Dua Sisi Kehidupan Kartini (Bag. 2)

Siapakah Kartini?

Alur waktu di bawah ini akan menjelaskan pada kita dengan ringkas siapa Kartini;

21 April 1879 Kartini lahir dari rahim Ibunya yang bernama Ngasirah, garwa ampil (istri kedua) ayahnya, RM AA Sosroningrat yang berasal dari keluarga kaum bangsawan, dan pada saat itu menjabat sebagai bupati Jepara. Pada masa ini peraturan kolonial mengharuskan golongan bangsawan menikah dengan golongan bangsawan. Pernikahan dengan golongan yang bukan bangsawan akan dianggap pernikahan tidak resmi secara hukum, hanya resmi menurut Agama Islam (nikah siri). Istri dari golongan bangsawan disebut ‘garwa padmi’ atau istri utama, istri dari golongan non-bangsawan disebut ‘garwa ampil’ atau ‘garwa selir’.

1885-1892 Kartini kecil bersekolah di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere School, setingkat dengan Sekolah Dasar pada saat sekarang) hingga berusia 12,5 tahun. Ketika sekolah ia dijuluki Kuda Kore (kuda liar) karena seringnya ia tertawa keras hingga terlihat giginya, sebagai anak bupati yang bergelar raden Ajeng yang memiliki banyak aturan tata krama, tentu saja hal ini adalah suatu pelanggaran.

1892 pada usia 12,5 tahun Kartini mulai di pingit, diberi pendidikan di balik dinding kompleks rumahnya. Dipingitnya Kartini bukan berarti ia tidak lagi mendapat pendidikan, seperti kalangan bangsawan pada umumnya Kartini tetap mendapat pendidikan formal dan ketrampilan dibalik dinding kompleks rumahnya, dengan bekal inilah kemampuan berbahasa dan menulis Kartini berkembang pesat.

1895 Kartini berusia 16 tahun, membuat tulisan pertamanya berupa artikel tentang perkawinan pada suku Koja, berjudul; Het Huelijk bij de Kodja’s.

1896, usia Kartini 17thn, kedua adiknya Roekmini dan Kardinah mulai dipingit bersamanya. Kakaknya Sosrokartono, melanjutkan sekolah HBS (setingkat SMP-SMA) ke Semarang. Sosrokartono banyak mengirimkan buku-buku, novel dan majalah yang sedang populer ketika itu, dari sinilah, Kartini memiliki pengetahuan yang luas tentang dunia luar.

1898 Artikel Kartini tentang Perkawinan pada Suku Koja dipublikasikan di jurnal Bijdragen TLV.

2 Mei 1898, usia 18 tahun, Kartini di bebaskan dari pingitan, kakak tercintanya Sosrokartono melanjutkan studi ke Belanda & menjadi Mahasiswa jenius, ahli bahasa yang disegani para dosen.

25 Mei 1899, usia Kartini 20 tahun, Mulai berkorepondensi dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar di Belanda.

1901-1902 usia Kartini 20-23 tahun menemukan guru yang mengajarkannya agama Islam, disinilah titik balik kehidupan Kartini dimulai, dari yang awalnya banyak memuji pemerintah kolonial, feminisme wanita Eropa, dan seolah-olah tergantung oleh pada pemerintah Kolonial, menjadi pengeritik keras terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, terutama tentang program Zending (Kritenisasi) disekolah, Rumah Sakit dan tempat pelayanan umum lainnya, dengan gaya bahasa yang pedas namun masih sangat sopan.

1903, Januari Tuan & Nyonya Abendanon membujuk Kartini untuk membatalkan niatnya bersekolah ke Belanda namun melanjutkan HBS ke Batavia. Kartini kecewa dan tidak disangka orang yang selama ini ia kira akan menolongnya justru menarik bantuannya. Kartini akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke Batavia.

Juni 1903 sambil menunggu surat Beasiswa-nya turun, Kartini bersama kedua adiknya menjadikan pendopo dibelakang rumah mereka sebagai sekolah gadis Jawa pertama di Hindia Belanda setingkat SD, untuk anak-anak gadis di lingkungan sekitar rumahnya. Suratnya yang bertanggal 4 Juli 1903 kepada Abendanon mengatakan bahwa Kartini senang sekali ia telah mempunyai 7orang murid.

