Pandita Ramabai vs Kartini (bag. 4_Selesai)

Bagian 4 (selesai)

Berdasarkan penelitian Pramoedya Ananta Toer dalam buku Biografi Kartini; ‘Panggil Aku Kartini Saja’, ia mengatakan diterbitkannya buku Doot Duisternis tot Licht (DDTL) di Belanda, salah satu penyebabnya terkait erat dengan persaingan pemerintah Kolonial Belanda dengan pemerintah kolonial Inggris yang berhasil ‘memakmurkan’ negara jajahannya, dengan mengangkat tokoh kesetaraan gender dari India, didikan pemerintah kolonial Inggris bernama Pandita Ramabai (1858-1922), yang berasal dari kasta Brahma yang akhirnya berpindah keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen.

Pemerintah kolonial Inggris membantu Ramabai mendirikan sekolah-sekolah dan yayasan sosial untuk wanita dan anak-anak perempuan serta mengadakan penghimpunan dana sosial dan pendidikan menggunakan namanya; Ramabai Fonds.

Singkatnya untuk menyaingi ‘kebaikan’ pemerintah kolonial Inggris di tanah jajahannya, dan menyaingi popularitas Ramabai dan Ramabai Fonds, serta memperlihatkan superioritas Belanda di tanah jajahannya, Belanda ingin menjadikan sosok Kartini sebagai ‘Ramabai’-nya pemerintah kolonial Belanda.

Namun fakta berkata lain, Kartini bukanlah ‘Ramabai’ atau sosok yang diinginkan Belanda untuk menunjukkan ‘kebaikannya’ sebagai pemerintah kolonial.

Kartini adalah Kartini, sosok wanita muda yang kritis dan sangat peduli dengan bangsanya, terutama kaum wanita dan anak-anak.

Pada sisi kedua kehidupan Kartini, pemahamannya tentang agama Islam, sebagai agama leluhurnya pun banyak berubah, karena telah menemukan sosok guru-guru yang mumpuni yang selama ini dicarinya. Pemahaman Kartini pada agamanya beriringan dengan pemahaman pada kondisi negerinya, dan Politik kolonial yang terjadi pada bangsanya. Pandangannya tentang Eropa, lingkungan dan agamanya banyak berubah dan mencapai puncaknya pada usia 20 tahun.

Pandangannya tentang Belanda dan Eropa menjadi terbalik, besar kemungkinan karena pengaruh ayahnya, Sosroningrat dan kakaknya, Sosrokartono, yang banyak berjuang lewat jalur diplomasi dan politik.

Perubahan sikap Kartini bisa di baca dalam surat-suratnya antara tahun 1901-hingga menjelang wafatnya 1904.

Kematian Kartini diusia muda telah meredam semua cita-cita mulianya yang telah ia rencanakan dengan suaminya, yang ia pilih tanpa paksaan dan kesadaran penuh. Pada saat itu Kartini bukanlah siapa-siapa, dan sosoknya hanya dikenal oleh orang-orang terdekatnya saja dan mereka yang bersinggungan langsung dengan Kartini.

Pemerintah kolonial tentunya tidak mengira hal ini akan terjadi, sikap Kartini yang ‘berbalik’ arah bukan hanya membuktikan ‘kegagalan’ pemerintah kolonial untuk ‘mendidik’ Kartini menjadi ‘Ramabai’-nya Belanda namun juga sebagai pengakuan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak dapat memakmurkan tanah jajahannya dan ‘mendidik’ pribuminya agar mencintai Belanda dan negara Eropa sebagai bangsa superioritas.

Dari sinilah urgensitas membentuk tokoh wanita yang pro kolonial itu muncul dikalangan tokoh Politik etis Belanda. Belanda tidak mungkin menggunakan tokoh-tokoh wanita lain yang jelas-jelas menyerang kedudukannya sebagai pemerintah kolonial, seperti Cut Nyak Dien, misalnya.

Satu-satunya cara untuk memenuhi urgensitas ini adalah dengan mengambil tokoh wanita sebagai pejuang kesetaraan gender yang didukung dan didanai oleh pemerintah kolonial, seperti yang terjadi pada Pandita Ramabai. Dari sinilah awal mula diterbitkannya surat-surat Kartini oleh J. H Abendanon, yang surat-suratnya banyak mengalami proses pengeditan hingga sesuai apa yang dibutuhkan pemerintah kolonial pada saat itu.

Kartini Mati Dibunuh?

Wafatnya Kartini pada usia 25 tahun, 4 hari setelah kelahiran putranya RM Singgih Soesalit, memang bukan hal yang aneh, namun asumsi Kartini tewas dibunuh pun bermunculan karena 2 sebab :

1. Proses kelahiran sangat sulit, hingga dokter Belanda yang membantunya menggunakan ‘alat bantu’ yang tidak di jelaskan apa yang dijadikan alat bantu tersebut, hingga proses kelahiran berhasil, namun Kartini mengalami pendarahan hebat, namun pendarahan ini pun berhasil dilalui, dan Kartini pun sehat kembali.

