imam Ali bin Abi Thalib dan sayyidah Fatimah az Zahra putri Rasul saw.

Abdul Malik pindah ke India membawa anak dan istri nya, Sarah bt Abdurahman, cucu dari Fatimah bt Maimun.

Di India Abdul Malik tinggal di wilayah Gujarat. Abdul Malik kemudian menikah lagi dengan Puteri penguasa setempat dan mendapat gelar Azamat Khan.

Gelar ‘Khan’ beliau dapatkan karena menikah dengan Puteri kesultan Islam Mughal.

Pernikahan Abdul Malik dan Puteri India, memiliki beberapa orang putra putri, diantaranya Al Amir Abdullah Khanuddin alias Maulana Abdullah.

Al Amir Abdullah Khanuddin memiliki beberapa orang putra, diantaranya Al Amir Ahmad Syah Jalaluddin. Al Amir Syah Jalaluddin memiliki beberapa orang putra diantaranya : Jamaludin Hussain (alias Jamaludin al Kabir / al akbar).

Jamaludin Husein al Akbar adalah Kakek dari 9 orang Wali yang terkenal di Jawa, yang bergelar ‘Wali songo’. Makamnya berada di kota Wajo, Sulawesi.

makam,Wajo,bc Yasin di makam syekh Jamaluddin1

Makam Jamaluddin Husein di Wajo Sulsel

*Poin penting dari penelusuran kisah Fatimah bt Maimun*

  1. Makam Fatimah Bt Maimun yang wafat tahun 1082 dan kisah seputar kehidupannya adalah bukti bahwa Islam telah ada di Nusantara sejak masa awal Islam bukan seperti teori era kolonial yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang Gujarat pada abad ke-15, atau yang lebih moderat pada abad ke 13 setelah ditemukannya makam sultan Malik as Saleh dan adanya kerajaan Samudera Pasai.
  2. Dari bentuk cungkup makam, serta makam beberapa putri lain selain Fatimah bt Maimun, yaitu putri Keling, putri Kuching dan putri Kamboja (nama putri disandingkan dengan nama wilayah asalnya bukan nama orang) dapat diketahui bahwa beliau BUKAN orang asing yang wafat di Jawa, seperti kata beberapa teori, namun beliau adalah seorang syarifah (gelar wanita keturunan nabi saw), seorang putri, istri dari penguasa setempat yang juga sayyid (gelar pria keturunan nabi saw) dan berasal dari Jawa atau daerah Asia tenggara yg lain.
  3. Dari kedudukan suami beliau, seorang muslim, sayyid dan telah menjadi penguasa wilayah Gresik Bisa diketahui bahwa kedatangan kaum kerabat nabi ke Jawa telah ada jauh sebelum era Fatimah bt Maimun yang wafat tahun 1082 M.
  4. Fatimah bt Maimun adalah nenek buyut dari Jamaludin Husein al Akbar dan juga leluhur hampir sebagian besar penduduk Jawa yang masih memiliki kekerabatan dengan tokoh ‘walisongo’.
  5. Ringkasan silsilah dari Fatimah bt Maimun sampai ke Walisongo :
  • Fatimah adalah putri dari Maimun bin Hibatullah, seorang sultan dari Kedah, Malaka (sekarang Malaysia), berdasarkan garis silsilahnya beliau adalah keturunan ke 16 dari nabi Muhammad saw.
  • Fatimah menikah dengan Sayyid Hasan dari Jawa berputra Sayyid Abdurahman.
  • Sayyid Abdurahman menikah dengan wanita Tarim memiliki putri bernama Sarah.
  • Sarah menikah Abdul Malik dari Gujarat, India
  • Sarah binti sayyid Abdurahman dan Abdul Malik memiliki beberapa orang putra, salah satu diantaranya sayyid Abdullah Khan
  • Abdullah Khan berputra Ahmad Syah Jalaluddin
  • Ahmad Syah Jalaluddin berputra Jamaludin Husein Akbar
  • Jamaludin Husein Akbar, menikah dengan putri Champa, Dwarawati, memiliki banyak putra, 3 diantaranya yang menjadi leluhur walisongo:
  • Ali Nurul Alim (tinggal di Mesir). Salah satu putranya menjadi penguasa wilayah di Mesir, menikah dengan Nay Larasantang alias Syarifah Muda’im putri raja JawaBarat dibumi Jawadwipa (tulisan sesuai naskah Wangsakerta, tambahan: Tidak disebut nama rajanya) dari pernikahan ini lahir Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah-Cirebon.
  • Barkat Zainal Alim. Ayah dari Ibrahim Zainuddin al Akbar, di Indonesia kita mengenalnya dengan sebutan Maulana Malik ibrahim/Sunan Gresik
  • Ibrahim Zainuddin al Akbar menikah dengan beberapa orang putri, diantaranya dengan putri sultan Champa bernama dewi Chandrawulan, pernikahan Ibrahim Zainuddin Akbar dengan dewi Chandra wulan menurunkan beberapa putra dan putri diantaranya sayyid Ali Rahmatullah yang kita kenal dengan gelarnya Sunan Ampel. Ketika Champa akhirnya dikalahkan oleh bangsa Khemr, thn 1471, Maulana Malik Ibrahim dan keluarganya hijrah kembali ke Nusantara. Maulana Malik Ibrahim wafat dan dimakamkan di Gresik.

Ditulis oleh Sofia Abdullah

Sumber:

  1. Masuknya Islam ke Timur Jauh ttg kaum Muslim yg hijrah ke nusantara pasca Karbala, tahun 700-an Masehi
  2. Al Masyhur, Idrus Alwi, Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad saw di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timurtengah, India dan Afrika
  3. https://www.geni.com/people/Sulieman/6000000001079875321)
  4. Naskah Wangsakerta
  5. Sunyoto, Agus, Atlas Walisongo
  6. dan sumber-sumber lain yang terkait

Pandita Ramabai vs Kartini (bag. 4_Selesai)

Bagian 4 (selesai)

Berdasarkan penelitian Pramoedya Ananta Toer dalam buku Biografi Kartini; ‘Panggil Aku Kartini Saja’, ia mengatakan diterbitkannya buku Doot Duisternis tot Licht (DDTL) di Belanda, salah satu penyebabnya terkait erat dengan persaingan pemerintah Kolonial Belanda dengan pemerintah kolonial Inggris yang berhasil ‘memakmurkan’ negara jajahannya, dengan mengangkat tokoh kesetaraan gender dari India, didikan pemerintah kolonial Inggris bernama Pandita Ramabai (1858-1922), yang berasal dari kasta Brahma yang akhirnya berpindah keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen.

