Ziarah Ke Situs Makam Kuno Pasarean Agung Sentono Boto Putih (1)

Gbr. Dinding masjid dan gapura menuju makam yang baru direnovasi. Walaupun renovasi situs makam kuno ini tidak banyak berbeda dengan situs makam Sunan Ampel, yang menghilangkan banyak aspek sejarah,  namun bila dibandingkan dengan situs kompleks makam kuno lainnya di jawa Timur dan Madura yang masih asri, renovasi pada kompleks makam Sentono Boto putih tidak terlalu mencolok seperti pada makam Sunan Ampel. Gbr. : Koleksi pribadi

Situs makam Boto Putih atau Pasarean Agung Sentono Boto Putih lokasinya tidak jauh dari situs makam Sunan Ampel. Dari makam Sunan Ampel bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih 7 menit (750 m) melewati pasar souvenir yang menghubungkan makam Sunan Ampel dengan Sentono Boto putih.

Pasar Souvenir yang menghubungkan makam Sunan Ampel dan kompleks situs makam kuno, situs Pasarean Agung Sentono Boto Putih. Gambar : ķoleksi pribadi

Situs makam dengan luas kurang lebih 4000 meter persegi ini, terdiri dari 2 kompleks makam besar, yang pertama makam pangeran Lanang Dangiran, keturunan ke-8 dari Brawijaya V yang wafat pada tahun 1638 dan kompleks makam al Habib Syekh bin Ahmad bin Abdullah Bafaqih yang wafat tahun 1811.

Bagian ke-2 tulisan kami, akan membahas tokoh-tokoh yang dimakamkan di situs kompleks pemakaman ini, dan bentuk cungkup makam yang beragam mengikuti perkembangan zaman karena menurut penjaga makam yang kami temui kompleks pemakaman ini telah ada sejak abad ke-14 dan hingga saat ini, sebagian lokasi masih di gunakan sebagai lokasi pemakaman umum.

Walaupun sudah banyak direnovasi, penataan situs kompleks Pasarean Agung Sentono Boto Putih masih mengikuti tatanan awal, masih tetap asri dan tiap-tiap kompleks makam terdiri dikelilingi dinding dan gapura dengan pintu besi atau kayu. Gbr. Koleksi pribadi.
Kompleks pemakaman umum di beberapa bagian wilayah Sentono Boto Putih. Gbr. : koleksi pribadi

Kata ‘Sentono’ berasal dari bahasa sanskrta ‘stana‘ yang artinya tempat yang besar. Dalam bahasa Jawa kuno disebut pula ‘Hastana’ atau Astana. Hastana dalam lidah penduduk jawa disebut juga atau ‘Stono’ yang artinya Kompleks pemakaman besar atau Necropolis. Kompleks pemakaman yang dibangun indah adalah salah satu cara dan tradisi penduduk nusantara pada masa lalu untuk menghormati leluhur.

Selain Astana/Astono/Sentono, terdapat berbagai macam istilah pemakaman lain yang seringkali digunakan leluhur nusantara pada masa lalu, dan bertahan hingga saat ini, diantaranya; Pasarean artinya tempat peristirahatan, Pasarean Agung artinya tempat peristirahatan yang luas atau tempat pejabat besar dimakamkan. Kramat yaitu makam ulama yang disucikan. Jirat/Cungkup yaitu ruangan tertutup berisi lebih dari 2 makam.

Sekarang Nama-nama ini sebagian sudah tinggal nama wilayah, yang menandakan bahwa wilayah tersebut pada masa lalu pernah menjadi lokasi pemakaman. Sayangnya pendidikan sejarah yang kurang memadai di negeri kita menyebakan banyak generasi saat ini dan bahkan sebelumnya yang kurang memahami arti kata-kata tersebut, kecuali mungkin para peminat sejarah.

Kembali ke Pasarean Agung Sentono Boto Putih, bentuk kompleks makam ini seperti umumnya komplek situs pemakaman kuno terdiri dari beberapa lapis gapura dan jalan setapak yang menghubungkan antar kompleks makam yang dikelilingi dinding dan gapura paduraksa. Beberapa gapura ada yang masih lengkap dengan pintu kayu, beberapa ada diganti dengan pintu besi atau hanya tinggal gapuranya saja.

Beberapa gapura di dalam Pasarean Agung Sentono Boto Putih. Gbr : Koleksi Pribadi

Pasarean Agung Sentono Boto putih sesuai dengan namanya besar kemungkinan pada masa lalu tediri dari dinding dan gapura yang terbuat dari bata putih. Bata putih dan bata merah adalah bata yang umum digunakan pada masa lalu untuk bangunan benteng keraton, masjid dan kompleks pemakaman. Renovasi tanpa memperhatikan aspek keaslian sejarah menyebabkan struktur bangunan yang menggunakan bata putih sudah sulit ditemukan, namun demikian masih terdapat beberapa makam di Jawa Timur yang menggunakan bata putih. Dari namanya ‘Pasarean Agung Sentono Boto Putih’, dapat kita ketahui pada awalnya bangunan pada situs kompleks makam ini terbuat dari bata putih.

Beberapa contoh situs makam kuno dan keraton yang masih terlihat sisa bata putih sebagai bahan bangunan utama.

Dilihat dari kedekatan jarak antara makam Sunan Ampel dengan Pasarean Agung Sentono Boto Putih sangat besar kemungkinan bahwa wilayah ini pada awalnya satu, di tambah lagi bila dilihat dari namanya ‘Pasarean Agung’ yang artinya tempat peristirahatan yang luas, dapat dipastikan bahwa makam Sunan Ampel termasuk bagian dari Pasarean Agung Sentono Boto Putih. Alih generasi, renovasi yang tidak melihat aspek sejarah, dan penduduk yang terus bertambah menyebabkan 2 lokasi situs makam kuno ini menjadi terpisah.

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Sumber :

1. Zoetmulder, P.J, Kamus Jawa Kuna-Indonesia/P.J Zoetmulder, S.O. Robson; penerj.Darusuprapta, Sumarti Suprayitna-Jakarta; Gramesia Pustaka Utama, 1995, 1536 hlm;24 cm

2. Tjandrasasmita. Uka, Arkeologi Islam Nusantara, Cet.1, 2009, Kepustakaan Populer Gramedia.

3. Dan dari berbagai sumber terkait lainnya

Mengunjungi Situs Makam Sunan Ampel

Alhamdulillah akhirnya sempat juga mengunjungi makam Sunan Ampel, setelah lebih dari 10thn menelusuri sejarah beliau, sebagai salah satu anggota Walisongo dan sebagai sosok ulama yang menjadi salah seorang leluhur penduduk Jawa keturunan Champa. Makam Sunan Ampel berlokasi di Jl. Ampel Masjid No.53, Ampel, Kec. Semampir, Kota SBY, Jawa Timur 60151. Makam Sunan Ampel terletak di bagian belakang Masjid Agung.

Gapura Paduraksa utama menuju makam Sunan Ampel. Gapura adalah ciri khas komplek situs pemakaman kuno. Gapura pada situs pemakaman berfungsi sebagai pembatas antar kompleks makam. Sayang sekali karena renovasi berulang bentuk gapura dan fungsinya pada makam Sunan Ampel sudah tidak jelas lagi. Foto : koleksi pribadi.

Seperti umumnya situs-situs sejarah Islam di Indonesia yang mengalami banyak perubahan, situs makam Sunan Ampel pun demikian. Selain kompleks makam yang berulang kali dirombak, Batu nisan yang seharusnya berfungsi sebagai penanda kubur dengan informasi jenazah, pada situs makam Sunan Ampel kami tidak dapat menemukan informasi ini.

Informasi jenazah pada batu nisan memiliki fungsi yang sangat penting sebagai bukti sejarah tertulis yang kuat. Nisan Sunan Ampel dibuat tinggi dan polos, hanya ukiran sederhana tidak terdapat keterangan apapun. Informasi tentang Sunan Ampel hanya di dapat dari penjaga makam setempat. Tanpa adanya bukti tertulis pada nisan Sunan Ampel, walaupun komplek makam dibuat lebih indah, beberapa generasi yang akan datang lokasi situs ini akan sangat mudah dipalsukan, dihilangkan jejaknya atau hanya sekedar diragukan keasliannya.

Gbr.1 Nisan Sunan Ampel dibuat tinggi dan polos, hanya ukiran sederhana tidak terdapat keterangan apapun. Informasi tentang Sunan Ampel hanya di dapat dari penjaga makam setempat. sumber: koleksi pribadi
Gbr.2 Makam Sunan Ampel dan Istri berada di balik pagar. Gbr.1 & 2 memperlihatkan tinggi batu nisan hasil perombakan terakhir 2012, seperti yang terlihat, Batu Nisan pada makam Sunan Ampel pada perombakan terbaru dibuat tinggi dan tidak tertulis apapun seperti seharusnya fungsi nisan. sumber : koleksi pribadi
Gbr.3 Suasana di sekitar makam Sunan Ampel. Sumber gambar : koleksi pribadi.
Gbr.4 Gapura menuju makam Sunan Ampel dengan ratusan peziarah setiap harinya. Sumber gambar : Koleksi Pribadi
Gbr 5 Ratusan peziarah mengunjungi makam Sunan Ampel setiap harinya. Sumber gambar: Koleksi pribadi

*Sejarah Singkat Sunan Ampel*

Nama asli Sunan Ampel adalah Ali Rahmatullah. Penduduk Jawa Tengah mengenal beliau dengan sebutan Sunan Rahmad, diambil dari nama belakang beliau Rahmatullah. Sebelum hijrah ke Jawa, Sunan Ampel adalah seorang pangeran dan ulama yang berasal dari Champa.

Gbr. 6 Peta Champa, semenanjung Melayu, Sumatera dan Jawa

Dari pihak ibu, Sunan Ampel adalah keturunan diraja Champa, Zainal Abidin I, yang berkuasa dari tahun 1360-1390. Zainal Abidin I, dikenal pula dengan sebutan Che Bonga atau dalam bahasa melayu Cik Bunga. Pada masa kekuasaannya, kerajaan Islam Champa mengalami puncak kejayaan.

Hubungan Kesultanan Chermin, Champa, Jawa, Malaka dan Kerajaan Samudera (Pasai)

Gbr.7 peta Kesultanan Chermin, lokasinya sekarang berada di Kelantan.

Champa, Chermin, Malaka, Pasai dan Jawa memiliki hubungan baik yang timbal balik sejak berdirinya negeri Champa tahun 192 M. Hubungan baik ini terus terjaga dengan pernikahan, perdagangan dan saling bantu bila terjadi serangan dari luar. Posisi Champa yang strategis menyebabkan negeri ini menjadi incaran negeri-negeri lain. Diantaranya Mongol, Khmer dan Dai Viet (Sukothai, Tibet). Ketiga negeri ini selalu menjadi penyulut peperangan di Champa dan Semenanjung (Malaka).

Dari tahun 1345 hingga 1357, Kesultanan Champa, Chermin (Kelantan), Kamboja, Malaka dan Samudera Pasai menjadi negara bawahan kerajaan Ayodhia (Sukothai dari Tibet).