2. Pada tanggal 17 September tepat hari ke empat pasca melahirkan, menurut penelitian dr Bouman, Kartini pun masih sehat, hingga sebelum pulang kerumahnya dr. Ravetijn memberikan obat untuk kesehatan Kartini, namun tidak lama kemudian Kartini mengalami Kram perut dan hanya sekitar setengah jam setelah minum obat tersebut Kartini pun wafat. Dari sinilah asumsi dibunuhnya Kartini pun bermunculan, namun sayangnya tidak ada penelitian lebih lanjut tentang kasus ini.

Bila pun Kartini dibunuh, bukanlah satu hal yang aneh mengingat sosok Kartini adalah orang yang diharapkan oleh pemerintah kolonial dapat menjadi sosok seperti ‘Ramabai’ dan mengharumkan pemerintah Kolonial, namun yang terjadi justru berbalik, bukannya mengharumkan nama pemerintah kolonial seperti Ramabai mengharumkan nama inggris, Kartini justru menjadi pejuang dalam yang menentang pemerintah kolonial melalui jalur pendidikan dan karya tulis-nya yang sudah mulai dimuat di majalah-majalah dan koran-koran yang terkenal saat itu.

Rencana-rencana Kartini bersama suami dan saudara-saudara perempuannya dianggap berbahaya bagi kelangsungan pemerintah kolonial, walaupun baru rencana, tapi dengan dukungan kuat dari pengaruh dan kedudukan suaminya tentunya akan dengan mudah cita-cita Kartini terlaksana. inilah menurut pandangan kami yang memperkuat asumsi dibunuhnya Kartini dengan cara di racun oleh dokter yang membantu proses kelahiran putranya RM Singgih Soesalit.

Kesimpulan

1. Kartini memang bukan pahlawan seperti Cut Nyak Dien yang terjun kelapangan mengusung senjata bersama suaminya Teuku Umar atau pahlawan pendidikan dan diplomasi seperti Dewi Sartika dan Hajjah Rasuna Said, Kartini hanyalah sosok wanita bangsawan pada umumnya yang memiliki kemampuan untuk bersekolah dan melalui surat-suratnya dapat diketahui bahwa ia memiliki rasa empati dan kepedulian yang tinggi pada masyarakatnya terutama kaum wanita dan anak-anak sebagai generasi penerus negeri, dan tentu saja rasa peduli dan empati sangat tidak sebanding bila di sejajarkan dengan para pahlawan wanita yang lain yang turun langsung berjuang untuk memperbaiki nasib negeri ini dengan segenap tenaga dan kemampuan mereka dan semestinya hari Kartini di ubah menjadi Hari Pahlawan Wanita untuk mengenang jasa para pahlawan wanita bukan hanya Kartini saja.

2. Seperti layaknya manusia yang terus belajar, Kartini pun akhirnya mendapat ilmu yang memberikan penjelasan padanya dari yang tidak mengerti apapun menjadi mengerti, hingga ia banyak menyebut kata-kata “dari kegelapan menuju cahaya” yang kemudian diterjemahkan menjadi “Dot Duisternis Tot Licht” yang menandakan dua sisi Kehidupan Kartini dalam pemahaman agama-nya dan negerinya yang pada awalnya tidak mengerti yang diungkapkan seperti berada dalam kegelapan, menjadi mengerti yang diungkapkan Kartini bagaikan mendapatkan cahaya.

3. Setelah membaca dan mempelajari sosok Kartini dari buku-buku referensi yang kami gunakan untuk menulis artikel ini, dan mempelajari sejarah penerbitan buku edisi Belanda-nya dan edisi melayu-nya semakin jelas adanya kepentingan Belanda yang turut di propagandakan untuk mempercepat dilaksanakannya politik Etis yang hasil akhirnya akan menguntungkan pemerintah kolonial juga. Salah satu program politik etis adalah mempermudah beasiswa pendidikan tinggi ke Belanda dengan tujuan menciptakan generasi pribumi baru yang pro-pemerintah kolonial dan sekuler.

4. Kepentingan Belanda untuk merendahkan Islam di mata pemeluknya, juga terlihat dalam surat-surat Kartini mengenai pandangannya tentang Islam pada masa kanak-kanak dan remaja, namun ketika Kartini akhirnya menemukan guru dan medapatkan penjelasan-penjelasan tentang Islam yang selama ini ia pertanyakan dengan detail pada awal suratnya, seakan sengaja di hilangkan dan yang dikisahkan hanya proses perubahan pada diri Kartini setelah mengenal Islam lebih dalam melalui buku-buku berbahasa Arab pegon yang diberikan gurunya.