Pemerintah kolonial Inggris membantu Ramabai mendirikan sekolah-sekolah dan yayasan sosial untuk wanita dan anak-anak perempuan serta mengadakan penghimpunan dana sosial dan pendidikan menggunakan namanya; Ramabai Fonds.

Singkatnya untuk menyaingi ‘kebaikan’ pemerintah kolonial Inggris di tanah jajahannya, dan menyaingi popularitas Ramabai dan Ramabai Fonds, serta memperlihatkan superioritas Belanda di tanah jajahannya, Belanda ingin menjadikan sosok Kartini sebagai ‘Ramabai’-nya pemerintah kolonial Belanda.

Namun fakta berkata lain, Kartini bukanlah ‘Ramabai’ atau sosok yang diinginkan Belanda untuk menunjukkan ‘kebaikannya’ sebagai pemerintah kolonial.

Kartini adalah Kartini, sosok wanita muda yang kritis dan sangat peduli dengan bangsanya, terutama kaum wanita dan anak-anak.

Pada sisi kedua kehidupan Kartini, pemahamannya tentang agama Islam, sebagai agama leluhurnya pun banyak berubah, karena telah menemukan sosok guru-guru yang mumpuni yang selama ini dicarinya. Pemahaman Kartini pada agamanya beriringan dengan pemahaman pada kondisi negerinya, dan Politik kolonial yang terjadi pada bangsanya. Pandangannya tentang Eropa, lingkungan dan agamanya banyak berubah dan mencapai puncaknya pada usia 20 tahun.

Pandangannya tentang Belanda dan Eropa menjadi terbalik, besar kemungkinan karena pengaruh ayahnya, Sosroningrat dan kakaknya, Sosrokartono, yang banyak berjuang lewat jalur diplomasi dan politik.

Perubahan sikap Kartini bisa di baca dalam surat-suratnya antara tahun 1901-hingga menjelang wafatnya 1904.

Kematian Kartini diusia muda telah meredam semua cita-cita mulianya yang telah ia rencanakan dengan suaminya, yang ia pilih tanpa paksaan dan kesadaran penuh. Pada saat itu Kartini bukanlah siapa-siapa, dan sosoknya hanya dikenal oleh orang-orang terdekatnya saja dan mereka yang bersinggungan langsung dengan Kartini.

Pemerintah kolonial tentunya tidak mengira hal ini akan terjadi, sikap Kartini yang ‘berbalik’ arah bukan hanya membuktikan ‘kegagalan’ pemerintah kolonial untuk ‘mendidik’ Kartini menjadi ‘Ramabai’-nya Belanda namun juga sebagai pengakuan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak dapat memakmurkan tanah jajahannya dan ‘mendidik’ pribuminya agar mencintai Belanda dan negara Eropa sebagai bangsa superioritas.

Dari sinilah urgensitas membentuk tokoh wanita yang pro kolonial itu muncul dikalangan tokoh Politik etis Belanda. Belanda tidak mungkin menggunakan tokoh-tokoh wanita lain yang jelas-jelas menyerang kedudukannya sebagai pemerintah kolonial, seperti Cut Nyak Dien, misalnya.

Satu-satunya cara untuk memenuhi urgensitas ini adalah dengan mengambil tokoh wanita sebagai pejuang kesetaraan gender yang didukung dan didanai oleh pemerintah kolonial, seperti yang terjadi pada Pandita Ramabai. Dari sinilah awal mula diterbitkannya surat-surat Kartini oleh J. H Abendanon, yang surat-suratnya banyak mengalami proses pengeditan hingga sesuai apa yang dibutuhkan pemerintah kolonial pada saat itu.

Kartini Mati Dibunuh?

Wafatnya Kartini pada usia 25 tahun, 4 hari setelah kelahiran putranya RM Singgih Soesalit, memang bukan hal yang aneh, namun asumsi Kartini tewas dibunuh pun bermunculan karena 2 sebab :

1. Proses kelahiran sangat sulit, hingga dokter Belanda yang membantunya menggunakan ‘alat bantu’ yang tidak di jelaskan apa yang dijadikan alat bantu tersebut, hingga proses kelahiran berhasil, namun Kartini mengalami pendarahan hebat, namun pendarahan ini pun berhasil dilalui, dan Kartini pun sehat kembali.

2. Pada tanggal 17 September tepat hari ke empat pasca melahirkan, menurut penelitian dr Bouman, Kartini pun masih sehat, hingga sebelum pulang kerumahnya dr. Ravetijn memberikan obat untuk kesehatan Kartini, namun tidak lama kemudian Kartini mengalami Kram perut dan hanya sekitar setengah jam setelah minum obat tersebut Kartini pun wafat. Dari sinilah asumsi dibunuhnya Kartini pun bermunculan, namun sayangnya tidak ada penelitian lebih lanjut tentang kasus ini.

Bila pun Kartini dibunuh, bukanlah satu hal yang aneh mengingat sosok Kartini adalah orang yang diharapkan oleh pemerintah kolonial dapat menjadi sosok seperti ‘Ramabai’ dan mengharumkan pemerintah Kolonial, namun yang terjadi justru berbalik, bukannya mengharumkan nama pemerintah kolonial seperti Ramabai mengharumkan nama inggris, Kartini justru menjadi pejuang dalam yang menentang pemerintah kolonial melalui jalur pendidikan dan karya tulis-nya yang sudah mulai dimuat di majalah-majalah dan koran-koran yang terkenal saat itu.

Rencana-rencana Kartini bersama suami dan saudara-saudara perempuannya dianggap berbahaya bagi kelangsungan pemerintah kolonial, walaupun baru rencana, tapi dengan dukungan kuat dari pengaruh dan kedudukan suaminya tentunya akan dengan mudah cita-cita Kartini terlaksana. inilah menurut pandangan kami yang memperkuat asumsi dibunuhnya Kartini dengan cara di racun oleh dokter yang membantu proses kelahiran putranya RM Singgih Soesalit.

Kesimpulan

1. Kartini memang bukan pahlawan seperti Cut Nyak Dien yang terjun kelapangan mengusung senjata bersama suaminya Teuku Umar atau pahlawan pendidikan dan diplomasi seperti Dewi Sartika dan Hajjah Rasuna Said, Kartini hanyalah sosok wanita bangsawan pada umumnya yang memiliki kemampuan untuk bersekolah dan melalui surat-suratnya dapat diketahui bahwa ia memiliki rasa empati dan kepedulian yang tinggi pada masyarakatnya terutama kaum wanita dan anak-anak sebagai generasi penerus negeri, dan tentu saja rasa peduli dan empati sangat tidak sebanding bila di sejajarkan dengan para pahlawan wanita yang lain yang turun langsung berjuang untuk memperbaiki nasib negeri ini dengan segenap tenaga dan kemampuan mereka dan semestinya hari Kartini di ubah menjadi Hari Pahlawan Wanita untuk mengenang jasa para pahlawan wanita bukan hanya Kartini saja.