Juli 1903 Dengan pilihannya sendiri, Kartini membatalkan niatnya untuk melanjutkan HBS ke Batavia, dan memilih menikah dengan Bupati Rembang RM Djojoadiningrat, dengan kesadaran penuh tanpa paksaan. Dalam suratnya pada tanggal 1 Agustus kepada ny. Abendanon Kartini menjelaskan alasannya mengapa ia membatalkan beasiswa pendidikannya ke Batavia, salah satu diantaranya adalah karena ia menyadari posisinya sebagai wanita untuk berjuang di bidang diplomasi sangat lemah, karenanya calon suaminya yang telah lebih dulu berjuang di bidang pendidikan ini akan menjadi penolong utamanya dan bekerja sama dalam mencapai cita-citanya mendidik bangsanya melalui jalur pendidikan dan diplomasi. (hal.198,Pane)

8 November 1903 menikah dengan bupati Rembang, RM Djojoadiningrat, surat-surat Kartini berpendapat terbalik dengan sejarah umum yang kita ketahui, bahwa seolah-olah Kartini menikah dengan terpaksa karena tidak Kuasa menolak tradisi, faktanya Kartini justru merasa senang dengan pernikahannya, karena suaminya memiliki cita-cita yang sama dengannya dan bersedia membantu Kartini mencapai cita-citanya mendirikan sekolah pribumi. Rasa syukur Kartini yang mendalam karena telah menemukan orang yang dapat mengerti perjuangannya dan berjanji akan membantunya, terlihat dalam suratnya kepada nyonya Abendanon pada tanggal 1 Agustus 1903, ketika ia menolak dengan sopan beasiswa untuk melanjutkan HBS untuk pendidikan guru ke Batavia yang ia dapatkan dari pemerintah kolonial dan memilih menikah saja, karena dengan menikah, dan bersama dengan suaminya ia akan lebih banyak menolong bangsanya. (hal. 199,Pane)

Dalam suratnya yang lain kepada Tuan Abendanon dan Nyonya ketika Kartini telah resmi menjadi Istri RA Djaja Adiningrat, Kartini mengatakan:

“Saya mengucap syukur, membiarkan saya dibimbing oleh orang yang ditunjukkan oleh Allah Yang Mahakuasa menjadi kawan saya seperjalanan menempuh hidup yang luas yang kerap kali sangat sukarnya ini.”

Cita-cita Kartini untuk melanjutkan sekolah memang tidak terwujud, namun cita-citanya yang lain yang jauh ia anggap lebih penting telah di depan mata, yaitu bersama suaminya kelak ia akan mendirikan sekolah dan mendidik kaum pribumi.

13 September 1904 melahirkan putra pertamanya R. M Soesalit

17 September 1904 Kartini wafat pada usia yang masih sangat muda 25 tahun, 4 hari setelah melahirkan anak pertamanya. Banyak asumsi yang beredar seputar kematiannya, karena 3 hari sebelumnya kondisi Kartini setelah melahirkan cukup baik, hingga tanggal 17 pun kondisi Kartini cukup baik. kondisinya memburuk setelah meminum obat dari dr Ravesteijn yang membantunya melahirkan. Kartini wafat setengah jam setelah meminum obat tersebut, dari sinilah kemudian muncul rumor bahwa Kartini meninggal karena diracun, namun sayang tidak ada yang bisa membuktikan asumsi ini. (hal. 109, Gelap Terang hidup Kartini)

Foto Kartini & Suaminya (atas). Bawah: foto R.M Singgih Soesalit, putra Kartini

Dari alur waktu diatas dapat kita ketahui bahwa :

Kartini lahir dan hidup pada masa Indonesia dalam keterpurukan yang dahsyat. Kemiskinan dan kelaparan merajarela akibat tanam paksa yang dilakukan Belanda untuk mengisi Kas negara yang kosong akibat perang Jawa yang dipimpin pangeran Diponegoro yang telah menguras Kas negara belanda.

Untuk meringankan beban penduduk jawa saat itu, para pejuang mengambil 2 sikap untuk menolong penduduk Hindia (nama Indonesia pada era kolonial), yaitu sebagai kaum ulama yang bersebrangan dengan pemerintah Kolonial dan sebagai pejabat pemerintahan yang seolah-olah taat pada aturan kolonial.