Tahun 1357 Jawa menyerang Ayodhia dan membebaskan negeri-negeri jajahannya,  diantaranya Champa, Malaka dan Samudera Pasai. Negara-negara ini kemudian menjadi  bagian dari Jawa sebagai negara mitra yang berada dibawah lindungan Jawa (Majapahit). Masa ini ditandai dengan banyaknya perwakilan Jawa yang memiliki kedudukan penting di Champa, Kelantan, Malaka, hingga Samudera Pasai. Pada masa inilah Zainal Abidin I atau Che Bonga menikahkan putrinya, Amarawati dengan Jamaluddin Husein al Akbar, seorang sayyid, ulama dan pemimpin dari Jawa keturunan India dan Yaman. Beliau adalah kakek dari Sunan Ampel. Pernikahan putri Ramawati dengan Jamaludin Husein al Akbar menurunkan beberapa putra dan putri diantaranya ayahanda Raden Ali Rahmatullah, Ibrahim Zainuddin al Asghar.

Ibrahim Zainuddin Asghar bin Jamaluddin al Akbar menikah dengan putri Champa, bernama putri Candrawulan, kakak dari putri Dwarawati, istri Brawijaya V.  Pernikahan Ibrahim Zainuddin al Asghar dengan putri Chandrawulan menurunkan beberapa orang putra diantaranya Raden Ali Rahmatullah dan Raden Ali Murtadho.

Setelah pergantian kekuasaan beberapa kali, ayah Sunan Ampel, Ibrahim Zainuddin al Asghar menjadi diraja Champa yang dikenal juga dengan nama penobatan beliau Zainal Abidin II Diraja Champa, yang diambil dari nama kakek beliau Zainal Abidin I. Selain menjadi pemimpin tertinggi di Champa, Zainal Abidin II juga menjadi pemimpin tertinggi di Samudera Pasai yang pada masa itu masih menjadi bagian dari Jawa.

Tahun 1451, kerajaan Islam Champa mengalami serangan terus menerus dari Dai Viet hingga beberapa kota dikuasai. Tahun 1471 peperangan mencapai puncaknya dengan kekalahan Champa, ditandai dengan jatuhnya ibu kota Wijaya ke pasukan Dai Viet.

Peristiwa peperangan yang berlangsung lebih dari 20 tahun ini menyebabkan terjadinya gelombang hijrah penduduk Champa ke Jawa dan Sumatera. Dalam naskah kuno, peristiwa ini digambarkan ketika dua pangeran dari Champa yaitu Ali Rahmatullah (Raden Rahmat/Sunan Ampel) dan Ali Murtadho (Raden Santri) bersama rombongannya hijrah ke Jawa dan menghadap Brawijaya V untuk meminta suaka.

Berdasarkan silsilah keturunan Raden Fatah yang kami teliti, Brawijaya V, yang bernama asli wan Abu Abdullah bin Ali Nurul Alam, adalah sepupu dari Sunan Ampel. Ayah Sunan Ampel, Ibrahim Zainuddin al Asghar, dan ayah dari wan Abu Abdullah (Brawijaya V), adalah saudara seayah. Sementara istri Brawijaya V yang bernama Dwarawati adalah adik dari ibunda sunan Ampel, Chandrawulan.

Raden Ali Rahmatullah dan pengungsi Champa kemudian diberi wilayah tak bertuan oleh Brawijaya v yang  diberi nama Ampel Denta. Raden Ali Rahmatullah memimpin wilayah ini hingga mendapat gelar ‘Sunan Ampel’. Dibawah kepemimpinan Sunan Ampel, wilayah ini kemudian berkembang menjadi kota pelabuhan yang maju yang kini dikenal dengan nama Surabaya.

Silsilah, Istri dan Keturunan Sunan Ampel

Sunan Ampel diperkirakan lahir pada tahun 1401, hijrah ke Jawa sekitar tahun 1450an. Tahun 1450an hingga wafatnya 1481, Raden Ali Rahmatullah menjabat sebagai sunan di wilayah Ampel. Sunan adalah gelar jabatan politik bagi ulama yang memimpin satu daerah.

Dari garis keturunan ayahnya, Raden Ali Rahmatullah atau Sunan Ampel adalah seorang Sayyid atau keturunan dari Rasulullah saw dari putrinya Sayyidah Fatimah az Zahra. Berikut silsilah beliau :

As-Sayyid Ali Rahmatullah bin
As-Sayyid Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy bin
As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
As-Sayyid Abdullah bin
As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin- As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
As-Sayyid Alwi bin
As-Sayyid Muhammad bin
As-Sayyid Alwi bin
As-Sayyid Ubaidillah bin
Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
Al-Imam Muhammad An-Naqib bin
Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
Al-Imam Ja’far Shadiq bin
Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
Al-Imam Al-Husain bin
Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

Sunan Ampel menikah dua kali, istri pertamanya, Dewi Candrawati, putri Arya Teja, adipati Tuban. Istri keduanya bernama  Nyai Karimah putri dari Kyai Kembang Kuning (Kembang Kuning adalah nama wilayah antara Wonokromo dan Ampeldenta).            

Istri pertama Sunan Ampel, Dewi Candrawati, lahir dan besar di Champa ketika ayahnya masih menjabat sebagai perwakilan Jawa di Champa. Setelah menikah dengan Raden Ali Rahmatullah, Dewi Candrawati dikenal juga dengan gelar ‘Nyai Ageng Manila’ , dari gelarnya ini dapat diketahui bahwa suami dari Nyai Ageng Manila adalah seorang ‘Kyai Ageng’, artinya sebelum menjabat sebagai Sunan Ampel, Raden Ali Rahmatullah pernah menjabat sebagai ‘Kyai Ageng’, yaitu pejabat tinggi di Manilla. 

Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati menurunkan putra putri :                                 

1. Sunan Bonang yang bernama Maulana Makdum Ibrahim,                                              2. Siti Syari’ah / Nyai Ageng Maloka                                                                    3. Sunan Derajat / Sunan Sedayu yang bernama Raden Qosim / Rdn Syarifuddin,   4. Siti Muthmainnah, menikah dengan Sayid Muhsin Yaman, berputra Amir Hamzah.                                                                 5. Siti Sofiah menikah dengan Raden mas Said/Raden Mas Sahid / Sunan Kalijaga. (Kalijaga adalah nama daerah di Cirebon. Sejarang wilayah kelurahan di Kecamatan Harjamukti, Cirebon.)

Dengan Istri keduanya, Nyai Mas Karimah binti Kyai Kembang Kuning (Ki Bang Kuning), memiliki beberapa putra-putri yang juga memiliki kedudukan penting pada masanya, diantaranya :                                                       

1. Nyai Mas Murthasiyah / Asyiqah menikah dengan Raden Paku / Sunan Giri / Maulana Ishaq                                                                         2. Nyai Mas Murtasimah menikah dengan Adipati Demak, Raden Hasan yang kemudian lebih dikenal dengan Raden Fatah.                                                                        3. Raden Ahmad Hussam / Husamuddin (Sunan Lamongan)                                             4. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak) (sbr. https://www.geni.com/people/Sunan-Demak-Raden-Zainal-Abidin-Sunan-Demak/)    

Dari hasil penelusuran kami, baik Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Giri dan Sunan-Sunan yang lain adalah nama Gelar atau nama jabatan setingkat jabatan gubernur saat ini. Dibalik gelar-gelar ini ada sederet nama-nama tokoh dengan gelar yang sama, karena memimpin daerah yang sama hanya berbeda generasi. Diantara mereka ada tokoh-tokoh sunan yang namanya kita kenal ada juga yang belum dikenal. Insya Allah dalam tulisan berikut akan kami buka biografi mereka satu persatu.

Kendala yang paling berat dalam menelusuri tokoh-tokoh sunan adalah banyaknya pemalsuan kisah-kisah para tokoh dan minimnya sumber sejarah. Karena masalah ini banyak para peneliti dan peminat sejarah yang akhirnya mengatakan kemungkinan mereka tokoh fiktif dan ungkapan tersebut tidak bisa disalahkan karena minimnya sumber-sumber sejarah. Namun demikian, derasnya arus informasi 10 tahun terakhir memudahkan kami mengumpulkan bukti-bukti penting lain terkait dengan biografi para sunan, diantaranya silsilah keturunan para sunan yang memberikan informasi nama-nama asli para sunan dan sejarah situs makam serta perombakannya yang merupakan bukti kuat bahwa tokoh sunan memang pernah ada dan berperan penting dalam sejarah Islam di Indonesia.   

Sebagai peminat dan peneliti sejarah, penting bagi kita untuk mencari tahu sejarah para wali, karena kedudukan mereka bukan hanya sebagai ulama dan penyebar Islam tapi juga salah satu leluhur nusantara. Mengenal mereka, khususnya umat muslim di Indonesia, artinya kita mengenal diri kita sendiri dan mengetahui jati diri sebagai bangsa Indonesia yang majemuk. Semoga tulisan seserhana ini bisa sedikit memberi kejelasan tentang sejarah Sunan Ampel Sayyid Ali Rahmatullah atau Raden Rahmad.