2. Seperti layaknya manusia yang terus belajar, Kartini pun akhirnya mendapat ilmu yang memberikan penjelasan padanya dari yang tidak mengerti apapun menjadi mengerti, hingga ia banyak menyebut kata-kata “dari kegelapan menuju cahaya” yang kemudian diterjemahkan menjadi “Dot Duisternis Tot Licht” yang menandakan dua sisi Kehidupan Kartini dalam pemahaman agama-nya dan negerinya yang pada awalnya tidak mengerti yang diungkapkan seperti berada dalam kegelapan, menjadi mengerti yang diungkapkan Kartini bagaikan mendapatkan cahaya.

3. Setelah membaca dan mempelajari sosok Kartini dari buku-buku referensi yang kami gunakan untuk menulis artikel ini, dan mempelajari sejarah penerbitan buku edisi Belanda-nya dan edisi melayu-nya semakin jelas adanya kepentingan Belanda yang turut di propagandakan untuk mempercepat dilaksanakannya politik Etis yang hasil akhirnya akan menguntungkan pemerintah kolonial juga. Salah satu program politik etis adalah mempermudah beasiswa pendidikan tinggi ke Belanda dengan tujuan menciptakan generasi pribumi baru yang pro-pemerintah kolonial dan sekuler.

4. Kepentingan Belanda untuk merendahkan Islam di mata pemeluknya, juga terlihat dalam surat-surat Kartini mengenai pandangannya tentang Islam pada masa kanak-kanak dan remaja, namun ketika Kartini akhirnya menemukan guru dan medapatkan penjelasan-penjelasan tentang Islam yang selama ini ia pertanyakan dengan detail pada awal suratnya, seakan sengaja di hilangkan dan yang dikisahkan hanya proses perubahan pada diri Kartini setelah mengenal Islam lebih dalam melalui buku-buku berbahasa Arab pegon yang diberikan gurunya.

5. Sosrokartono adalah sosok kakak yang paling dekat dengan Kartini. Setelah sekolah di Belanda, Sosrokartono sering kali melakukan korespondensi dengan adiknya ini, namun anehnya dalam buku kumpulan suratnya tidak satupun surat dari Kartini yang ditujukan untuk kakaknya Sosrokartono. Kejanggalan juga terlihat dalam surat-surat Kartini yang memperlihatkan hubungan yang sangat akrab dan sangat terbuka, akan lebih cocok bila surat itu ditujukan dari seorang adik kepada kakak-nya, bukan kepada tokoh-tokoh politik Belanda dan istrinya yang belum pernah ditemui oleh Kartini, seperti yang terdapat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

6. Setelah mempelajari sepak terjang pemerintah kolonial Belanda dalam memalsukan bukti-bukti sejarah dari mulai buku hingga prasasti (lih. Postingan kami sebelumnya tentang pemalsuan sumber sejarah tertulis di Ind), besar kemungkinan buku ‘Dot Duisternis Tot Licht’ adalah memoar sosok Kartini yang ditulis oleh sang kakak yang jenius dan ahli bahasa Sosrokartono dalam bentuk roman epistolary atau novel epistolary yang memang sedang populer pada awal 1900-an. Novel Epistolary adalah novel yang berbentuk surat menyurat atau kisah perjalanan. Contoh novel Epistolary yang terkenal pada era Kartini adalah novel ‘Dracula’ karya Bram Stocker yang terbit tahun 1897.

7. Sosok Sosrokartono yang tidak dikenal selama ini dan tidak pernah dipublikasikan dalam buku–buku sejarah menambah kecurigaan kami bahwa kumpulan surat Kartini yang kemudian di bukukan adalah karya R.M.P Sosrokartono sebagai memoar untuk mengenang sang adik, Kartini, yang kemudian disunting, dicetak dan diterbitkan oleh J.H Abendanon untuk kepentingan politik etis pemerintah kolonial.

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Referensi

1. Satu Abad Kartini 1879-1979 : bunga rampai karangan mengenai Kartini/koordinator, Ariestides Katoppo, cet.ke-4 Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1990

2. Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara 2003

3. Pane, Amijn, Habis Gelap Terbitlah Terang, cet. Ke 23, Jakarta: Balai Pustaka 2006

4. TEMPO, Gelap Terang Hidup Kartini, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 2013

5. https://en.wikipedia.org/wiki/Kartini

6.https://en.wikipedia.org/wiki/Pandita_Ramabai

7.https://en.wikipedia.org/wiki/Epistolary_novel

8.https://mampirjepara.wordpress.com/tag/rmp-sosrokartono/

Kartini & Politik Etis (bag. 3)

Bagian ke-3

Berbeda dengan pahlawan wanita yang lain, yang namanya telah dikenal sejak masih hidup, nama Kartini justru mulai dikenal di Belanda sekitar 7 tahun setelah wafatnya, tepatnya tahun 1911, setelah diterbitkannya buku yang berisi surat menyurat beliau dengan sahabat-sahabat pena-nya dari Belanda.

Surat-surat Kartini kemudian dikumpulkan, disunting, dicetak dan diterbitkan menjadi buku oleh salah seorang koresponden Kartini yang juga tokoh Politik Etis, J.H Abendanon dan diberi judul ‘Dot Duisternis tot Licht’ yang arti harfiahnya Dari Kegelapan menuju Cahaya. Judul ini diambil dari surat-surat Kartini beberapa tahun menjelang wafatnya pada tahun 1904 di usia yang masih relatif muda, 25 tahun.

Walaupun sebelum wafatnya Kartini pernah membuat sekolah putri setingkat sekolah dasar, namun sifat sekolah ini hanyalah sekolah informal dan hanya bertahan 2 tahun. Setelah Kartini wafat kemudian di susul ayahandanya setahun kemudian (1905) sekolah ini pun ditutup, hingga nama Kartini pun seperti hilang begitu saja.

Hingga 7 tahun kemudian nama Kartini muncul kembali sebagai nama sekolah perempuan pertama di Jawa yang didirikan pada tahun 1911 oleh J. H Van Deventer, 7 tahun setelah wafatnya Kartini atas dana penuh dari pihak Belanda.

Berdasarkan penelitian Dr H Bouman dalam buku Meer Licht Over Kartini dan penelitian Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Panggil Aku Kartini Saja, diakui atau tidak, dibesarkannya tokoh Kartini terkait erat dengan politik etis Belanda dan persaingan Belanda dengan pemerintah kolonial yang lain, dalam hal ini Inggris, yang merasa lebih ‘berhasil’ dalam memakmurkan negeri jajahannya.