5. Sosrokartono adalah sosok kakak yang paling dekat dengan Kartini. Setelah sekolah di Belanda, Sosrokartono sering kali melakukan korespondensi dengan adiknya ini, namun anehnya dalam buku kumpulan suratnya tidak satupun surat dari Kartini yang ditujukan untuk kakaknya Sosrokartono. Kejanggalan juga terlihat dalam surat-surat Kartini yang memperlihatkan hubungan yang sangat akrab dan sangat terbuka, akan lebih cocok bila surat itu ditujukan dari seorang adik kepada kakak-nya, bukan kepada tokoh-tokoh politik Belanda dan istrinya yang belum pernah ditemui oleh Kartini, seperti yang terdapat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

6. Setelah mempelajari sepak terjang pemerintah kolonial Belanda dalam memalsukan bukti-bukti sejarah dari mulai buku hingga prasasti (lih. Postingan kami sebelumnya tentang pemalsuan sumber sejarah tertulis di Ind), besar kemungkinan buku ‘Dot Duisternis Tot Licht’ adalah memoar sosok Kartini yang ditulis oleh sang kakak yang jenius dan ahli bahasa Sosrokartono dalam bentuk roman epistolary atau novel epistolary yang memang sedang populer pada awal 1900-an. Novel Epistolary adalah novel yang berbentuk surat menyurat atau kisah perjalanan. Contoh novel Epistolary yang terkenal pada era Kartini adalah novel ‘Dracula’ karya Bram Stocker yang terbit tahun 1897.

7. Sosok Sosrokartono yang tidak dikenal selama ini dan tidak pernah dipublikasikan dalam buku–buku sejarah menambah kecurigaan kami bahwa kumpulan surat Kartini yang kemudian di bukukan adalah karya R.M.P Sosrokartono sebagai memoar untuk mengenang sang adik, Kartini, yang kemudian disunting, dicetak dan diterbitkan oleh J.H Abendanon untuk kepentingan politik etis pemerintah kolonial.

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Referensi

1. Satu Abad Kartini 1879-1979 : bunga rampai karangan mengenai Kartini/koordinator, Ariestides Katoppo, cet.ke-4 Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1990

2. Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara 2003

3. Pane, Amijn, Habis Gelap Terbitlah Terang, cet. Ke 23, Jakarta: Balai Pustaka 2006

4. TEMPO, Gelap Terang Hidup Kartini, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 2013

5. https://en.wikipedia.org/wiki/Kartini

6.https://en.wikipedia.org/wiki/Pandita_Ramabai

7.https://en.wikipedia.org/wiki/Epistolary_novel

8.https://mampirjepara.wordpress.com/tag/rmp-sosrokartono/

Kartini & Politik Etis (bag. 3)

Bagian ke-3

Berbeda dengan pahlawan wanita yang lain, yang namanya telah dikenal sejak masih hidup, nama Kartini justru mulai dikenal di Belanda sekitar 7 tahun setelah wafatnya, tepatnya tahun 1911, setelah diterbitkannya buku yang berisi surat menyurat beliau dengan sahabat-sahabat pena-nya dari Belanda.

Surat-surat Kartini kemudian dikumpulkan, disunting, dicetak dan diterbitkan menjadi buku oleh salah seorang koresponden Kartini yang juga tokoh Politik Etis, J.H Abendanon dan diberi judul ‘Dot Duisternis tot Licht’ yang arti harfiahnya Dari Kegelapan menuju Cahaya. Judul ini diambil dari surat-surat Kartini beberapa tahun menjelang wafatnya pada tahun 1904 di usia yang masih relatif muda, 25 tahun.

Walaupun sebelum wafatnya Kartini pernah membuat sekolah putri setingkat sekolah dasar, namun sifat sekolah ini hanyalah sekolah informal dan hanya bertahan 2 tahun. Setelah Kartini wafat kemudian di susul ayahandanya setahun kemudian (1905) sekolah ini pun ditutup, hingga nama Kartini pun seperti hilang begitu saja.

Hingga 7 tahun kemudian nama Kartini muncul kembali sebagai nama sekolah perempuan pertama di Jawa yang didirikan pada tahun 1911 oleh J. H Van Deventer, 7 tahun setelah wafatnya Kartini atas dana penuh dari pihak Belanda.

Berdasarkan penelitian Dr H Bouman dalam buku Meer Licht Over Kartini dan penelitian Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Panggil Aku Kartini Saja, diakui atau tidak, dibesarkannya tokoh Kartini terkait erat dengan politik etis Belanda dan persaingan Belanda dengan pemerintah kolonial yang lain, dalam hal ini Inggris, yang merasa lebih ‘berhasil’ dalam memakmurkan negeri jajahannya.