Galeri

Makam Sunan Ampel dan Istri sekitar tahun 1920an. Renovasi ini dilakukan pada masa  pemerintah Belanda. Makam dikelilingi dinding kapur dan pagar besi. Bentuk nisan belum mengalami banyak perubahan dan masih terdapat tulisan pada nisan, sayangnya hingga saat ini,  kami belum mendapatkan kualitas foto yang lebih baik agar tulisan yang  tertera pada batu nisan dapat terbaca. Peran nisan pada makam kuno sangat penting, selain kita dapat mendapat informasi jenazah dari mulai nama asli, tahun lahir dan wafat, nisan yang tertulis adalah bukti kuat kedatangan Islam di Indonesia.
Renovasi makam Sunan Ampel telah dilakukan berulang kali sejak era kolonial. Renovasi resmi pertama dilakukan tahun 1939. Renovasi ini menyebabkan ratusan makam kuno dibongkar, batu nisan lama yang bertulis diganti dengan yang baru. Renovasi ini disengaja atau tidak telah menghilangkan banyak bukti sejarah Islam yang penting.
Makam sunan Ampel sekitar tahun 1990an, pagar besi di atas dinding yang awalnya mengelilingi kompleks makam,  pada renovasi ini hanya mengelilingi makam Sunan Ampel. Makam istri Sunan Ampel pun tidak terlihat. Bentuk makam dan batu nisan sudah berubah, namun keterangan makam masih tertulis di bawah nisan.
Tulisan baru sebagai petunjuk makam posisinya berada paling bawah, sementara tidak terdapat apapun pada nisan.
Makam Sunan Ampel sekitar awal tahun 2000an. Pagar besi mengelilingi makam, bentuk makam dan nisan berubah. Ada atau tidaknya tulisan pada makam tidak diketahui seperti yang tertera pada gambar, karena nisan ditutup kain mori putih. Keterangan bahwa makam tersebut adalah makam Sunan Ampel hanya dapat dilihat dari tulisan diatas.
Sebagai bahan perbandingan kami mencari bentuk nisan di Jawa Timur dari tahun yang sama dan bentuknya mirip dengan nisan Sunan Ampel untuk memastikan letak tulisan pada nisan Sunan Ampel yang sudah tidak ada lagi dan separah apa kerusakan makam yang terjadi pada situs makam Sunan Ampel.
Makam siti Ruqayah Cempo putri Sunan Kalijaga, di Kampung Peneleh Surabaya, hanya berjarak 15 menit dari makam sunan Ampel. Renovasi Makam mbah nyai Ruqayah ini adalah cara renovasi situs makam yang seharusnya, tulisan pada batu nisan tidak dihilangkan. Walaupun telah dibuat replika nisan, nisan lama tetap di pertahankan.
Sangat disayangkan renovasi yang mengeluarkan biaya banyak ini bukannya melestarikan keaslian warisan sejarah namun justru merusak situs penting dalam sejarah Islam. Situs makam kuno di Indonesia dan wilayah Asia Tenggara baik sebelum atau sesudah kedatangan Islam adalah lokasi yang paling lengkap untuk mencari informasi tentang jenazah yang dimakamkan. Dari mulai nama asli, gelar, tahun lahir, tahun kematian hingga silsilah terdapat pada situs makam kuno. Banyaknya situs makam kuno yang dihancurkan menyebabkan informasi berharga leluhur nusantara ini hanya didapat dari penunggu makam.
Nisan-nisan baru tanpa nama di sekitar makam Sunan Ampel.
Sisa batu nisan lama yang masih bertebaran di lokasi makam, namun sayangnya karena perombakan era kolonial, nisan-nisan yang terlihat kuno ini pun hanya beberapa yang masih berukir nama jenazah.
Salah satu cara mengetahui bentuk dan fungsi bangunan pada masa lalu adalah dengan membandingkan antara situs makam kuno yang masih ada dan masih memiliki fungsi sama hingga saat ini. Dua gambar berikut adalah situs kompleks makam kuno Sunan Sendang Dhuwur, Lamongan di lokasi perbukitan dan situs makam kuno Aermata Ibu di Bangkalan, Madura. Kedua makam ini berasal dari abad ke 15 yang masih berfungsi hingga saat ini karena masih di kelola oleh keturunan dari keluarga yang dimakamkan di lokasi situs. Di Indonesia masih banyak situs makam kuno seperti ini, dan seharusnya bisa dijadikan contoh ketika renovasi, agar tidak menghilangkan bukti sejarah.
Gambar salah satu nisan pada salah satu kompleks makam di situs makam Sunan Sendang Dhuwur, Lamongan. Bentuk nisan kuno yang banyak ditemukan di Jawa Timur dan Madura. Pada nisan ini masih tertera nama jenazah. Nisan pada makam Sunan Ampel, walaupun dibuat replikanya seharusnya tetap tertulis nama dan keterangan yang seharusnya terdapat pada nisan.
Situs makam kuno Aermata Ibu, Bangkalan, Madura. Pada 2 gambar di atas terlihat jelas susunan situs makam kuno yang terbagi menjadi beberapa kompleks makam. Setiap kompleks makam dipisahkan oleh gapura. Terdapat 2 Lokasi situs makam kuno: daerah perbukitan atau kota. Lokasi makam di lokasi yang berbukit ditandai Semakin keatas kompleks makam semakin tua dan tokoh yang dimakamkan semakin penting. Bila lokasi makam di daerah perkotaan, semakin masuk kedalam kompleks makam, semakin penting tokoh yang dimakamkan, contoh makam sunan Kudus, Sunan Demak, kompleks situs makam di Banten.
Salah satu cara mengetahui bentuk dan fungsi bangunan pada masa lalu adalah dengab membandingkan dengan situs yang memiliki fungsi sama yang masih ada hingga saat ini. 2 gambar di atas adalah situs kompleks makam kuno Aermata Ibu di Bangkalan, Madura dan situs makam Sunan Sendang Dhuwur, lamongan. Kedua makam ini berasal dari abad ke 15 yang masih berfungsi hingga saat ini karena masih di kelola oleh keturunan dari keluarga yang dimakamkan di lokasi situs. Di Indonesia masih banyak situs makam kuno seperti ini, dan seharusnya bisa dijadikan contoh ketika renovasi, agar tidak menghilangkan bukti sejarah.



Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Sumber-sumber

1. Al Hadad. Bin Thahir. Al Habib Alwi, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Jauh, Cet.I, 2001, Lentera Baristama.

2. Sunyoto. Agus, Atlas Wali Songo, Cet.1, 2012, Pustaka Iman.

3. C.I.E.MA.Arnold.TW, Preaching Of Islam : A History Of The Progation Of The Muslim Faith, 1913.

4. Rochyatmo. Amir, Wimarta. Sri. Soekesi, Babad Tanah Jawi 1, Buku1, Amanah Lontar, 2003

5. Riana. I Ketut, S. U. Prof. Dr. Drs, Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara Krtagama Masa Keemasan Majapahit, hal.36-37 Cet 1, Kompas Media Nusantara.

6. Nugroho. Djoko. Irawan, Majapahit Peradaban Maritim Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia,hal. Cet.1,2011, Suluh Nuswantara Bakti.

7. Coedes, George (1975), Vella, Walter F. (ed.), The Indianized States of Southeast Asia, University of Hawaii Press, ISBN 978-0-824-80368-1

8. Sumber-sumber Kesultanan Chermin :
Prof DGE Hall, A History of South East Asia, London Macmillian, 1955 Page 149.

Millatu Ibrahim, Tradisi Ziarah dan Bangunan Makam. (Bagian 2)

Salah satu ciri ajaran agama Nabi Ibrahim adalah meyakini adanya kehidupan setelah kematian. Kematian hanyalah jembatan menuju alam yang berbeda. Dalam ajaran Islam, alam ini disebut alam akhirat. Di alam ini, manusia akan mendapatkan balasan sesuai perbuatannya di dunia. Mereka yang selama hidupnya melakukan perbuatan baik akan berada di surga. Sebaliknya, mereka yang banyak melakukan kejahatan akan berada di neraka.

7 lapis surga dalam ajaran Islam. Sumber gbr : http://en.wikipedia.org/wiki/Image:Mohammed%C2%B4s_Paradise.jpg
Lukisan abad ke-17 tentang 7 tingkat neraka dalam ajaran Hindu dan Jain. Sumber gbr: Anishshah19

Dalam ajaran agama dan kepercayaan lain yang bersumber dari ajaran nabi Ibrahim, kurang lebih memiliki benang merah ajaran yang sama. Keyakinan adanya kehidupan setelah kematian dalam ajaran agama Hindu, Budha, dan berbagai kepercayaan selain Yahudi, Kristen dan Islam di dunia ditandai dengan keyakinan mengenai surga (swargaloka) atau Nirwana, neraka (naraka), Reinkarnasi dan alam para Dewa.

Keyakinan adanya kehidupan setelah kematian melahirkan tradisi ziarah atau mengunjungi makam keluarga dan teman yang telah meninggal.

Tradisi ziarah tahunan masyarakat Jepang yang beragama Budha-Jepang (Japanese Budhism) yang dikenal dengan Obon. Tradisi ini diawali dengan bersuci, do’a dan ditutup dengan menyiram air pada nisan dan makam, tradisi yang hampir serupa dengan tradisi ziarah di Indonesia. Sumber gbr: https://kokoro-jp.com/culture/380/
Tradisi ziarah ke makam leluhur adalah tradisi tua di nusantara yang tetap bertahan hingga saat ini karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sumber gbr : Makam maulana Hasanuddin, Banten, Silitonga, G., Soekardi, R., and Tambunan, S. 1952. Indonesia Tanah Airku. W. van Hoeve: Bandung.
Tradisi ziarah di Indonesia. Sumber gbr : https://www.google.com/amp/s/www.inews.id/amp/lifestyle/muslim/adab-dan-bacaan-doa-ziarah-kubur-lengkap-dengan-susunan-tahlil
Tradisi ziarah di Korea, seperti di Indonesia sedikitnya dilakukan 2x dalam 1 tahun, pada hari peringatan kematian  dan hari-hari besar tertentu, di Indonesia biasanya sebelum dan sesudah bulan Ramadhan di Korea pada perayaan Chuseok, yaitu hari bersyukur kepada Tuhan dan kepada leluhur. Sumber gbr : http://www.sweetandtastytv.com/blog/2015/9/23/chuseok-the-korean-thanksgiving

Tradisi ziarah melahirkan tradisi membangun makam bagi keluarga, teman dan pemimpin yang disegani. Pada masa lalu, bangunan makam hampir ditemukan dalam berbagai peradaban. Bangunan makam di bangun seindah mungkin dengan tujuan bukan hanya menghormati keluarga yang telah meninggal, namun juga agar para peziarah merasa nyaman ketika membaca do’a dan lokasi makam tersebut tidak hilang dengan berlalunya waktu.

Bangunan makam adalah bangunan yang di bangun diatas makam-makam tertentu, umumnya diatas makam tokoh. 1 bangunan makam umumnya terdiri dari 1 sampai 5 makam. Bangunan makam atau kamar makam di Indonesia di sebut Cungkup makam. Gambar: Cungkup makam Sunan Kudus, Kudus, Demak, Jawa Tengah. Sumber gbr: https://www.wawasan.co/news/detail/6041/kelambu-dilepas-inilah-wujud-cungkup-makam-sunan-kudus

Tradisi ziarah dan membangun makam adalah tradisi agama tauhid yang sudah sangat tua yang telah dikenal manusia sejak zaman Nabi Adam sekitar 12.000 tahun yang lalu. (7)

Ziarah dalam ajaran Millatu Ibrahim termasuk dalam bagian Ibadah, karena dengan ziarah manusia mengingat kembali bahwa kelak ia pun akan kembali kepada Sang Pencipta, seperti keluarga dan kerabat yang telah mendahului mereka.

Ziarah merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan. Tempat-tempat ibadah pada masa lalu umumnya menyatu dengan makam atau bangunan makam. Namun, ada pula yang memiliki lokasi sendiri. Kompleks makam dan bangunan makam yang memiliki lokasi sendiri umumnya dibangun dengan sangat megah dan luas, yang disebut Necropolis (kota bagi yang mati). Contoh situs Necropolis atau kompleks makam dan bangunan makam kuno yang sangat di kenal dalam peradaban dunia adalah kompleks piramida Giza di Mesir dengan berbagai macam bangunan piramida dari generasi ke generasi.

Piramida Giza, Cairo, Mesir, merupakan piramida terbesar dan tertua di kompleks piramida Giza. Piramida Giza dan piramida lain di komplek piramida Giza ini berfungsi sebagai makam Fir’aun Khufu. Area pemakaman yang sangat luas di sebut Necropolis. Sumber gambar: https://no.wikipedia.org/wiki/User:Nina
Gambar: Bangunan makam lorong (Passage Grave) Newgrange, di wilayah Country Meath, Irlandia (dibangun antara 3300 – 2900 BC);  merupakan salah satu contoh bangunan makam tertua di Eropa Barat yang berbentuk gundukan tanah atau batu dengan akses masuk sempit berbentuk lorong. Bangunan Makam ini terdiri dari satu atau lebih ruang makam dan diperkirakan mulai ada sejak zaman Neolithikum (sekitar 12 ribu tahun lalu) https://www.knowth.com/newgrange-aerial.htm

Kompleks bangunan makam tertua dalam sejarah Islam bernama Jannatul Baqi. Masjid ini dibangun sekitar tahun 622, bersamaan dengan di bangunnya masjid Nabawi. Lokasi bangunan makam Baqi berada di komplek pemakaman Baqi, tepat di belakang Masjid Nabawi, Madinah. Karena kepentingan politik, ideologi dan kekuasaan, pada tahun 1925 bangunan makam di Baqi dihancurkan oleh pemerintahan Al Saud yang berfaham Wahabi.