Buku ini juga lahir sebagai jawaban dari desakan kaum sosialis untuk ‘mendidik’ negeri jajahan Belanda yang terpuruk agar bisa meredam terjadinya revolusi di kemudian hari.

Usulan ini kemudian menjadi dasar lahirnya politik etis pada tahun 1900. Politik etis secara teori dikatakan sebagai politik ‘Balas Budi’ Belanda kepada negeri jajahannya Hindia Belanda. Namun walaupun dikatakan sebagai politik balas budi pemerintah kolonial, dalam prakteknya politik etis ini lagi-lagi hanya menguntungkan pihak Belanda, secara langsung ataupun tidak langsung.

Secara langsung contohnya dengan politik etis, pemerintah kolonial membuka sekolah-sekolah gratis yang awalnya hanya untuk kalangan Belanda dan bangsawan menjadi terbuka untuk umum, kebijakan ini bertujuan salah satunya mengharum nama pemerintah kolonial Belanda diantara pemerintah kolonial lain terutama Inggris dan Perancis. Secara tidak langsung sekolah-sekolah ini baik disengaja atau tidak mendidik murid-muridnya menjadi pro kolonial dan melahirkan generasi-generasi yang pro kolonial yang hingga saat ini masih bisa kita rasakan.

Kejanggalan seputar diterbitkannya Buku Dot Duisternis tot Licht‘ juga banyak ditemukan, karena mulai pengumpulan surat, sunting, cetak hingga diterbitkannya hanya dikerjakan oleh J. H Abendanon saja, tidak ada pihak lain yang diminta pertimbangan atau sarannya. Buku ini juga disunting dan diedit hingga terdapat beberapa bagian surat yang terkesan tidak terkait antara satu dan lainnya. (hal. 23 Pram)

Kejanggalan pun bertambah karena hanya selang beberapa hari setelah buku ini terbit, pembesar-pembesar kerajaan Belanda seperti Ibu suri kerajaan, Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg dan menteri urusan jajahan berlomba-lomba menjadi pemberi sumbangan, dari sumbangan ini kemudian didirikan Kartini’s Fonds yang dikelola oleh Van Deventer, salah seorang tokoh Politik etis.

Dengan dana ini pula buku Dot Duisternis tot Licht’ tersebar melalui bentuk referensi di majalah-majalah hingga iklan di koran-koran ternama, hingga dalam waktu singkat buku ini sukses besar di Belanda, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.

Hingga tahun 1923, buku Dot Duisternis tot Licht’ telah cetak ulang sebanyak 4 kali. Namun walaupun sudah mendapatkan dana yang cukup banyak dari buku ini, Abendanon tetap tidak meminta nasehat dan pertimbangan dari siapapun tentang dibukukannya surat-surat Kartini ini. Semuanya ia kerjakan sendiri.

Dari perjalanan buku tersebut di Belanda dapat kita lihat bahwa para tokoh Politik Etis Belanda memiliki peran yang penting, yang menyebabkan buku ini sangat populer dan nama Kartini pun dikenal di beberapa negara Eropa.

Dibesarkannya sosok Kartini oleh para tokoh Politik Etis adalah sebagai pembuktian kepada masyarakat Eropa terutama Pemerintah Kolonial dan kaum Sosialis bahwa Belanda pun ‘berhasil’ mendidik negeri jajahanya dengan perantara sosok Kartini.

Dengan dana politik etis dari pemerintah belanda inilah sekolah khusus perempuan ‘Kartini’ tersebar di beberapa kota di Jawa dan Sumatera, dari sekolah inilah nama Kartini mulai diketahui masyarakat di Hindia Belanda.

Setelah malang melintang di Eropa, 5 tahun kemudian buku ini pun akhirnya diterjemahkan dalam bahasa melayu, bukan oleh Armijn Pane yang kita kenal sekarang namun oleh 4 orang sarjana Leiden, yaitu Baginda Abdoellah Dahlan, Baginda Zainoeddin Rasad, Soetan Moehammad Zain, dan Baginda Djamaloeddin Rasad, di cetak dan diterbitkan oleh Comissie voor de Volslectuur (sekarang Balai Pustaka). Armijn Pane baru dilibatkan dalam buku ini setelah cetakan ke-3, dan itu pun bukan sebagai penterjemah, hanya sebagai penentu komposisi jalan perjuangan Kartini menurut jalannya surat-suratnya. (hal. 141-143, Pram)

Masih menurut penelitian Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Panggil Aku Kartini saja’, semakin jelas terlihat adanya unsur kesengajaan untuk menghilangkan identitas Kartini yang sesungguhnya, karena hanya 40% dari surat-surat Kartini di buku Dot Duisternis tot Licht’ yang diterjemahkan.

(bersambung ke bag.4)

Pandita Ramabai vs Kartini_bagian 4 (selesai)

Dua Sisi Kehidupan Kartini (Bag. 2)

Siapakah Kartini?

Alur waktu di bawah ini akan menjelaskan pada kita dengan ringkas siapa Kartini;

21 April 1879 Kartini lahir dari rahim Ibunya yang bernama Ngasirah, garwa ampil (istri kedua) ayahnya, RM AA Sosroningrat yang berasal dari keluarga kaum bangsawan, dan pada saat itu menjabat sebagai bupati Jepara. Pada masa ini peraturan kolonial mengharuskan golongan bangsawan menikah dengan golongan bangsawan. Pernikahan dengan golongan yang bukan bangsawan akan dianggap pernikahan tidak resmi secara hukum, hanya resmi menurut Agama Islam (nikah siri). Istri dari golongan bangsawan disebut ‘garwa padmi’ atau istri utama, istri dari golongan non-bangsawan disebut ‘garwa ampil’ atau ‘garwa selir’.

1885-1892 Kartini kecil bersekolah di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere School, setingkat dengan Sekolah Dasar pada saat sekarang) hingga berusia 12,5 tahun. Ketika sekolah ia dijuluki Kuda Kore (kuda liar) karena seringnya ia tertawa keras hingga terlihat giginya, sebagai anak bupati yang bergelar raden Ajeng yang memiliki banyak aturan tata krama, tentu saja hal ini adalah suatu pelanggaran.

1892 pada usia 12,5 tahun Kartini mulai di pingit, diberi pendidikan di balik dinding kompleks rumahnya. Dipingitnya Kartini bukan berarti ia tidak lagi mendapat pendidikan, seperti kalangan bangsawan pada umumnya Kartini tetap mendapat pendidikan formal dan ketrampilan dibalik dinding kompleks rumahnya, dengan bekal inilah kemampuan berbahasa dan menulis Kartini berkembang pesat.

1895 Kartini berusia 16 tahun, membuat tulisan pertamanya berupa artikel tentang perkawinan pada suku Koja, berjudul; Het Huelijk bij de Kodja’s.