Buku ini juga lahir sebagai jawaban dari desakan kaum sosialis untuk ‘mendidik’ negeri jajahan Belanda yang terpuruk agar bisa meredam terjadinya revolusi di kemudian hari.

Usulan ini kemudian menjadi dasar lahirnya politik etis pada tahun 1900. Politik etis secara teori dikatakan sebagai politik ‘Balas Budi’ Belanda kepada negeri jajahannya Hindia Belanda. Namun walaupun dikatakan sebagai politik balas budi pemerintah kolonial, dalam prakteknya politik etis ini lagi-lagi hanya menguntungkan pihak Belanda, secara langsung ataupun tidak langsung.

Secara langsung contohnya dengan politik etis, pemerintah kolonial membuka sekolah-sekolah gratis yang awalnya hanya untuk kalangan Belanda dan bangsawan menjadi terbuka untuk umum, kebijakan ini bertujuan salah satunya mengharum nama pemerintah kolonial Belanda diantara pemerintah kolonial lain terutama Inggris dan Perancis. Secara tidak langsung sekolah-sekolah ini baik disengaja atau tidak mendidik murid-muridnya menjadi pro kolonial dan melahirkan generasi-generasi yang pro kolonial yang hingga saat ini masih bisa kita rasakan.

Kejanggalan seputar diterbitkannya Buku Dot Duisternis tot Licht‘ juga banyak ditemukan, karena mulai pengumpulan surat, sunting, cetak hingga diterbitkannya hanya dikerjakan oleh J. H Abendanon saja, tidak ada pihak lain yang diminta pertimbangan atau sarannya. Buku ini juga disunting dan diedit hingga terdapat beberapa bagian surat yang terkesan tidak terkait antara satu dan lainnya. (hal. 23 Pram)

Kejanggalan pun bertambah karena hanya selang beberapa hari setelah buku ini terbit, pembesar-pembesar kerajaan Belanda seperti Ibu suri kerajaan, Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg dan menteri urusan jajahan berlomba-lomba menjadi pemberi sumbangan, dari sumbangan ini kemudian didirikan Kartini’s Fonds yang dikelola oleh Van Deventer, salah seorang tokoh Politik etis.

Dengan dana ini pula buku Dot Duisternis tot Licht’ tersebar melalui bentuk referensi di majalah-majalah hingga iklan di koran-koran ternama, hingga dalam waktu singkat buku ini sukses besar di Belanda, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.

Hingga tahun 1923, buku Dot Duisternis tot Licht’ telah cetak ulang sebanyak 4 kali. Namun walaupun sudah mendapatkan dana yang cukup banyak dari buku ini, Abendanon tetap tidak meminta nasehat dan pertimbangan dari siapapun tentang dibukukannya surat-surat Kartini ini. Semuanya ia kerjakan sendiri.

Dari perjalanan buku tersebut di Belanda dapat kita lihat bahwa para tokoh Politik Etis Belanda memiliki peran yang penting, yang menyebabkan buku ini sangat populer dan nama Kartini pun dikenal di beberapa negara Eropa.

Dibesarkannya sosok Kartini oleh para tokoh Politik Etis adalah sebagai pembuktian kepada masyarakat Eropa terutama Pemerintah Kolonial dan kaum Sosialis bahwa Belanda pun ‘berhasil’ mendidik negeri jajahanya dengan perantara sosok Kartini.

Dengan dana politik etis dari pemerintah belanda inilah sekolah khusus perempuan ‘Kartini’ tersebar di beberapa kota di Jawa dan Sumatera, dari sekolah inilah nama Kartini mulai diketahui masyarakat di Hindia Belanda.

Setelah malang melintang di Eropa, 5 tahun kemudian buku ini pun akhirnya diterjemahkan dalam bahasa melayu, bukan oleh Armijn Pane yang kita kenal sekarang namun oleh 4 orang sarjana Leiden, yaitu Baginda Abdoellah Dahlan, Baginda Zainoeddin Rasad, Soetan Moehammad Zain, dan Baginda Djamaloeddin Rasad, di cetak dan diterbitkan oleh Comissie voor de Volslectuur (sekarang Balai Pustaka). Armijn Pane baru dilibatkan dalam buku ini setelah cetakan ke-3, dan itu pun bukan sebagai penterjemah, hanya sebagai penentu komposisi jalan perjuangan Kartini menurut jalannya surat-suratnya. (hal. 141-143, Pram)

Masih menurut penelitian Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Panggil Aku Kartini saja’, semakin jelas terlihat adanya unsur kesengajaan untuk menghilangkan identitas Kartini yang sesungguhnya, karena hanya 40% dari surat-surat Kartini di buku Dot Duisternis tot Licht’ yang diterjemahkan.

(bersambung ke bag.4)

Pandita Ramabai vs Kartini_bagian 4 (selesai)