Gambar 1: kompleks dan bangunan makam Baqi sebelum di hancurkan, keterangan gambar: 1. rumah duka sayyidah Fatimah az Zahra setelah wafat Rasulullah saw 2. Bangunan makam Imam Hasan bin Abi Thalib, Imam Ali Zainal Abidin, Imam Muhammad al Baqir dan Imam Ja’far as Shadiq.  3. Beberapa sejarawan mengatakan bangunan makam ini didirikan untuk putri nabi; sayyidah Fatimah az Zahra 4. makam istri-istri nabi saw. 5. Makam Aqil & Abullah ibn Jafar. 6. Makam Malik &  Nafie 7. Makam Ibrahim, putra nabi Muhammad dengan Sayyidah Maria al Qibtiyyah yang wafat usia 3 tahun. 8. Makam Halimah al-Sadiah. 9. Makam Fatimah Binti Asad. 10. Makam Khalifah ke-3, Uthman bin Affan. Sumber gambar : https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Jannatul-Baqi_before_Demolition.jpg#mw-jump-to-license
Gbr. 2 : Kompleks pemakaman Baqi sebelum dan sesudah di hancurkan oleh pemerintah Saudi tahun 1926. Pada gambar 1 dapat dilihat bangunan-bangunan  makam yang indah yang di dalamnya terdapat makam Fatimah binti Asad, ibu dari sayyida Ali k.w, sayyidina Hasan bin Abi Thalib, Imam Ali Zainal Abidin, putra beliau Imam Muhammad al Baqir dan putranya Imam Ja’far as Shadiq.   sumber gambar : https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Medine_cennet-%C3%BCl_baki.jpg#mw-jump-to-license

Setiap bangunan makam dan makam di seluruh dunia, walaupun bangunannya berbeda, namun memiliki bagian-bagian yang hampir sama. Kesamaan tersebut dapat dilihat antara lain berdasarkan jarak tempat ibadah dengan pemakaman. Kedua bangunan ini pada umumnya terletak dalam lokasi yang sama atau berdampingan, seperti misalnya Masjid dengan makam, gereja atau chapel dengan makam.

Makam keluarga kerajaan Gowa di belakang Masjid Kuno Katangka
Makam kuno di bagian belakang masjid agung Demak, posisi makam di bagian belakang bangunan masjid adalah salah syarat pendirian Masjid yang di ajarkan rasul saw. Islam seperti ajaran agama Ibrahimik lainnya menjadikan ziarah kubur adalah sunnah dengan syarat-syarat tertentu. Ziarah kubur sangat dianjurkan bukan hanya bagi yang mati tapi juga bagi yang hidup karena ziarah kubur mengingatkan umat bahwa hidup di dunia tidak abadi, dan ada perhitungan setelah kematian, karenanya manusia harus berusaha berbuat baik.
Dalam ajaran agama-agama abrahamik (Islam, Kristen, Yahudi), tempat ibadah berada dalam satu kompleks dengan kompleks makam dan bangunan makam, karena dalam setiap acara pemakaman, sebelum jenazah di makamkan, terlebih dahulu dilakukan penyucian jenazah dan acara do’a bersama yang dilakukan di tempat ibadah, seperti dalam ajaran Islam jenazah di mandikan, di sholatkan di area masjid terakhir adalah proses penguburan. Gambar : Katolische Hofkirche cathedral, Dresden, Germany ;
https://www.pinterest.com/pin/552253973035396300/?amp_analytics=1ni8n9cid*Tk9uTlJNME80UlpfNWxQRkhLeHFzV01qZkFQNzVLWTR3NS1FSV9xSHdTU3dZUDEzUE5WQlU4czBsNXJSVi1CSA

Necropolis (kompleks pemakaman yang luas) yang tersebar di seluruh belahan dunia membuktikan adanya tradisi ziarah yang dilakukan untuk mendoakan kerabat yang meninggal atau bertawassul kepada orang-orang yang di yakini alim atau sholeh. Ziarah, tawassul, dan membangun makam, merupakan ciri khas agama Millatu Ibrahim atau agama Tauhid. Agama yang diajarkan dari mulai Nabi Adam as hingga Rasulullah saw.

Selain menyatu dengan tempat ibadah, kompleks makam dan bangunan makam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, memiliki ciri khas unik, seperti pemilihan lokasi makam serta bentuk bangunan makam yang berbeda-beda sesuai dengan tradisi bangunan budaya setempat. Lokasi Kompleks makam dan bangunan makam kuno di Indonesia umumnya berada di 4 lokasi :

1. Pulau di tengah danau atau sungai; kompleks makam Cangkuang, kompleks makam Situ Lengkong, kompleks makam Trunyan di Bali, dan sebagainya.

Kompleks makam, bangunan makam di situ lengkong, panjalu. Kompleks makam kuno terletak di pulau di tengah danau. Makam tertua di kompleks pemakaman ini adalah makam prabu Hariang Kencana atau mbah Panjalu. Untuk sampai ke lokasi para peziarah harus menggunakan perahu. Sumber gbr : https://jalan-jalan-di-jawa-barat.blogspot.com/2017/05/jelajah-alam-di-kabupaten-ciamis-1.html?m=1

2. Di atas bukit atau dataran tinggi; makam Sunan Gunung Jati, Cirebon, makam Sunan Muria, makam sunan Giri.

Komplek makam, bangunan makam dan masjid sunan Muria, Kudus, berada diatas puncak gunung Muria. Sumber gbr: jawapos.com

3. Berlokasi di tengah kota. Kota-kota kuno di nusantara pada masa lalu  disebut keraton. Keraton adalah kota di pinggir sungai besar atau pantai utara yang dikelilingi dinding. Dalam setiap keraton terdapat masjid dan kompleks pemakaman bagi para pejabat dan warga keraton. Contoh kompleks masjid, makam dan bangunan makam di tengah kota ini tersebar hampir di seluruh kota di Indonesia hingga saat ini.

4. Terdapat gapura. Sebelum memasuki area makam, terdapat gapura dengan berbagai kreasi seninya. Gapura pada bangunan makam di ambil dari bahasa Arab ‘Ghafura’ yang artinya ‘Pengampun’. Gapura juga memiliki makna filosofis, yaitu dengan memasuki gerbang tersebut, peziarah memohon ampunan kepada Allah SWT. (8) Contoh : Makam para Sunan, Sunan Gunung Jati Cirebon, makam Sunan Kalijaga atau Raden Syahid dan makam Ratu Kalinyamat, kompleks makam Sunan Prapen dengan bangunan para Sultan / pejabat daerah disekelilingnya.

Contoh bangunan gapura menuju kompleks makam dan bangunan makam di kota gede, Yogyakarta

Kesimpulan

Kompleks makam dan bangunan makam menandakan adanya proses penguburan jenazah dan tradisi ziarah. Kedua tradisi ini terkait erat dengan ajaran Millatu Ibrahim sekaligus menjadi bukti kuat bahwa keyakinan penduduk di wilayah tersebut adalah Agama Abrahamik atau Millatu Ibrahim dengan keragamannya. Adapun bentuk makam dan bangunan makam (cungkup makam) merupakan hasil budaya lokal yang tidak terkait dengan ajaran agama apapun. Budaya lokal di pengaruhi oleh lingkungan tempat hidup, suku bangsa, dan adat istiadat.

Ketika Islam awal sampai ke nusantara, tradisi budaya lokal untuk tempat ibadah, kompleks makam  dan bangunan makam tetap di pertahankan karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tradisi ini masih terlihat hingga awal abad 20. Tradisi bangunan lokal ini berangsur-angsur memudar dengan masuknya ajaran Wahabi yang mengharamkan ziarah kubur dan membangun makam. (9)

Tradisi dan budaya lokal yang digunakan untuk mengenalkan ajaran Islam bukan hanya terdapat di Nusantara, tapi juga terdapat di berbagai belahan dunia, khususnya di wilayah Asia Selatan hingga wilayah Timur Jauh (wilayah Asia Tenggara, sampai dengan Cina).

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Catatan & Sumber

7. Tradisi menguburkan jenazah pertama kali dilakukan oleh Qabil setelah membunuh saudaranya Habil karena rasa hasad. Kematian Habil adalah kematian pertama dalam sejarah manusia. Allah SWT mengutus seekor burung gagak untuk memberi contoh cara menguburkan jasad ketika salah satu burung gagak tersebut mati. (Al Maidah: 31), Al Jaza’iri, Adam hingga Isa, hal. 151-2

8. A.G, Muhaimin, Islamic Tradition of Cirebon, Ibadat dan Adat Among Javanese Muslim Hal. 180, published by ANU Press, Web: http://epress.anu.edu.au

9. Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo

Millatu Ibrahim, Tradisi Ziarah dan Bangunan Makam (bagian 1)

Kata ‘Millatu Ibrahim’ diambil dari Al Qur’an surat An Nahl ayat 123

ثُمَّ اَوْحَيْنَاۤ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗ وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
summa auhainaaa ilaika anittabi’ millata ibroohiima haniifaa, wa maa kaana minal-musyrikiin

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.”
(QS. An-Nahl 16: Ayat 123)

Millatu Ibrahim hanifaa artinya agama atau ajaran Nabi Ibrahim yang lurus. Berdasarkan ajaran Islam, Millatu Ibrahim atau agama Nabi Ibrahim yang lurus adalah sumber sebagian besar ajaran agama di dunia  yang mengakui keberadaan tokoh Nabi Ibrahim atau Abraham melalui kisah-kisah beliau yang diturunkan dari generasi ke generasi baik sebagai pemimpin umat manusia atau sebagai kakek moyang mereka. Nabi Ibrahim sebagai pemimpin umat manusia dan bapak segala bangsa tercantum setidaknya dalam 3 kitab; “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.””
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 124)

Dalam ajaran Kristen dan Yahudi, nama Ibrahim awalnya adalah Abram kemudian diangkat menjadi bapak dari banyak bangsa dan diganti namanya menjadi Abraham.                          

“Kamu tidak akan disebut Abram lagi, melainkan Abraham karena Aku telah menjadikanmu bapak dari banyak bangsa” (Kejadian 17:5).   

Dalam kitab Mahabharata juga dikatakan hal yang sama: “Narayana menciptakan Brahma dan menetapkan bahwa ia akan menjadikan penghulu dari manusia” (Shantiparva Bab 339). 

Pada awalnya ajaran Millatu Ibrahim adalah monotheis (Tauhid). Berlalunya waktu terjadilah perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan umat yang melahirkan beragam kepercayaan seperti yang ada hingga saat ini.

Ketika Rasul saw diutus, Rasulullah saw memberikan kabar kepada umat beragama bahwa Islam mengakui agama dan kepercayaan yang ada dengan batas-batas tertentu sesuai dengan firman Allah SWT dalam al Qur’an, bahwa semua agama pada awalnya satu yang kemudian terjadi perselisihan antar umat yang menjadikan beragam keyakinan seperti saat ini. Mereka yang tetap meyakini ajarannya, tetap di hormati karena agama adalah pilihan bukan paksaan. Ajaran Islam seperti yang di contohkan Rasulullah saw, keluarga dan sahabat terpilih tetap menghormati ajaran dan kepercayaan lain selama tidak memerangi Islam.

Silsilah Nabi Ibrahim, dan putra-putra beliau as

Silsilah Nabi Ibrahim as hingga Nabi Adam as
Silsilah keturunan nabi Ibrahim dan penyebarannya. Keturunan nabi Ibrahim yang banyak tersebar ke berbagai negeri melalui jalur perdagangan dunia kuno.