1896, usia Kartini 17thn, kedua adiknya Roekmini dan Kardinah mulai dipingit bersamanya. Kakaknya Sosrokartono, melanjutkan sekolah HBS (setingkat SMP-SMA) ke Semarang. Sosrokartono banyak mengirimkan buku-buku, novel dan majalah yang sedang populer ketika itu, dari sinilah, Kartini memiliki pengetahuan yang luas tentang dunia luar.

1898 Artikel Kartini tentang Perkawinan pada Suku Koja dipublikasikan di jurnal Bijdragen TLV.

2 Mei 1898, usia 18 tahun, Kartini di bebaskan dari pingitan, kakak tercintanya Sosrokartono melanjutkan studi ke Belanda & menjadi Mahasiswa jenius, ahli bahasa yang disegani para dosen.

25 Mei 1899, usia Kartini 20 tahun, Mulai berkorepondensi dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar di Belanda.

1901-1902 usia Kartini 20-23 tahun menemukan guru yang mengajarkannya agama Islam, disinilah titik balik kehidupan Kartini dimulai, dari yang awalnya banyak memuji pemerintah kolonial, feminisme wanita Eropa, dan seolah-olah tergantung oleh pada pemerintah Kolonial, menjadi pengeritik keras terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, terutama tentang program Zending (Kritenisasi) disekolah, Rumah Sakit dan tempat pelayanan umum lainnya, dengan gaya bahasa yang pedas namun masih sangat sopan.

1903, Januari Tuan & Nyonya Abendanon membujuk Kartini untuk membatalkan niatnya bersekolah ke Belanda namun melanjutkan HBS ke Batavia. Kartini kecewa dan tidak disangka orang yang selama ini ia kira akan menolongnya justru menarik bantuannya. Kartini akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke Batavia.

Juni 1903 sambil menunggu surat Beasiswa-nya turun, Kartini bersama kedua adiknya menjadikan pendopo dibelakang rumah mereka sebagai sekolah gadis Jawa pertama di Hindia Belanda setingkat SD, untuk anak-anak gadis di lingkungan sekitar rumahnya. Suratnya yang bertanggal 4 Juli 1903 kepada Abendanon mengatakan bahwa Kartini senang sekali ia telah mempunyai 7orang murid.

Juli 1903 Dengan pilihannya sendiri, Kartini membatalkan niatnya untuk melanjutkan HBS ke Batavia, dan memilih menikah dengan Bupati Rembang RM Djojoadiningrat, dengan kesadaran penuh tanpa paksaan. Dalam suratnya pada tanggal 1 Agustus kepada ny. Abendanon Kartini menjelaskan alasannya mengapa ia membatalkan beasiswa pendidikannya ke Batavia, salah satu diantaranya adalah karena ia menyadari posisinya sebagai wanita untuk berjuang di bidang diplomasi sangat lemah, karenanya calon suaminya yang telah lebih dulu berjuang di bidang pendidikan ini akan menjadi penolong utamanya dan bekerja sama dalam mencapai cita-citanya mendidik bangsanya melalui jalur pendidikan dan diplomasi. (hal.198,Pane)

8 November 1903 menikah dengan bupati Rembang, RM Djojoadiningrat, surat-surat Kartini berpendapat terbalik dengan sejarah umum yang kita ketahui, bahwa seolah-olah Kartini menikah dengan terpaksa karena tidak Kuasa menolak tradisi, faktanya Kartini justru merasa senang dengan pernikahannya, karena suaminya memiliki cita-cita yang sama dengannya dan bersedia membantu Kartini mencapai cita-citanya mendirikan sekolah pribumi. Rasa syukur Kartini yang mendalam karena telah menemukan orang yang dapat mengerti perjuangannya dan berjanji akan membantunya, terlihat dalam suratnya kepada nyonya Abendanon pada tanggal 1 Agustus 1903, ketika ia menolak dengan sopan beasiswa untuk melanjutkan HBS untuk pendidikan guru ke Batavia yang ia dapatkan dari pemerintah kolonial dan memilih menikah saja, karena dengan menikah, dan bersama dengan suaminya ia akan lebih banyak menolong bangsanya. (hal. 199,Pane)

Dalam suratnya yang lain kepada Tuan Abendanon dan Nyonya ketika Kartini telah resmi menjadi Istri RA Djaja Adiningrat, Kartini mengatakan:

“Saya mengucap syukur, membiarkan saya dibimbing oleh orang yang ditunjukkan oleh Allah Yang Mahakuasa menjadi kawan saya seperjalanan menempuh hidup yang luas yang kerap kali sangat sukarnya ini.”

Cita-cita Kartini untuk melanjutkan sekolah memang tidak terwujud, namun cita-citanya yang lain yang jauh ia anggap lebih penting telah di depan mata, yaitu bersama suaminya kelak ia akan mendirikan sekolah dan mendidik kaum pribumi.

13 September 1904 melahirkan putra pertamanya R. M Soesalit

17 September 1904 Kartini wafat pada usia yang masih sangat muda 25 tahun, 4 hari setelah melahirkan anak pertamanya. Banyak asumsi yang beredar seputar kematiannya, karena 3 hari sebelumnya kondisi Kartini setelah melahirkan cukup baik, hingga tanggal 17 pun kondisi Kartini cukup baik. kondisinya memburuk setelah meminum obat dari dr Ravesteijn yang membantunya melahirkan. Kartini wafat setengah jam setelah meminum obat tersebut, dari sinilah kemudian muncul rumor bahwa Kartini meninggal karena diracun, namun sayang tidak ada yang bisa membuktikan asumsi ini. (hal. 109, Gelap Terang hidup Kartini)

Foto Kartini & Suaminya (atas). Bawah: foto R.M Singgih Soesalit, putra Kartini

Dari alur waktu diatas dapat kita ketahui bahwa :

Kartini lahir dan hidup pada masa Indonesia dalam keterpurukan yang dahsyat. Kemiskinan dan kelaparan merajarela akibat tanam paksa yang dilakukan Belanda untuk mengisi Kas negara yang kosong akibat perang Jawa yang dipimpin pangeran Diponegoro yang telah menguras Kas negara belanda.

Untuk meringankan beban penduduk jawa saat itu, para pejuang mengambil 2 sikap untuk menolong penduduk Hindia (nama Indonesia pada era kolonial), yaitu sebagai kaum ulama yang bersebrangan dengan pemerintah Kolonial dan sebagai pejabat pemerintahan yang seolah-olah taat pada aturan kolonial.

