Kartini & Politik Etis (bag. 3)

Bagian ke-3

Berbeda dengan pahlawan wanita yang lain, yang namanya telah dikenal sejak masih hidup, nama Kartini justru mulai dikenal di Belanda sekitar 7 tahun setelah wafatnya, tepatnya tahun 1911, setelah diterbitkannya buku yang berisi surat menyurat beliau dengan sahabat-sahabat pena-nya dari Belanda.

Surat-surat Kartini kemudian dikumpulkan, disunting, dicetak dan diterbitkan menjadi buku oleh salah seorang koresponden Kartini yang juga tokoh Politik Etis, J.H Abendanon dan diberi judul ‘Dot Duisternis tot Licht’ yang arti harfiahnya Dari Kegelapan menuju Cahaya. Judul ini diambil dari surat-surat Kartini beberapa tahun menjelang wafatnya pada tahun 1904 di usia yang masih relatif muda, 25 tahun.

Walaupun sebelum wafatnya Kartini pernah membuat sekolah putri setingkat sekolah dasar, namun sifat sekolah ini hanyalah sekolah informal dan hanya bertahan 2 tahun. Setelah Kartini wafat kemudian di susul ayahandanya setahun kemudian (1905) sekolah ini pun ditutup, hingga nama Kartini pun seperti hilang begitu saja.

Hingga 7 tahun kemudian nama Kartini muncul kembali sebagai nama sekolah perempuan pertama di Jawa yang didirikan pada tahun 1911 oleh J. H Van Deventer, 7 tahun setelah wafatnya Kartini atas dana penuh dari pihak Belanda.

Berdasarkan penelitian Dr H Bouman dalam buku Meer Licht Over Kartini dan penelitian Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Panggil Aku Kartini Saja, diakui atau tidak, dibesarkannya tokoh Kartini terkait erat dengan politik etis Belanda dan persaingan Belanda dengan pemerintah kolonial yang lain, dalam hal ini Inggris, yang merasa lebih ‘berhasil’ dalam memakmurkan negeri jajahannya.

Buku ini juga lahir sebagai jawaban dari desakan kaum sosialis untuk ‘mendidik’ negeri jajahan Belanda yang terpuruk agar bisa meredam terjadinya revolusi di kemudian hari.

Usulan ini kemudian menjadi dasar lahirnya politik etis pada tahun 1900. Politik etis secara teori dikatakan sebagai politik ‘Balas Budi’ Belanda kepada negeri jajahannya Hindia Belanda. Namun walaupun dikatakan sebagai politik balas budi pemerintah kolonial, dalam prakteknya politik etis ini lagi-lagi hanya menguntungkan pihak Belanda, secara langsung ataupun tidak langsung.

Secara langsung contohnya dengan politik etis, pemerintah kolonial membuka sekolah-sekolah gratis yang awalnya hanya untuk kalangan Belanda dan bangsawan menjadi terbuka untuk umum, kebijakan ini bertujuan salah satunya mengharum nama pemerintah kolonial Belanda diantara pemerintah kolonial lain terutama Inggris dan Perancis. Secara tidak langsung sekolah-sekolah ini baik disengaja atau tidak mendidik murid-muridnya menjadi pro kolonial dan melahirkan generasi-generasi yang pro kolonial yang hingga saat ini masih bisa kita rasakan.

Kejanggalan seputar diterbitkannya Buku Dot Duisternis tot Licht‘ juga banyak ditemukan, karena mulai pengumpulan surat, sunting, cetak hingga diterbitkannya hanya dikerjakan oleh J. H Abendanon saja, tidak ada pihak lain yang diminta pertimbangan atau sarannya. Buku ini juga disunting dan diedit hingga terdapat beberapa bagian surat yang terkesan tidak terkait antara satu dan lainnya. (hal. 23 Pram)

Kejanggalan pun bertambah karena hanya selang beberapa hari setelah buku ini terbit, pembesar-pembesar kerajaan Belanda seperti Ibu suri kerajaan, Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg dan menteri urusan jajahan berlomba-lomba menjadi pemberi sumbangan, dari sumbangan ini kemudian didirikan Kartini’s Fonds yang dikelola oleh Van Deventer, salah seorang tokoh Politik etis.

Dengan dana ini pula buku Dot Duisternis tot Licht’ tersebar melalui bentuk referensi di majalah-majalah hingga iklan di koran-koran ternama, hingga dalam waktu singkat buku ini sukses besar di Belanda, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.

Hingga tahun 1923, buku Dot Duisternis tot Licht’ telah cetak ulang sebanyak 4 kali. Namun walaupun sudah mendapatkan dana yang cukup banyak dari buku ini, Abendanon tetap tidak meminta nasehat dan pertimbangan dari siapapun tentang dibukukannya surat-surat Kartini ini. Semuanya ia kerjakan sendiri.

Dari perjalanan buku tersebut di Belanda dapat kita lihat bahwa para tokoh Politik Etis Belanda memiliki peran yang penting, yang menyebabkan buku ini sangat populer dan nama Kartini pun dikenal di beberapa negara Eropa.

Dibesarkannya sosok Kartini oleh para tokoh Politik Etis adalah sebagai pembuktian kepada masyarakat Eropa terutama Pemerintah Kolonial dan kaum Sosialis bahwa Belanda pun ‘berhasil’ mendidik negeri jajahanya dengan perantara sosok Kartini.

Dengan dana politik etis dari pemerintah belanda inilah sekolah khusus perempuan ‘Kartini’ tersebar di beberapa kota di Jawa dan Sumatera, dari sekolah inilah nama Kartini mulai diketahui masyarakat di Hindia Belanda.

Setelah malang melintang di Eropa, 5 tahun kemudian buku ini pun akhirnya diterjemahkan dalam bahasa melayu, bukan oleh Armijn Pane yang kita kenal sekarang namun oleh 4 orang sarjana Leiden, yaitu Baginda Abdoellah Dahlan, Baginda Zainoeddin Rasad, Soetan Moehammad Zain, dan Baginda Djamaloeddin Rasad, di cetak dan diterbitkan oleh Comissie voor de Volslectuur (sekarang Balai Pustaka). Armijn Pane baru dilibatkan dalam buku ini setelah cetakan ke-3, dan itu pun bukan sebagai penterjemah, hanya sebagai penentu komposisi jalan perjuangan Kartini menurut jalannya surat-suratnya. (hal. 141-143, Pram)

Masih menurut penelitian Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Panggil Aku Kartini saja’, semakin jelas terlihat adanya unsur kesengajaan untuk menghilangkan identitas Kartini yang sesungguhnya, karena hanya 40% dari surat-surat Kartini di buku Dot Duisternis tot Licht’ yang diterjemahkan.

(bersambung ke bag.4)

Pandita Ramabai vs Kartini_bagian 4 (selesai)

Satu pemikiran pada “Kartini & Politik Etis (bag. 3)

  1. Ping-balik: Dua Sisi Kehidupan Kartini_Siapakah Kartini? (Bag. 2) – sofiaabdullah

Tinggalkan komentar