Adam as berputra Syis berputra Anusya (Enosh) berputra Qainan (Kenan/Keynan) berputra Mahlail (Mahalael) berputra Yarid (Jared, Yered) berputra Akhnukh berputra Metushelah berputra Lamik (Lamech, Lemech II) berputra NUH as (Abdul Ghoffar)

Nuh as berputra 3; Sam, Ham, Yafeth. Berdasarkan hadits dari kitab Ilal as Syara’i, diriwayatkan bahwa Sam menurunkan bangsa berkulit putih, Ham bin Nuh menurunkan bangsa berkulit hitam dan Yafeth bin Nuh menurunkan bangsa berkulit kuning, merah, bangsa Turki, Cina, Ya’juj dan Ma’juj. (1)

SAM bin Nuh as berputra 5 : Elam, Asyur, Aram, Arfakshad, Lud. Arfakshad berputra Shalikh (Saleh) berputra Abir berputra Falikh berputra Ra’u berputra Saru berputra Nahur berputra Tarih berputra IBRAHIM as. (2)

Nabi Ibrahim as menikah 3 kali: Siti Sarah, Siti Hajar, Siti Keturah. Dengan Siti Hajar berputra Nabi Ismail, dengan Siti Sarah berputra Nabi Ishaq as, dengan Siti Keturah berputra 6; Zimran, Jokshan, Medan, Midian, Ishbak, Shuah. (3)

Silsilah keturunan Nabi Ibrahim as yang menurunkan bangsa-bangsa yang tersebar di dunia. Penyebaran ini terjadi melalui perdagangan dunia kuno dan peristiwa hijrahnya manusia dari masa ke masa dengan berbagai penyebab.

Nabi Ismail as menurunkan bangsa Arab dan bangsa Kan’an yang terkenal sebagai bangsa pelaut. Keturunan bangsa Kan’an tersebar ke berbagai negeri. Bangsa Quraisy adalah salah satu keturunan bangsa Kan’an yang menurunkan Bani Hasyim yang menurunkan Rasulullah saw. (4)

Nabi Ishaq as berputra kembar;  nabi Ya’qub as dan Aishu. Nabi Ya’qub bergelar Israi’luallah (yang dekat kepada Allah SWT) berputra 12. Nabi Yusuf as dan Bunyamin as adalah 2 diantara 12 putra nabi Ya’qub as yang diutus menjadi nabi dan rasul. Keturunan dari 12 putra nabi Ya’qub kemudian lebih dikenal dengan Bani Israel. Aishu bin Ishaq, saudara kembar nabi Ya’qub as menurunkan bangsa Arya, Romawi dan Eropa. (5)

Bagan silsilah keturunan nabi Ya’qub as

Dari putra dan keturunan Ibrahim as inilah, ajaran Nabi Ibrahim as tersebar ke seluruh dunia dan peradaban dari generasi ke generasi hingga masa kita sekarang.

Ajaran Millatu Ibrahim tersebar di berbagai umat di seluruh dunia melalui perantara para nabi dan rasul dengan menggunakan bahasa kaumnya. Itulah sebabnya, Nabi Ibrahim as dikenal dengan berbagai nama dan bisa diketahui berdasarkan adanya kesamaan ajaran, tradisi, dan kisah leluhur dalam berbagai mitology di berbagai perdaban dunia. (6).

Tradisi menggunakan kerudung dalam berbagai agama dan kepercayaan yang ada saat ini merupakan salah satu tradisi berbusana ajaran Millatu Ibrahim yang masih ada hingga saat ini
Tradisi membaca pujian kepada Tuhan semesta alam dengan menggunakan butiran tasbih juga terdapat dalam berbagai agama, dan merupakan salah satu pengaruh ajaran Millatu Ibrahim.

Seiring berjalannya waktu, secara berangsur, karena pengaruh perbedaan bahasa, budaya dan lingkungan alam, kisah-kisah ini mulai mengalami perubahan dan menjadi ajaran serta kepercayaan baru.

Meskipun demikian, terdapat benang merah kesamaan ajaran pada tiap-tiap agama yang ada hingga saat ini. Bukan hanya sesama agama Abrahamik (Islam, Kristen, Yahudi) tapi juga dengan berbagai kepercayaan yang ada di dunia.

Bersambung ke bagian 2

Ditulis oleh Sofia Abdullah

Tulisan ini terkait dengan tulisan kami sebelumya tentang Nabi dan Rasul; Pengertian, Jumlah, Tugas, Ciri dan Sifatnya. https://sofiaabdullah.wordpress.com/2021/05/20/nabi-rasul-pengertian-jumlah-tugas-ciri-sifatnya/

Sumber & Keterangan

1. Hadits riwayat ad Daqqaq dari al As’adi dari Sahl dari Abdul Azhim al Hasani, berkata bahwa dia mendengar Ali bin Muhammad al Askari, mengatakan riwayat ini. (Adam hingga Isa hal. 185.)

2. Hal. 166, silsilah di kitab kejadian

3. Stuckenbruck, Loren T.; Gurtner, Daniel M. (2019-12-26). T&T Clark Encyclopedia of Second Temple Judaism Volume Two. Bloomsbury Publishing. p. 145. ISBN 978-0-567-66093-0.

4. Lih. Keterangan tentang bangsa Kan’an di tulisan kami yang berjudul Silsilah Rasulullah saw Hingga ke Nabi Adam as, di link ini; https://sofiaabdullah.wordpress.com/2021/03/11/silsilah-rasulullah-saw-hingga-ke-nabi-adam-as/

5. Adam hingga Isa hal. 480
Cat. Kaki : Al Mas’udi mengatakan dalam Muruj adz-Dzahab, jilid 1 hal. 48 : Ayub bin Mushil bin Zarrah bin Rawa’il bin al Aish bin Ishaq bin Ibrahim as

6. Kisah leluhur dan mitologi ini mencakup segala ajaran yang berisikan adanya ajaran kekuasaan tertinggi yang maha menciptakan alam semesta. Dalam mitologi Yunani dikenal dengan nama Zeus, dalam kepercayaan Hindu Bali dikenal dengan Sang Hyang Widi Wase. Hindu India mengenal 3 Dewa tertinggi (Brahma, Siwa, dan Wisnu).
Dalam kisah para Nabi yang dikenal dalam ajaran Islam, Kristen dan Yahudi dan juga dikenal dlm ajaran agama lain, paling tidak memiliki intisari / benang merah yang sama, seperti kisah Nabi Ibrahim yang tidak terbakar dalam api dalam mitologi Hindu dikenal dengan Brahmana, kisah nabi Ibrahim dan istrinya Sarah yang menjadi leluhur bangsa-bangsa didunia dikenal dengan pasangan dewa Brahmana dan istrinya dewi Saraswati. Kisah banjir besar Nabi Nuh & putra-putranya yang menyebar keseluruh dunia dalam mitologi Cina dikenal dengan kisah Nuwa, dalam agama Hindu dikenal dengan nama Manu. Nabi Adam & Siti Hawa manusia pertama di dunia dalam keyakinan Zoroaster dikenal dengan nama Mahsya & Mahsyana, dsb. Adanya kesamaan ini menjelaskan adanya kesamaan ajaran yang diajarkan oleh para leluhur, hanya saja disampaikan dengan bahasa kaumnya masing-masing.

Makam Kuno Singkil 1213 M (636 H)

Singkil (Mimbarnews) Makam tua salah satu di antaranya makam Abdul Rajak yang di batu nisan terukir tarikh wafatnya 1213 Masehi atau 636 Hijriyah, baru-baru ini, ditemukan di Singkil Lama, Kampung Kayu Menang, atau arah barat Kota Singkil.

Menurut keterangan salah seorang warga, Syamsuddin Angkat, S.Pd kepada Mimbarnews,  Ahad (15/3) di samping makam Abdul Rajak, ada empat unit makam lainnya. Namun, yang batu nisannya berukir kaligrafi bahasa Arab bergaya kufi dan masih jelas dibaca, hanya batu nisan Abdul Rajak saja.

Guru Sejarah pada SMKN 1 Singkil Utara ini, lebih lanjut menerangkan, penemuan makam bersama batu nisan, merupakan salah satu data arkeologis yang berkaitan erat dengan keberadaan komunitas muslim di Singkil. “Dari ukiran kaligrafi yang terdapat pada batu nisan, menunjukkan Singkil sebelum tahun 1213 Masehi, telah didiami orang Islam yang berasal dari Arab,” tegas Syamsuddin.

Sementara itu, seorang warga lainnya, Aftar berpendapat, temuan prasasti batu nisan yang bertarikh 1213 Mesehi ini sangat penting untuk menyibak tabir bahwa Singkil salah satu kota tua di Aceh. Dan menunjukkan bahwa kebudayaan Islam telah berkembang di Singkil.

“Prasasti ini bernilai tinggi, karena akan mengungkap  Islam telah berkembang di Singkil pada abad ke-7. Jadi, pemerintah atau elemen masyarakat terutama para arkeolog harus meneliti lebih lanjut tentang keberadaan makam ini. Kemudian  makam ini harus dijadikan sebagai situs sejarah yang harus dilestarikan,” imbuh Aftar. (MN06)

Sumber : MimbarNews

Catatan (oleh SofiaAbdullah): Temuan makam kuno berikut nisan ini sebenarnya sudah cukup banyak, tersebar di berbagai daerah dan bila di kumpulkan alih-alih hanya membanggakan daerahnya masing-masing, sangat mungkin alur sejarah masuknya Islam saat ini sudah berubah)

MEMULIAKAN AHLUL BAIT DALAM BUDAYA NUSANTARA

Berdasarkan buku Masuknya Islam ke Timur Jauh yang ditulis oleh peneliti sejarah terkenal tahun 1950an, seorang mufti dari Malaysia, bernama al Habib Alwi bin Thahir al Hadad, disebutkan pada tahun 681 M hingga tahun 700an Masehi, pasca peristiwa karbala, telah terjadi gelombang hijrah kaum syiah Islam yang cukup besar ke berbagai kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara. Gelombang hijrah ini terjadi karena tekanan dan pembunuhan penguasa Bani Umayyah dan Abbasiyah kepada keturunan Bani Hasyim dan kaum Syiah ahlul bait.

Tekanan dan pembunuhan ini terjadi karena keturunan keluarga Bani Hasyim dan kaum syiah ahlulbait tidak terima dengan peristiwa tragis yang dialami Imam Husein dan keluarga Nabi saw di Karbala, yang menyebabkan syahidnya Imam Husein, putra-putra beliau dan putra Imam Hasan. Tragedi ini hanya menyisakan satu putra Imam Husein bernama Ali Zainal Abidin, yang pada saat tragedi tersebut terjadi sedang sakit parah. Ketika peristiwa Karbala terjadi Imam Ali Zainal Abidin telah memiliki putra yang baru berusia 3 tahun, bernama Imam Muhammad al Bagir. Imam Muhammad al Bagir inilah yang kemudian menurunkan kaum Habaib atau keturunan nabi Muhammad saw yang tersebar di seluruh dunia.

Setelah peristiwa karbala, Kaum Syiah Ahlulbait (pengikut keluarga nabi saw) melakukan protes di berbagai wilayah kekuasaan bani Umayyah. Peristiwa ini menyebabkan penguasa wilayah melakukan perburuan dan pembantaian kaum syiah dan keturunan keluarga nabi saw dimana pun mereka berada tanpa pandang bulu. Semua keturunan nabi dan para pengikutnya baik yang melakukan tindakan protes atau tidak mendapat perlakuan yang sama. Mereka dikatakan kaum pemberontak atau Syiah rafidhoh dan harus dibunuh, kaum wanita dan anak-anak diperbudak.

Karena alasan inilah akhirnya kaum Syi’ah ahlulbait dan keturunan keluarga nabi saw hijrah ke negeri-negeri yang jauh seperti Cina, Indonesia (dulu bernaman Hindia) dan India (dulu bernama Bharat). Hijrahnya kaum Syi’ah ini bisa dibuktikan bukan hanya melalui catatan tertulis tapi juga telah meninggalkan berbagai tradisi yang masih bisa dilihat hingga saat ini.