Ayah Kartini RMA Sosroningrat sebagai gol. Pejabat pemerintah, walaupun di satu sisi memiliki banyak keterbatasan menolong bangsanya, namun di sisi lain ia kuat dalam hukum, hingga mendapat fasilitas-fasilitas dari pemerintah kolonial yang tidak dapat diganggu gugat untuk kesejahteraan penduduknya.

Poligami yang dilakukan kaum bangsawan pada saat itu adalah salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan, dengan memiliki banyak istri dari rakyat biasa, satu orang kaum bangsawan dapat menolong puluhan warganya dari kemiskinan, seperti ibu kandung Kartini sendiri yang bernama Ngasirah.

Kondisi ini kemudian diketahui Kartini sejalan dengan bertambahnya usia. Menjadi istri ke empat dari Bupati Rembang dengan sadar dan tanpa paksaan pun juga sebagai bukti kepada masyarakat bahwa bukan hukum poligami yang ditentang Kartini, namun tradisi dan adat yang telah menyalah artikan hukum tersebut.

Kartini lahir pada era kemenangan Belanda atas para pejuang nusantara, yang mana Belanda memiliki aturan yang ketat bagi kaum bangsawan yang menduduki jabatan di pemerintahan.

Norma Norma yang berlaku dalam lingkungan keraton tidak lepas dari pantauan pemerintah kolonial, dari mulai sistem pendidikan hingga cara berpakaian.

Salah satu sistem pendidikan yang berlaku saat itu adalah mewajibkan anak-anak bangsawan sekolah di sekolah-sekolah Belanda. Disekolah ini setiap murid wajib mengikuti pendidikan kristen sebagai agama mayoritas pemerintah kolonial, mewajibkan kebaktian, walaupun beragama Islam, namun disisi lain melarang keras diterjemahkanya Al Qur’an dengan alasan Al Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan, Al Qur’an hanya diperbolehkan dipelajari hurufnya, dibaca tanpa difahami artinya.

Sistem pendidikan lain yang juga berlaku pada masa ini adalah dilarangnya Huruf Arab Jawa atau Arab Pegon yang telah umum digunakan masyarakat luas saat itu. Sebagai gantinya masyarakat jawa saat itu diwajibkan mempelajari huruf latin sebagai huruf bangsa Eropa dan wajib mempelajari huruf Jawa kuno, yang penggunaan sudah sangat jarang, hanya berlaku pada kalangan sastrawan pada masa itu. (lih. Arab di Nusantara, Van den Berg)

Akibat dari aturan di atas, sebagian besar kaum bangsawan akhirnya pro kepada Belanda, tidak mengenal agama dan tradisi leluhurnya, hingga lahirlah orang-orang jawa yang pro Belanda. Namun lain hal-nya dengan para pejuang yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, seperti RMA Sosroningrat, ia memilih memingit anak-anak putri mereka agar tetap kenal dengan ajaran agama leluhurnya dan tradisi bangsanya.

Dipingitnya Kartini adalah akibat dari campur tangan pemerintah kolonial untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pro kolonial, dengan cara ikut terlibat dalam mengatur Norma dan tradisi yang berlaku saat itu.

Singkat kata tradisi pingit pada masa itu terjadi bukan murni sebagai tradisi Jawa tapi akibat dari kebijakan Belanda mengatur sistem pendidikan sedemikian rupa hingga bila diikuti akan melahirkan generasi-generasi yang pro kolonial, terutama bagi kaum bangsawan saat itu.

Kartini hanya mengikuti sekolah wajib bersekolah di Sekolah Belanda dengan bahasa pengantar dan tulisan Belanda hingga tamat Sekolah Dasar, itupun telah membuat Kartini kecil ‘buta’ akan agama Islam, agama yang dianut oleh keluarganya secara turun temurun.

Mengapa demikian? Salah satu cara pemerintah kolonial mempertahankan negeri jajahannya adalah dengan menguasai agama, tradisi dan budaya yang di anut mayoritas masyarakat saat itu, dalam hal ini adalah Islam. Sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia masa itu, pemerintah kolonial harus mempelajari lebih dalam tentang Islam. Ajaran Islam dan tokoh-tokoh-nya dianggap sebagai ‘musuh’ pemerintah kolonial karena setiap kali ada perlawanan terhadap pemerintah kolonial sering kali didalangi oleh ulama atau Kyai.

Dari masa ke masa pemerintah kolonial kemudian banyak mengutus mata-mata untuk mempelajari Islam dan penganutnya agar mengetahui kelemahan kaum muslim dan mengalahkan mereka. Salah satu diantara tokoh mata-mata ini, yang teorinya masih digunakan hingga saat ini, bernama Snouck Hougronje. Menurut pendapatnya salah satu cara agar dapat ‘menjinakkan’ Hindia harus menjauhkan umat Islam dari agamanya, karena Islam mengajarkan membela diri dan berjuang melawan penjajahan, maka umat Islam identik dengan revolusi atau memberontak kepada pemerintah kolonial, dan cara menjauhkan Islam dari umatnya yang paling efektif adalah melalui dunia pendidikan yang diajarkan sedini mungkin.

pemerintah kolonial menerapkan sistem pendidikan yang disarankan oleh Snouck Hougronje dan para orientalis Belanda pada masa itu. Sistem pendidikan inilah yang berlaku pada masa Kartini.

Awal Kartini aktif menulis dan surat menyurat dengan koleganya di Belanda masih dalam usia yang terbilang muda 15-18 tahun, dalam kondisi dibalik tembok keraton, perjalanan keluar keraton adalah pengalaman yang luar biasa bagi Kartini dan saudara-saudaranya.

Dalam kondisi seperti itu bisa dikatakan pengetahuan Kartini pada awal ia melakukan korespondensi dengan kolega-nya di Belanda, tidak mengerti sesungguhnya kondisi politik dan perekonomian bangsanya, dan hal tersebut tentunya sangat wajar karena dunia yang diketahui Kartini hanya melalui buku-buku dan novel yang dibacanya.

Bertambahnya umur, beriring dengan kepandaiannya dan rasa ingin tahunya yang begitu besar, menjadikan Kartini tidak pernah berhenti belajar hingga akhirnya ia mengetahui segala situasi dan kondisi yang terjadi di negerinya.

Dari sinilah ia mulai berbalik, dari yang pada awalnya banyak memuji Belanda, menjadi pengkritik keras segala kebijakan Belanda, terutama peran pemerintah kolonial dalam usahanya melakukan Zending (menasranikan pribumi) melalui pendidikan dan pelayanan umum seperti rumah sakit.