Ayah Kartini RMA Sosroningrat sebagai gol. Pejabat pemerintah, walaupun di satu sisi memiliki banyak keterbatasan menolong bangsanya, namun di sisi lain ia kuat dalam hukum, hingga mendapat fasilitas-fasilitas dari pemerintah kolonial yang tidak dapat diganggu gugat untuk kesejahteraan penduduknya.

Poligami yang dilakukan kaum bangsawan pada saat itu adalah salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan, dengan memiliki banyak istri dari rakyat biasa, satu orang kaum bangsawan dapat menolong puluhan warganya dari kemiskinan, seperti ibu kandung Kartini sendiri yang bernama Ngasirah.

Kondisi ini kemudian diketahui Kartini sejalan dengan bertambahnya usia. Menjadi istri ke empat dari Bupati Rembang dengan sadar dan tanpa paksaan pun juga sebagai bukti kepada masyarakat bahwa bukan hukum poligami yang ditentang Kartini, namun tradisi dan adat yang telah menyalah artikan hukum tersebut.

Kartini lahir pada era kemenangan Belanda atas para pejuang nusantara, yang mana Belanda memiliki aturan yang ketat bagi kaum bangsawan yang menduduki jabatan di pemerintahan.

Norma Norma yang berlaku dalam lingkungan keraton tidak lepas dari pantauan pemerintah kolonial, dari mulai sistem pendidikan hingga cara berpakaian.

Salah satu sistem pendidikan yang berlaku saat itu adalah mewajibkan anak-anak bangsawan sekolah di sekolah-sekolah Belanda. Disekolah ini setiap murid wajib mengikuti pendidikan kristen sebagai agama mayoritas pemerintah kolonial, mewajibkan kebaktian, walaupun beragama Islam, namun disisi lain melarang keras diterjemahkanya Al Qur’an dengan alasan Al Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan, Al Qur’an hanya diperbolehkan dipelajari hurufnya, dibaca tanpa difahami artinya.

Sistem pendidikan lain yang juga berlaku pada masa ini adalah dilarangnya Huruf Arab Jawa atau Arab Pegon yang telah umum digunakan masyarakat luas saat itu. Sebagai gantinya masyarakat jawa saat itu diwajibkan mempelajari huruf latin sebagai huruf bangsa Eropa dan wajib mempelajari huruf Jawa kuno, yang penggunaan sudah sangat jarang, hanya berlaku pada kalangan sastrawan pada masa itu. (lih. Arab di Nusantara, Van den Berg)

Akibat dari aturan di atas, sebagian besar kaum bangsawan akhirnya pro kepada Belanda, tidak mengenal agama dan tradisi leluhurnya, hingga lahirlah orang-orang jawa yang pro Belanda. Namun lain hal-nya dengan para pejuang yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, seperti RMA Sosroningrat, ia memilih memingit anak-anak putri mereka agar tetap kenal dengan ajaran agama leluhurnya dan tradisi bangsanya.

Dipingitnya Kartini adalah akibat dari campur tangan pemerintah kolonial untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pro kolonial, dengan cara ikut terlibat dalam mengatur Norma dan tradisi yang berlaku saat itu.

Singkat kata tradisi pingit pada masa itu terjadi bukan murni sebagai tradisi Jawa tapi akibat dari kebijakan Belanda mengatur sistem pendidikan sedemikian rupa hingga bila diikuti akan melahirkan generasi-generasi yang pro kolonial, terutama bagi kaum bangsawan saat itu.

Kartini hanya mengikuti sekolah wajib bersekolah di Sekolah Belanda dengan bahasa pengantar dan tulisan Belanda hingga tamat Sekolah Dasar, itupun telah membuat Kartini kecil ‘buta’ akan agama Islam, agama yang dianut oleh keluarganya secara turun temurun.

Mengapa demikian? Salah satu cara pemerintah kolonial mempertahankan negeri jajahannya adalah dengan menguasai agama, tradisi dan budaya yang di anut mayoritas masyarakat saat itu, dalam hal ini adalah Islam. Sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia masa itu, pemerintah kolonial harus mempelajari lebih dalam tentang Islam. Ajaran Islam dan tokoh-tokoh-nya dianggap sebagai ‘musuh’ pemerintah kolonial karena setiap kali ada perlawanan terhadap pemerintah kolonial sering kali didalangi oleh ulama atau Kyai.