Berikut adalah beberapa tradisi yang kami rangkum :

1. TRADISI MEMBANGUN MAKAM

membangun kamar makam/ cungkup makam atau ruangan dengan fondasi segi empat berbentuk bangunan kamar dengan pintu atau hanya berbentuk ruang terbuka dengan atap yang berisi beberapa makam dari keluarga atau kerabat atau tokoh masyarakat telah menjadi tradisi leluhur Nusantara sejak ribuan tahun lalu. Pada masa Islam tradisi ini tetap dipertahankan karena tidak bertentangan dengan hukum Islam yang diajarkan oleh Rasul saw dan ahlulbaitnya. Tradisi membangun makam hingga saat ini masih hidup di kalangan penganut Syi’ah ahlul bait di seluruh dunia.

Pembangunan makam terkait dengan tradisi ziarah kubur. Kompleks makam diberi atap atau kamar terpisah dengan tujuan membacakan do’a-do’a yang cukup panjang di kompleks makam tersebut. Tradisi ziarah merupakan ritual yang sangat penting dalam ajaran Islam AhlulBait yang hingga kini masih dilestarikan di Indonesia oleh organisasi Nahdatul Ulama dan Mazhab Syiah AhlulBait.

2. TRADISI MEMULIAKAN ALI

Tradisi memuliakan Sayyidina Ali bisa dilihat hingga saat ini dalam bentuk benda, do’a, dan berbagai peringatan. Contoh tradisi memuliakan Ali dalam bentuk benda diantaranya : sebutan ali atau ali-ali untuk cincin laki laki tersebar diseluruh jawa baik Jawa Barat, Tengah atau Timur. Cincin disebut dengan ali atau ali-ali, terkait dengan tafsir dari mazhab Ahlul Bait mengenai penunjukkan pemimpin yang bersedekah dengan cincinnya ketika sholat yaitu imam Ali.

Cincin laki-laki dalam bahasa Sunda disebut Ali, sedangkan di Jawa Tengah dan Timur dikenal dengan nama ali-ali.

3. TRADISI KHAUL/PERINGATAN KEMATIAN.

Tradisi tahlil atau peringatan hari kematian pada hari ke-7, hari ke-40 sd hari ke-1000, diambil dari peristiwa kembalinya keluarga Nabi saw ke karbala setelah berhari hari menjadi tawanan Yazid bin Muawiyah di Damaskus. Peristiwa kembalinya keluarga Nabi ini bertepatan dengan hari ke-40 syahidnya Imam Husein, pada tanggal 20 Safar 681 M. Keluarga nabi yang selamat kembali ke Karbala untuk menyatukan kembali dan menguburkan jasad Imam Husein dan para syuhada yang telah dimutilasi oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Peristiwa ini kemudian diperingati setiap tahun dengan sebutan arbain atau hari ke-40. Hari ke-40 kemudian menjadi tradisi 40harian yang diperingati bukan hanya pada tanggal 20 Safar tapi juga dilakukan jika ada keluarga yang meninggal dunia dengan membaca do’a tahlil bersama.

4. BARZANJI, MARHABÀ, DIBA’I & KENDURI

Barzanji, Marhabà, Diba’i adalah puji-pujian yang persembahkan kepada Nabi dan keluarganya. Pembacaan puji-pujian ini biasanya dilakukan pada acara-perayaan Maulid, pernikahan, syukuran dan sebagainya. Khusus kenduri, sangat nyata dipengaruhi oleh tradisi Syiah. Karena kata ‘kenduri’ sendiri ini dipungut dari bahasa Persia, Kanduri, yang berarti tradisi makan-makan untuk memperingati hari kelahiran Fatimah Az-Zahrah, putri Nabi Muhammad Saw.

5. PENYEBUTAN SURO UNTUK BULAN MUHARRAM

Di Jawa tengah, sebetulnya jawa barat juga sama, awal bulan pada kalender Jawa di sebut SURO, diambil dari kata Asyuro yang artinya hari ke 10. Kalender Jawa diadaptasi dari kalender hijriyyah. Walaupun dalam sejarah dikatakan kalender ini mulai digunakan pada masa Sultan Agung, namun berdasarkan fakta sejarah yang kami kumpulkan, sistem kalender ini telah ada sejak masa jauh sebelum sultan Agung.

6. TRADISI MENGITARI BENTENG KERATON

Tradisi ini diawali dengan mensucikan diri kemudian berjalan perlahan mengitari benteng keraton dengan membawa obor, sambil membaca do’a, shalawat tanpa suara sebagai sarana meditasi diri, merenungi kesalahan untuk perbaikan diri pada masa yang akan datang. Benteng keraton pada masa lalu adalah dinding yang membatasi kota atau Ibu kota wilayah yang pada masa lalu disebut Keraton. Ritual ini dilakukan pada malam 1 Suro. Pada masa lalu tradisi ini dilakukan dengan mematikan lampu (obor atau lampu minyak) pada rumah-rumah penduduk. Tradisi ini dilakukan pertama kali oleh kaum Tawabin. Kaum Tawabin artinya kaum yang bertaubat. Sebutan ini awalnya ditujukan bagi kelompok yang mengikuti Imam Husein sampai ke Karbala kemudian meninggalkan beliau pada malam ke 8 dan 9 karena takut dan alasan lain. Ketika berita syahidnya Imam Husein sampai kepada mereka, mereka pun menyesal karena telah meninggalkan Imam Husein di Karbala Kaum ini kemudian bertaubat sebagai tanda penyesalan dan melakukan ritual seperti diatas, mensucikan diri dan berjalan mengelilingi dinding kota untuk memberitahukan mereka telah mengakui kesalahan mereka dan bertaubat dari kesalahan dan telah mempersiapkan jasmani dan rohani bila ada panggilan jihad lagi.

7. PANJI ATAU BENDERA DENGAN SIMBOL YANG TERKAIT DENGAN SAYYIDINA ALI

Bendera kesultanan Cirebon, bergambar pedang bermata 2, yang merupakan pedang Dzulfiqar, pedang yang di hadiahkan Rasul saw kepada Imam Ali as
Lambang pasukan kesultanan Cirebon; Macan Ali

Panji-panji wilayah, Bendera yang tersebar di berbagai wilayah di nusantara pada masa lalu umumnya bergambar pedang Dzulfiqar, Singa atau harimau. Dzulfiqar adalah pedang bermata 2 milik Rasulullah saw yang dihadiahkan kepada Imam Ali. Singa adalah sebutan atau gelar Imam Ali yang dalam bahasa Arabnya di sebut HAIDAR.

Bendera Dzulfiqar warisan kesultanan Tidore

8. KISAH LISAN DAN TULISAN YANG TERKAIT DENGAN AHLULBAIT

Tradisi kisah-kisah lisan yang terkait dengan ahlulbait, seperti kisah Imam Ali bertemu tokoh-tokoh pemimpin Nusantara, yang diturunkan dari generasi ke generasi. Nama-nama tokoh yang diambil dari nama nabi dan keluarganya seperti; Muhammad, Abdullah, Hasan, Husein, Baqir, Fatimah dan sebagainya

9. SIMBOL ANGKA 5, 7, 12, 14 YANG TERKAIT DENGAN AHLULBAIT

Warisan bangunan masjid dengan bangunan tradisi Nusantara yaitu dengan atap berundak yang masih asli atau pada saat renovasi tidak mengalami perubahan bangunan umumnya memakai simbol ahlul bait, seperti soko guru 5, atapnya umumnya berundak 3 atau 5, jendela 12. Simbol-simbol ahlul bait pada Masjid kuno yang direnovasi namun masih mengikuti bentuk bangunan aslinya bagian-bagian bangunan yang kami sebut masih dapat dilihat, seperti beberapa masjid kuno di jakarta, dan Jawa.

10. ARAK-ARAKAN HAYOK TABUI

Di Pariaman, Sumatera Barat, terdapat tradisi arak-arakkan yang dinamakan “Hayok Tabui” yang diadakan setiap 10 Muharram. Tradisi ini sangat kental dipengaruhi oleh tradisi Syiah ahlulbait. Arak-arakan semacam ini dikenal di kalangan muslim Syiah sebagai peringatan terhadap tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi Muhammad Saw, Sayyidina Husain pada tanggal 10 Muharram.

11. TRADISI GREBEG SURO

Dalam tradisi Jawa “Grebeg Suro” juga ditemukan adanya pengaruh Syiah. Kebiasaan orang Jawa yang lebih menganggap Muharram sebagai bulan nahas merupakan pengaruh dari tradisi muslim Syiah yang juga menganggap Muharram sebagai bulan nahas dengan meninggalnya Sayyidina Husain. Karenanya, orang-orang Jawa berpantang menggelar perayaan nikah atau membangun rumah pada bulan “Suro” atau Muharram.

12. BUBUR BEUREUM BODAS (BUBUR MERAH PUTIH) ATAU BUBUR SURO

Bubur beras merah putih yang disebut dengan bubur suro khas JawaBarat, memiliki makna merah berarti darah suci pengorbanan Imam Husein putih berarti perjuangan suci demi tegaknya Islam.

Di tatar Sunda, pada bulan Muharram dikenal tradisi memasak bubur “beureum-bodas” (merah-putih), dan dikenal dengan istilah bubur Suro. “merah” pada bubur perlambang darah syahid Sayyidina Husain, dan putih perlambang kesucian nurani Sayyidina Husain.

13. TABUT ATAU TABOT

Di Bengkulu, pengaruh Syiah terlihat melalui tradisi Tabut atau Tabot. Tradisi ini bertujuan untuk memperingati peristiwa di Karbala ketika keluarga Nabi Muhammad SAW dibantai. Setiap tahun, ritual tabot digelar selama 10 hari, mulai dari tanggal 1 sampai 10 Muharam. Mengenai acara Tabot, cendikiawan dan sosiolog Jalaluddin Rahmat dalam wawancaranya dengan majalah tempo menjelaskan pesan penting dalam tradisi Tabot ini dituangkan melalui drama kolosal yang berisi tentang rekonstruksi detail tragedi Karbala dari hari ke-1 hingga ke-10.

Festival Tabut di Bengkulu yang diadakan dari tanggal 1 -10 Muharram untuk memperingati pembantaian syahidnya Imam Husein dan keluarga nabi saw di Karbala. Dapat dilihat pada gambar diatas simbol kuda putih Imam Husein yang bernama Dzuljannah.

14. YASINAN KEPADA ORANG MENINGGAL

Ziarah dan Yasinan yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal adalah sunnah yang dianjurkan dalam Islam. Namun berlalunya waktu, perbedaan pendapat yang memecah Islam menjadi berbagai golongan mazhab, menyebabkan tradisi yasinan dan ziarah pelan-pelan mulai ditinggalkan. Hanya satu mazhab Islam yang tetap menghidupkan tradisi ini yaitu mazhab Syiah ahlulbait. Di Indonesia tradisi ini tetap terjaga di kalangan warga Nahdatul Ulama dan penganut Syiah ahlulbait.

15. ZIARAH KUBUR KE MAKAM ULAMA UNTUK MENDAPAT KEBERKAHAN

Ziarah kubur kemakam keluarga dan ulama sangat dianjurkan dalam ajaran Islam, ketika Ziarah kubur kita disunahkan membaca doa kepada Allah SWT sebagai ‘hadiah’ bagi yang telah meninggal dan bagi diri sendiri supaya mendapat keberkahan dunia dan akhirat. Selain itu ziarah kubur juga mengingatkan seseorang pada kematian, dengan mengingat kematian, manusia di harapkan akan takut berberbuat dosa. Dalam tradisi ahlulbait ziarah memiliki peran yang sangat penting dan menjadi ritual ibadah yang sering kali dilakukan pada hari-hari tertentu.