Protes Kartini mengenai Zending dapat dibaca dalam suratnya kepada Tuan Abendanon, bertanggal 1 Febuari 1903, Kartini mengucapkannya dengan cukup tegas ; “usahakanlah Zending itu (sebagai suatu kegiatan sosial bagi masyarakat) tetapi tidak dengan menasranikan orang! (lih. buku Habis gelap terbitlah terang, hal.181, terj. Armijn Pane, cet. Ke 23 terbitan Balai Pustaka 2006 )

Pandangannya tentang agama pun mengalami perubahan total setelah bertemu beberapa orang guru, diantaranya yang ia sebutkan dalam surat-suratnya antara tahun 1901-1903, ada sosok wanita tua yang mengajarinya tentang makna agama, ada pula Kyai Sholeh Darat (1820-1903) yang walaupun tidak disebutkan namanya, namun Kyai Sholeh Darat adalah ulama yang menjadi pengisi tetap acara-acara keagamaan di Kadipaten Jepara. Menurut pengakuan cucu Kyai Sholeh Darat yang dimuat dalam Tribun Jateng, Kartini berguru pada beliau selama kurang lebih setahun. pengaruh Kyai Sholeh Darat dapat dilihat dalam surat-surat Kartini selanjutnya yang telah memiliki banyak pemahaman tentang Ilmu agama.

bersambung ke bag.3

Dua Sisi Kehidupan Kartini (bag.1)

Kartini & Politik Etis (bag. 3)

Dua Sisi Kehidupan Kartini (bag.1)

Sejak diangkatnya Kartini menjadi pahlawan nasional pada tanggal 2 Mei 1964, berdasarkan SK Presiden Sukarno no. 108 tahun 1964, namanya semakin mengundang kontroversi dari masa ke masa. Bagaimana tidak, karena pada masa yangvkurang lebih sama dengan masa Kartini hidup, bertebaran pahlawan wanita di berbagai propinsi di Indonesia dengan berbagai keahlian dan kontribusi mereka kepada bangsanya.

Pertanyaan-pertanyaan penulis seputar kehidupan Kartini kemudian merebak, dan penulis yakin pertanyaan yang sama timbul di kalangan pemerhati sejarah, “kenapa seolah-olah hanya Kartini satu-satunya pahlawan wanita yang paling berjasa di Nusantara?” “apakah perannya demikian besar hingga ada hari khusus dan lagu untuk mengenang beliau?”

Siapakah sebenarnya Kartini? Benarkah sosok Kartini terkait dengan Politik Etis? Benarkah Kartini Dibunuh?

Tulisan ringkasan biografi Kartini yang kami bagi menjadi 4 bagian ini, semoga dapat menjawab pertanyaan – pertanyaan yang beredar seputar sosok beliau, yang juga menjadi pertanyaan kami selama ini sebagai pemerhati sejarah nusantara. Sosoknya yang mengundang pro-kontra membuat kami semakin penasaran untuk menelusuri kehidupan Kartini yang singkat namun meninggalkan banyak pertanyaan seputar sosoknya.

Sumber utama tulisan ini adalah buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang disusun ulang oleh Armijn Pane hingga menjadi bab-bab yang kita kenal sekarang. Buku ini adalah kumpulan surat R.A Kartini yang berdasarkan sejarah yang kita ketahui selama ini dibukukan oleh salah seorang sahabat pena Kartini, bernama J.H Abendanon, dengan judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya Dari Kegelapan Menuju Cahaya.

Buku ini kemudian diterjemahkan oleh 4 orang sarjana Leiden dari Hindia Belanda (Indonesia) dan disusun kembali oleh Armijn Pane. Namun sayangnya sejak awal buku ini terbit baik dalam bahasa Belanda-nya apalagi terjemahan bahasa melayu-nya mengalami banyak sekali penyuntingan atau di edit, dan terjemahan bahasa Indonesia yang ada pada kita saat ini hanya tinggal sekiyar 40% dari edisi Bahasa Belanda-nya.

Buku-buku lainnya yang menjadi sumber tulisan ini antara lain; Satu Abad Kartini (1979) yang merupakan kumpulan tulisan para ahli yang telah membaca dan meneliti kehidupan Kartini, buku biografi Kartini karya Pramoedya Ananta Toer (alm) yang berjudul ‘Panggil Aku Kartini Saja’ dan buku penelitian Tempo; ‘Gelap Terang Hidup Kartini’, dan beberapa penelitian lain yang saya ambil dari beberapa website.

Setelah membaca dan mempelajari lebih dalam, barulah dapat difahami siapa itu Kartini berdasarkan surat-suratnya, dan Kartini berdasarkan penelitian para ahli sejarah dari masa ke masa.

Dari surat-suratnya kepada para sahabatnya kita bisa melihat pandangan-pandangan Kartini ketika ia berusia kanak-kanak, remaja hingga dewasa dan apa yang mendasari seorang Kartini bersikap demikian.

Dari beberapa buku yang menjadi pegangan kami untuk menulis artikel ini, kami pelajari ada dua sisi dalam kehidupan Kartini yang terungkap dalam surat-suratnya, sisi pertama adalah sosok Kartini yang masih sangat muda dengan emosi yang bergolak, yaitu usia 12-17 tahun, dan sosok Kartini yang mulai dewasa pada usia 17-25 tahun, yang telah mengerti tentang segala hal di lingkungannya dengan lebih mendalam. Namun sayangnya sosok Kartini dan pandangan-pandangannya yang telah dewasa jauh melebihi batas umurnya dalam melihat kondisi di sekitarnya dengan lebih mendalam justru kurang diperhatikan.

Sisi pertama kehidupan Kartini telah banyak kita ketahui melalui forum diskusi, laman-laman di Website ataupun media sosial, karenanya dalam tulisan ini penulis akan lebih menyorot sisi kehidupan Kartini saat ia berusia 17-25, dan kejanggalan-kejanggalan seputar kehidupan Kartini.

Namun demikian satu hal yang tidak pernah berubah dari seorang Kartini adalah keinginannya untuk memajukan bangsanya terutama kaum wanita lewat pendidikan, tujuannya jelas, bukan untuk menjadi pegawai pemerintah, atau bekerja di luar rumah, namun tujuan pendidikan bagi kaum wanita menurut Kartini terkait dengan tugas utama wanita sebagai pendidik anak-anaknya, seperti yang tertulis dalam suratnya :

“dan bagaimanakah seorang Ibu dapat mendidik anak-nya kalau ia sendiri tidak berpendidikan?”

Kedua sisi dalam kehidupan Kartini dapat terbaca dalam surat-suratnya yang ia tulis ketika berusia 17-19 tahun, sebagai seorang remaja yang megisahkan kehidupannya, suka dukanya dan pandangannya pada masa kanak-kanak dan remaja. Dan sebagaimana remaja pada umumnya yang memiliki emosi yang bergolak, Kartini pun demikian, ia banyak meluapkan emosinya tentang lingkungan sekitarnya, agama, tradisi dan adat yang berlaku saat itu.