Dari masa ke masa pemerintah kolonial kemudian banyak mengutus mata-mata untuk mempelajari Islam dan penganutnya agar mengetahui kelemahan kaum muslim dan mengalahkan mereka. Salah satu diantara tokoh mata-mata ini, yang teorinya masih digunakan hingga saat ini, bernama Snouck Hougronje. Menurut pendapatnya salah satu cara agar dapat ‘menjinakkan’ Hindia harus menjauhkan umat Islam dari agamanya, karena Islam mengajarkan membela diri dan berjuang melawan penjajahan, maka umat Islam identik dengan revolusi atau memberontak kepada pemerintah kolonial, dan cara menjauhkan Islam dari umatnya yang paling efektif adalah melalui dunia pendidikan yang diajarkan sedini mungkin.

pemerintah kolonial menerapkan sistem pendidikan yang disarankan oleh Snouck Hougronje dan para orientalis Belanda pada masa itu. Sistem pendidikan inilah yang berlaku pada masa Kartini.

Awal Kartini aktif menulis dan surat menyurat dengan koleganya di Belanda masih dalam usia yang terbilang muda 15-18 tahun, dalam kondisi dibalik tembok keraton, perjalanan keluar keraton adalah pengalaman yang luar biasa bagi Kartini dan saudara-saudaranya.

Dalam kondisi seperti itu bisa dikatakan pengetahuan Kartini pada awal ia melakukan korespondensi dengan kolega-nya di Belanda, tidak mengerti sesungguhnya kondisi politik dan perekonomian bangsanya, dan hal tersebut tentunya sangat wajar karena dunia yang diketahui Kartini hanya melalui buku-buku dan novel yang dibacanya.

Bertambahnya umur, beriring dengan kepandaiannya dan rasa ingin tahunya yang begitu besar, menjadikan Kartini tidak pernah berhenti belajar hingga akhirnya ia mengetahui segala situasi dan kondisi yang terjadi di negerinya.

Dari sinilah ia mulai berbalik, dari yang pada awalnya banyak memuji Belanda, menjadi pengkritik keras segala kebijakan Belanda, terutama peran pemerintah kolonial dalam usahanya melakukan Zending (menasranikan pribumi) melalui pendidikan dan pelayanan umum seperti rumah sakit.

Protes Kartini mengenai Zending dapat dibaca dalam suratnya kepada Tuan Abendanon, bertanggal 1 Febuari 1903, Kartini mengucapkannya dengan cukup tegas ; “usahakanlah Zending itu (sebagai suatu kegiatan sosial bagi masyarakat) tetapi tidak dengan menasranikan orang! (lih. buku Habis gelap terbitlah terang, hal.181, terj. Armijn Pane, cet. Ke 23 terbitan Balai Pustaka 2006 )

Pandangannya tentang agama pun mengalami perubahan total setelah bertemu beberapa orang guru, diantaranya yang ia sebutkan dalam surat-suratnya antara tahun 1901-1903, ada sosok wanita tua yang mengajarinya tentang makna agama, ada pula Kyai Sholeh Darat (1820-1903) yang walaupun tidak disebutkan namanya, namun Kyai Sholeh Darat adalah ulama yang menjadi pengisi tetap acara-acara keagamaan di Kadipaten Jepara. Menurut pengakuan cucu Kyai Sholeh Darat yang dimuat dalam Tribun Jateng, Kartini berguru pada beliau selama kurang lebih setahun. pengaruh Kyai Sholeh Darat dapat dilihat dalam surat-surat Kartini selanjutnya yang telah memiliki banyak pemahaman tentang Ilmu agama.

bersambung ke bag.3

Dua Sisi Kehidupan Kartini (bag.1)

Kartini & Politik Etis (bag. 3)

Satu pemikiran pada “Dua Sisi Kehidupan Kartini (Bag. 2)

  1. Ping-balik: Dua Sisi Kehidupan Kartini (bag.1) – sofiaabdullah

Tinggalkan komentar