Ziarah ke makam ulama untuk mendapat keberkahan dilakukan karena keyakinan bahwa orang yang meninggal di jalan Allah SWT, baik itu dalam peperangan atau seorang ulama yang mengamalkan ilmunya untuk kebaikan umat, ruh mereka tetap ‘hidup’ di sisi Allah SWT, dalam arti mereka dapat mendengar dan melihat orang yang meziarahi mereka, seperti firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 169-170 ; “maka sesungguhnya mereka hidup disisi Allah dan mendapat rezeki yang melimpah.”
Kebiasaan atau tradisi ziarah kubur dan membangun makam muslim berupa bangunan makam di Indonesia juga dipengaruhi tradisi ziarah kaum Syiah, karena adanya tradisi membaca do’a yang cukup panjang di area makam. Tradisi membangun makam juga merupakan tradisi agama tauhid yang dilakukan dengan cara membaca do’a untuk leluhur atau tokoh ulama atau pemimpin yang diagungkan pada masa hidupnya. Tradisi membangun makam ini juga meneruskan tradisi leluhur Nusantara yang beragama tauhid.

16. REBO WEKASAN

Rabu Wekasan adalah peringatan yang dilakukan pada rabu terakhir bulan Safar. Peringatan ini dilakukan untuk mengenang wafatnya Rasulullah saw pada hari Rabu tanggal 28 Safar 632 M. Tradisi Rabu Wekasan telah dilaksanakan oleh penduduk Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Karena tradisi ini telah ada sejak awal masuknya Islam ke Nusantara, generasi saat ini banyak yang tidak lagi mengetahui makna sedih di balik peringatan tradisi Rabu Wekasan yang saat ini hanya dikenal sebagai hari Naas dan melakukan berbagai amalan do’a dan sedekah agar terhindar dari bala’ atau Nahas. Dalam kisah perjalanannya, mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan mengaku teringat tradisi Rebo Wekasan saat berada di masjid Syiah di San Antonio Texas. Menurut Dahlan, saat kecil dia sering melihat warga Tegalarum, Magetan melakukan tradisi Rebo Wekasan. Tradisi Raebo Wekasan di daerahnya dilakukan dengan meletakkan gentong berisi penuh air di atas kursi di halaman masjid. Di dalam gentong tersebut terdapat kertas yang bertuliskan Arab pegon, Arab gundul yang berisi do’a-do’a. Warga desa tempat tinggalnya menyebut bacaan tersebut sebagai rajah atau jimat. “Setelah tengah hari orang-orang bergilir ke gentong itu. Ambil airnya. Untuk diminum.” Kisah beliau. Dahlan Iskan melanjutkan kisahnya : “Bapak saya bercerita acara itu untuk mengenang meninggalnya Sayidina Hussein.”
“Tidak ada yang tahu kalau itu tradisi Syiah. Bahkan kami tidak tahu kalau ada aliran yang disebut Syiah. Kami ini tahunya hanya NU, Muhammadiyah, Persis, Syathariyah, Nahsabandiyah, Qadiriyah. Setelah dewasa baru tahu ada Syiah, Wahabi, Khawarij dan seterusnya dari buku.” Demikian dikatakan Dahlan Iskan seperti dikutip dari laman http://www.disway.id, Jumat (8/6/2018).

17. TARI SAMAN ACEH (KARBALA)

Pertunjukan tari Saman pada era kolonial

Tarian ini di ciptakan oleh Syekh/Ulama Aceh Gayo yang bernama Saman pada abad ke-14. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. Tarian saman dimulai dengan tampilnya seorang tua cerdik pandai atau pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) dengan memberi nasihat-nasihat yang berguna kepada para pemain dan penonton. Lagu dan syair dibacakan secara bersama dan berkesinambungan. Para penari terdiri dari pria-pria dengan memakai pakaian adat. Tarian ini di lakukan dengan cara menepuk dada dan menepuk tangan secara bergantian hingga terdengar suara yang khas. Menepuk dada atau kepala adalah tradisi bangsa Arab dan Persia ketika ada peristiwa duka, dan hingga saat ini tradisi menepuk dada masih bisa dilihat ketika memperingati hari duka wafatnya Rasul saw dan tragedi dibantainya keluarga nabi di Karbala pada hari ke-10 Muharram atau Asyura. Melihat pesan dakwah yang kuat dalam tarian Saman ini, pada masa sekarang hanya diselenggarakan pada saat peringatan Islam penting seperti Maulid dan peringatan syahidnya Imam Husein pada hari Asyuro, tanggal 10 Muharram.

Tari saman

18. KALIMAT UMPATAN “HARAM JADAH/JA’DAH”

Kalimat ini terkenal di negeri-negeri Melayu hingga ke India dan persia dengan penyebutan kalimat yang sama. Arti harfiah kalimat ini adalah “celakalah Jadah/Ja’dah.” Kata Jadah berasal dari nama istri Imam Hasan Ja’dah binti Ash ath bin Qais, yang telah meracuni Imam Hasan atas suruhan Muawiyyah yang menjanjikannya harta dan kekuasaan. Kalimat umpatan ini berasal dari tradisi kaum Syiah Ahlulbait melaknat para pembunuh keluarga nabi, diantaranya adalah istri Imam Hasan yang bernama JA’DAH ini.

19. TRADISI WARISAN SYIAH IMAMIYAH DI BUTON

Di Buton, Sulawesi Tenggara, terdapat beberapa tradisi yang sangat erat hubungannya dengan ajaran Ahlulbait. Tradisi ini terlihat dalam upacara adat, pemilihan kepala desa, nama-nama tokoh dan sebagainya. Tradisi Syiah ahlulbait dalam bahasa Buton di antaranya; Kawarande niburi yaitu: kain kafan yang bertuliskan 1000 sifat Allah SWT atau Kafan Jausyan Kabir. Sara Ompulu rua kaluluno yaitu penyebutan 12 Imam. Peringatan Kadiri sebutan untuk peristiw Al Ghadir, yaitu peristiwa penunjukkan Imam Ali sebagai wasi’ atau wakil Rasul saw setelah beliau saw wafat. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah setelah haji Wada’ Rasul saw, di suatu tempat perbatasan antara Mekkah, Madinah bernama Ghadir Khum).
Maata’a yaitu Ma’tal/Ma’tam pembacaan runtunan peristiwa atau kisah pada masa nabi dan para Imam as yang di baca dengan cara di lagukan. Kunu sebutan untuk peristiwa tragedi hari Kamis atau Kamis Kelabu, 7 hari sebelum mangkatnya Rasul saw. Peristiwa ini disebut peristiwa kelabu dikalangan muslim Syiah sebagai pelajaran agar jangan pernah menolak atau beralasan apapun ketika Rasul saw memberi perintah. Kamis kelabu seperti yang diriwayatkan dalam hadits Bukhari terjadi pada hari Kamis ketika nabi saw sakit, dan meminta pena dan kertas untuk menuliskan wasiat, namun permintaan tersebut diabaikan oleh Umar bin Khatab karena mengira nabi mengigau. hadits ini ma’ruf dan terdapat dalam kitab Buchari dan Muslim. Pialoa yaitu Haul atau peringatan kematian Wuta akopono yaitu Kisah segenggam tanah/Asyuro Benteng Wolio Wolio berarti Wilayah Hizbullah (tentara Allah) Buton diambil dari bahasa Arab Butun yang artinya perut atau kandungan: 3 Kandungan ilmu ma’rifat : Ma’rifattullah, Ma’rifat Nubuwah, Ma’rifat Imamah. itulah sebabnya di Buton mengenal struktur Imam Desa, Imam Kampung dst. dan semua itu memiliki kitab tersendiri dengan bahasan panjang.
Istilah Siolimbona yaitu rahasia 9 dari sulbi Husain, 9 keturunan Imam Husein yang menjadi Imam penerus. Marabat 7 yairu Rahasia 7 nama agung Mia ngkaila-ila sebutan bagi Al Ghaibah, Imam Al Mahdi. Batata melalui arwah yaitu do’a kepada Allah SWT melalui perantara atau tawasul melalui Rasullullah saw.

20. TRADISI NYANGKU DI PANJALU, CIAMIS

Tradisi Nyangku, arak-arakan membawa benda pusaka warisan Prabu Sanghyang Borosngora

Nyangku adalah upacara adat yang dilaksanakan di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Upacara Nyangku diadakan setiap bulan Rabi’ul Awal/bulan Maulid untuk merayakan kelahiran nabi Muhammad saw dan mengucap syukur kepada Prabu Sanghyang Borosngora yang telah mengajarkan Islam kepada rakyat Panjalu dengan cara membersihkan benda pusaka dengan ritual yang sarat dengan nuansa Islami. Benda-benda pusaka yang dimandikan, antara lain, pedang zulfikar, keris pancaworo, bangreng, goong kecil, cis, keris komando, dan trisula.

Secara etimologi, kata nyangku merujuk kata ينق yang terdiri dari huruf (ي ن ق). Kata ini kemudian dibaca (yanku) yang berarti memurnikan. Pelafalan atau pengucapan ini kemudian berubah menjadi nyangku. Di dalam Bahasa Sunda, kata serapan ini kemudian diartikan sebagai nyaangan laku atau diartikan sebagai menerangi perilaku.

Upacara adat Nyangku dimulai dengan mengeluarkan benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora, para pemimpin, dan bupati Panjalu yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Benda-benda pusaka ini kemudian di arak untuk di sucikan dengan cara di bersihkan dengan air yang yang diambil dari 7 mata air dari sungai yang diyakini sebagai petilasan Prabu Sanghyang Borosngora. Air ini disebut sebagai tirta Kahuripan. Lokasi ketujuh mata air tersebut tersebar di sekitaran wilayah Panjalu. Diantaranya, dari mata air Situ Lengkong, Karantenan, Kapunduhan, Cipanjalu, Kubang Kelong, Pasanggrahan, Kulah Bongbang Rarang dan Bombang Kancana. Tirta kahuripan yang diambil dari tujuh mata air tersebut sebelumnya disimpan dalam tempat khusus dan di bacakan do’a tawassul oleh para santri setempat selama 40 hari.

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

SUMBER-SUMBER

1. Al Husaini al hamid H. M. H, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw, Cet. XI 2006, Pustaka Hidayah.

2. Iqbal. Muhammad Zafar. Dr, Kafilah Budaya Pengaruh Persia Terhadap Kebudayaan Indonesia, Cet. 1, Citra, 2006

3. Al Hadad. Bin Thahir. Al Habib Alwi, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Jauh, Cet.I, 2001, Lentera Baristama.

4. Sunyoto. Agus, Atlas Wali Songo, Cet.1, 2012, Pustaka Iman.

5. C.I.E.MA.Arnold.TW, Preaching Of Islam : A History Of The Progation Of The Muslim Faith, 1913.

6. Al Mahsyur. Alwi. Idrus, Sejarah Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW Di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India, Dan Afrika, Cet.4, 2013, Sara Publishing.