Dan sebagaimana layaknya remaja, dan tinggal di dalam pingitan, tentunya memiliki pengetahuan yang sangat kurang tentang kondisi Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negeri jajahan, dan tidak mengetahui dengan jelas penyebab terpuruknya kondisi lingkungan sekitar kediamannya serta kebijakan-kebijakan yang diambil kaum bangsawan ketika itu.

Sebagai seorang remaja, ketidak tahuan Kartini tersebut adalah hal yang sangat wajar mengingat usianya yang masih sangat belia, yaitu 12,5 tahun ketika mulai dipingit. Sebagai anak yang pandai dan memiliki rasa ingin tahu yang besar ia ingin sekali meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, namun tidak di perbolehkan karena alasan tradisi dan adat. Dari sinilah Kartini muda mulai protes, terhadap lingkungan sekitarnya.

Walaupun demikian Kartini termasuk gadis yang cukup beruntung pada masanya, karena selain terlahir dari keluarga bangsawan, ayah, kakeknya dan garis keturunannya keatas adalah juga kaum intelektual dengan pemahaman Islam yang bagus, karena itu rasa ingin tahu Kartini yang besar pun terfasilitasi.

Hal ini terlihat karena dalam masa pingitan pun ayahnya, R. M. A Sosroningrat, tetap memberikan pendidikan yang terbaik bagi putri-putrinya. Dalam hal pendidikan agama pun sebenarnya Kartini cukup mendapatkannya dari ayahnya ataupun ibu kandung-nya, Ngasirah. Ngasirah adalah putri seorang guru agama yang disegani, ia mendidik Kartini cukup keras dalam membaca dan menghafal Al Qur’an.

Namun sayang ajaran Islam yang diterima Kartini hanya bersifat ritual tanpa penjelasan. Penjelasan yang ia dapatkan hanya bersifat petuah atau nasehat turun temurun dari keluarganya, dan beberapa diantaranya sudah berbaur dengan tradisi dan adat.

Hal ini terjadi karena pemerintah kolonial mengatur pendidikan agama Islam bagi para pejabat dengan demikian ketat hingga walaupun membaca Al Qur’an masih diperbolehkan namun penerjemahannya serta tafsirnya dilarang, karena belanda takut bila kaum muslim mengetahui ajaran Islam, akan terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Namun karena masih belia Kartini tidak mengetahui politik kolonial ini.

Pergaulannya yang luas dengan kalangan Nyonya-nyonya Belanda, kenalan ayahnya, berpengaruh banyak terhadap pola pikir gadis Jawa ini, ditambah lagi tradisi feodal di kalangan bangsawan Jawa, yang dimata Kartini sangat merendahkan wanita, berbanding terbalik dengan apa yang Kartini kecil lihat terhadap perlakuan wanita Eropa, hingga menambah deretan kekaguman Kartini kecil kepada bangsa Eropa.

Namun berjalannya usia, bertambahnya ilmu, membuat Kartini semakin faham bahwa apa yang selama ini ia anggap benar ternyata tidak selamanya benar. Demikian pula sebaliknya, sesuatu yang ia anggap salah belum tentu salah.

Inilah periode terbalik dalam kehidupan Kartini, ketika ia berumur 18 hingga wafatnya pada usia 25 tahun.

Titik balik kehidupan Kartini dimulai ketika ia bertemu beberapa orang guru yang mengajarkan agama Islam padanya, dari guru-guru nya inilah ia mulai berkenalan dengan Islam sejati melaui terjemah dan tafsir Al Qur’an.

Tentang gurunya ini Kartini mengatakan dalam suratnya :

“Ada disini seorang tua tempat aku meminta bunga yang berkembang di dalam hati (maksudnya Ilmu agama yang selama ini dirindukan Kartini).

Sudah banyaklah yang diberikannya dan sangatlah banyaknya ‘bunga’ simpanannya, dan aku hendak lagi, senantiasa lagi, dan dia pun suka menambahnya lagi dan lagi tapi tiada boleh aku peroleh dengan percuma saja, bunganya itu harus kubeli…

dengan apa? Apakah pembayarannya? Lalu dengan sungguh-sungguh terdengarlah suaranya mengatakan, “berpuasalah sehari semalam, berjagalah pula waktu (malam) itu, bersepikan diri (perbanyaklah tafakkur/merenungi nikmat yang telah Allah SWT berikan).

Habis malam datanglah siang

Habis topan datanglah reda

Habis perang datanglah menang

Habis duka datanglah suka.

(Hal. 149, Pane)

Islam yang selama ini ia ketahui hanya dari ritualnya saja, dan hafalan-hafalan ayatnya saja, kini telah membukan cakrawala ilmu bagi seorang Kartini. Tentang periode ini, dalam suratnya kepada nyonya Van Kol ia mengatakan :

Wahai sangat benar gembira hati para orang tua karena kami yang tersesat telah balik kepada jalan yang benar, sangatlah mengharukan hati kami. Seorang tua disini karena girangnya, menyerahkan kepada kami semua kitab-kitabnya, naskah bahasa Jawa, yang ditulis dengan huruf Arab, kami pelajarilah kembali, membaca dan menulisnya (maksudnya naskah bahasa Jawa dengan huruf Arab atau arab pegon_penulis) (lih. Hal.151, Pane)

Setelah periode ini, sering kali dalam suratnya kepada teman-temannya ia mengatakan “dari kegelapan menuju cahaya” yang dipetik dari Al Qur’an surat al Baqarah : 257, untuk menggambarkan perubahan dirinya dari Kartini yang lama menjadi Kartini yang baru, dari yang tidak mengerti apa-apa tentang agama, menjadi mengetahui ajaran-ajaran agamanya, sehingga ia merasa mendapatkan cahaya setelah berjalan di kegelapan.

Dari kata-katanya ini-lah diambil judul kumpulan suratnya yang dalam bahasa Belanda memiliki arti yang sama “Door Duisternis tot Licht” yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Habis gelap terbitlah terang” agar terdengar lebih puitis.

Dalam buku penelusuran Pramoedya Ananta Toer tentang RA Kartini, yang kemudian ia beri judul ‘Panggil Aku Kartini Saja’, Pramoedya Ananta Toer menyatakan dengan gamblang bahwa pemerintah Belanda dengan politik etisnya membesarkan nama Kartini karena Kartini dianggap sebagai contoh terbaik ‘didikan’ Belanda yang bisa diberikan kepada pribumi jajahannya. (hal. 12). Benarkah demikian?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, baiknya kita mengetahui dulu siapa itu Kartini melalui alur waktu kehidupan Kartini.

(bersambung ke Bagian 2)

Dua Sisi Kehidupan Kartini_Siapakah Kartini? (Bag. 2)