7. Aceh. Aboebakar.H.Dr.Prof, Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia, Cet.4,1985, Ramdhani.

8. Atjeh. Aboebakar.Dr.Prof, Sji’ah Rasionalisme Dalam Islam, Yayasan Penyelidikan Lembaga Islam.

9. Saefullah. DR. H. SA. MA, Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Cet. 1, 2010, PustakaPelajar

10. Sy, Syiafril. A, Tabut Karbala Bencoolen Dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban, PT Walaw Bengkulen

11. Dahri. Harapandi. DR, tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi Di Bengkulu, Cet. 1, 2009, Citra

12. Abror, Rachman. ABD, pantun Melayu Titik Temu Islam dan Budaya Lokal Nusantara

13. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tari_Saman#

14. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Ja’da_bint_al-Ash’at

15. https://www.harapanrakyat.com/2019/11/sejarah-tradisi-ritual-upacara-adat-nyangku-di-panjalu-ciamis/

16. Penelitian Independent tentang Buton oleh; Dr Vita Sarasi, SE, MT dosen Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Padjadjaran Bandung

Imam Ali bin Abi Thalib RA, Kian Santang & Rakeyan Sancang

Oleh SofiaAbdullah*

Bagi pemerhati sejarah Sunda dan tentunya masyarakat Sunda sendiri yang ingin mengetahui sejarah leluhur, pastinya sudah tidak asing lagi dengan ketiga nama tokoh penting ini. Tiga tokoh yang terkait erat dengan sejarah masuknya Islam ke wilayah jawa bagian barat.

Namun sayangnya sumber tertulis yang asli mengenai kisah masuk Islamnya Kian Santang ini bisa dikatakan hampir tidak ada, hingga terjadilah simpang siur informasi seperti yang terjadi saat ini.

Sejarah Kian Santang pada hakikatnya adalah kisah yang menggambarkan tentang kedatangan Islam di tanah Sunda. Kisah ini dapat kita dengar dan baca dari generasi ke generasi, baik melalui pantun ataupun kisah wayang.

Seperti umumnya kisah tutur lainnya, tentunya dalam perjalanan kisahnya dari waktu ke waktu telah mendapatkan penambahan dan pengurangan di beberapa bagian kisahnya.

Pada era kolonial kisah ini juga banyak disisipi pesanan dari pemerintah kolonial berupa kisah-kisah yang memberikan ‘citra’ buruk pada Islam, diantaranya melalui kisah Kian Santang memaksa ayahnya, sang Prabusilwangi untuk menganut ajaran Islam, hingga terjadi perkelahian dan pengejaran antara Kian Santang dan ayahnya yang diakhiri dengan ‘ngahiang-nya’ sang prabu, berubah wujud menjadi maung (harimau).

Darimanakah kisah-kisah tidak masuk akal ini bersumber? Terlihat jelas ada penambahan data berupa kisah-kisah ajaib dan sikap intoleran seorang muslim, yang bila membaca ini, pembaca pasti akan berasumsi pada ayahnya saja ia melakukan demikian, bagaimana dengan rakyat biasa? Dan sikap ini terjadi setelah Kian Santang masuk Islam. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Kembali lagi pada pertanyaan diatas darimanakah kisah-kisah ini bersumber?

Ternyata setelah dilakukan penelusuran, salah satu sumber utama kekacauan sejarah Islam di Indonesia adalah banyaknya sumber-sumber sejarah tertulis palsu atau salinan yang dibuat pada era kolonial, tepatnya setelah tahun 1860-an hingga 1900-an awal. Dari naskah-naskah aspal atau salinan inilah kemudian kita membaca dan mendengar banyak cerita-cerita aneh dan tidak masuk akal seputar sejarah masuknya Islam di Indonesia.

Mengenai sumber tertulis yang asli bukan salinan, kami yakin pasti ada, hanya saja sebagian besar sumber tertulis ini telah diambil oleh pihak kolonial dan kini tersimpan di univ. Leiden-Belanda. Untuk saat ini pembuktian pertemuan Imam Ali dan Kian Santang dapat dilakukan dengan beberapa metode penelusuran, diantaranya dengan menghubungkan petunjuk-petunjuk yang terkait dengan kisah ini melalui berbagai pendekatan ilmu sejarah dan ilmu bantu sejarah, seperti yang akan kami coba jelaskan secara ringkas pada tulisan ini.

Kekacauan data sejarah yang paling sering ditemukan adalah terjadinya tumpang tindih tahun kehidupan para tokoh, hingga tidak ada titik temu antara tokoh dalam naskah kuno dengan fakta sejarah yang diambil dari sumber lain, misalnya tokoh yang harusnya hidup pada tahun 630 M, seolah olah hidup pada tahun 1400-an, padahal faktanya Islam pada tahun 1400an telah tersebar di Indonesia dari sabang sampai merauke, yang pastinya sulit untuk dicerna dengan akal sehat bila Islam yang baru dikenal tahun 1400 pengaruh dan tradisinya sudah tersebar hampir keseluruh Nusantara.

Salah satu kisah yang mengalami perusakan dan pemalsuan sejarah ini adalah kisah pertemuan Kian Santang dan Imam Ali.

Berdasarkan data-data yang telah kami kumpulkan dan tidak mungkin kami masukkan kedalam tulisan ini, karena banyaknya data-data tersebut, diketahui bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak masa Rasul saw masih hidup, baik melalui utusan beliau saw maupun penduduk dari seluruh dunia yang memang sengaja datang untuk mengenal nabi terakhir sekaligus mempelajari Islam.

Diantara mereka yang datang ke jazirah Arab 1441 tahun yang lalu adalah Kian Santang yang diperintahkan ayahandanya, Prabusiliwangi, untuk berguru ke tanah Arab pada seorang sakti bernama Ali.

Diantara pembaca mungkin ada yang bertanya, bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Darimana Prabusiliwangi mengetahui keberadaan nabi Muhammad dan sayyidina Ali??

Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan berita tentang Islam telah sampai ke nusantara pada saat Rasul saw masih hidup, yaitu : faktor agama dan perdagangan.

Kedua faktor petunjuk ini hilang dan rusak juga karena beberapa sebab,  hingga kisah penting ini terkesan mistis dan diragukan kebenarannya dalam ilmu sejarah yaitu faktor  bahasa dan faktor pemalsuan sumber sejarah.

Sekarang mari kita bahas 2 faktor penting sebagai petunjuk bahwa kisah pertemuan Imam Ali dan Kian Santang adalah fakta sejarah, dengan pembuktian-pembuktian berikut.

Faktor Agama

Penduduk Indonesia 1441 tahun yang lalu jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan luas kepulauan Nusantara. Hal ini bisa diketahui melalui sensus penduduk yang dilakukan pada awal abad ke-18, pulau Jawa dan Madura yang berpenduduk terpadat saja hanya berpenduduk 5 juta  orang..! Bisa di perkirakan jumlah penduduk di pulau Jawa 1000thn yang lalu, tentunya jauh lebih sedikit dibanding jumlah penduduk berdasarkan sensus tahun 1800an.

Semakin sedikit jumlah penduduk, otomatis semakin sedikit perbedaan keyakinan yang dianut. Adanya kesamaan keyakinan pada leluhur nusantara di masa lalu, bisa dilihat dari agama asli suku pedalaman dan agama Hindu Bali yang secara pemahaman dan ritual ibadah cenderung memiliki kesamaan antara satu dan lainnya, yaitu meyakini adanya Tuhan sebagai kekuatan tunggal yang maha segalanya yang tidak terlihat tapi ada.

Keyakinan akan Tuhan yang Maha Esa, kekuatan tunggal yang maha segalanya  ini adalah salah satu ciri bahwa mayoritas leluhur penduduk Indonesia adalah penganut agama tauhid, yang dalam ajaran Islam disebut dengan Millatu Ibrahim, atau dalam sebutan bahasa setempat disebut agama Dharma, Kapitayan, dan sabagainya yang meyakini adanya kekuatan tunggal yang maha segala atau Sang Hyang Widhi atau Dia yang Satu.  Adapun beragamnya ritual ibadah adalah karena pengaruh asimilasi budaya.

Berdasarkan sejarah Islam, Agama tauhid diajarkan oleh para nabi dan rasul yang diutus ke seluruh penjuru dunia. Setiap nabi dan rasul yang berjumlah 124 ribu ini diutus untuk memberikan penjelasan kepada manusia berupa ajaran-ajaran kebaikan, ritual ibadah, tata cara bermasyarakat, dan sebagainya. Ajaran-ajaran ini kemudian dituliskan dalam kitab-kitab. Karena ajarannya tertulis dalam kitab inilah maka penganut agama tauhid disebut juga dengan Ahlul kitab atau pemilik kitab.

Ahlul Kitab adalah para pemeluk agama yang memiliki kitab bukan hanya agama Yahudi dan Kristen tapi juga termasuk Majusi, Hindu, Budha serta agama-agama lain yang tersebar di seluruh dunia, selama mereka masih mengakui adanya kekuatan Tunggal yang Maha segalanya.

Dalam Al Qur’an golongan Ahlul kitab disebutkan dalam beberapa ayat. Dalam sejarah nabi saw, dikisahkan tentang nubuat (ramalan) kedatangan Nabi terakhir yang diketahui oleh pemeluk ahlul kitab jauh sebelum kelahiran nabi Muhammad saw. peristiwa ini diketahui karena setiap kelahiran nabi disebutkan pada kitab-kitab mereka, termasuk kelahiran nabi Muhammad SAW. Dalam ajaran Islam disebutkan pada awalnya agama di dunia ini hanya satu, kemudian terjadi perbedaan pendapat diantara umat manusia, hingga lahirlah berbagai macam agama dan aliran dalam agama (1). Ahlul kitab dan menyembah kepada Tuhan yang satu adalah ciri agama tauhid adapun beragamnya cara beribadah adalah hasil perbedaan pendapat tersebut yang harus dihormati dan di hargai, seperti yang dicontohkan  oleh nabi Muhammad saw.

Setelah masa kenabian Muhammad saw, ahlul kitab terbagi 2 golongan, mereka yang meyakini nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang tertulis dalam kitab-kitab mereka kemudian menjadi muslim, dan yang tidak meyakini tetap pada agamanya.

Sebagai bagian dari ajaran agama tauhid, sebagian penduduk Nusantara saat itu telah mengetahui kedatangan nabi terakhir berikut ciri-cirinya melalui kitab-kitab mereka yang ditulis dengan bahasa daerah mereka masing-masing, seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an surat Ibrahim (14):4 Allah SWT berfirman, bahwa Allah SWT mengutus nabi dan rasul dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.(2)

Kisah tentang nubuat (ramalan) kedatangan nabi Muhammad tergambar jelas pada kisah pertemuan nabi saw ketika masih belia dengan Biarawan Bahira yang mengetahui detail ciri-ciri kenabian pada Muhammad kecil yang kelak akan menjadi rasul terakhir. Beberapa kisah sahabat nabi yang umum diketahui juga berkisah tentang beberapa tokoh sahabat yang awalnya beragama tauhid  mencari sang nabi yang cirinya tersebut dalam kitab-kitab mereka.

Para sahabat yang sengaja datang dari negeri yang jauh ke jazirah Arab untuk mencari sosok sang nabi diantaranya sahabat Bilal ra yang beragama tauhid dari Afrika, namun diperjalanan beliau dirampok dan dijual sebagai budak. Kisah Abu Dzar dari bani Ghiffar yang datang ke Mekkah untuk memastikan kedatangan nabi yang baru, demikian pula hal-nya dengan Salman al Farisi yang mengetahui detail kenabian Muhammad saw melalui kitab Injil, atau kisah penduduk Madinah, yang telah mengetahui Nabi Muhammad saw jauh sebelum nabi hijrah dan masih banyak lagi berita tentang kelahiran nabi Muhammad saw yang telah mereka ketahui dari kitab-kitab mereka, hanya saja diantara mereka ada yang menerima ada yang tidak.

Dari penggalan kisah nabi Muhammad saw diatas, pertemuan Kean Santang dan Imam Ali as atau Sayyidina Ali RA menjadi tidak aneh lagi. Sebagai seorang penganut tauhid, baik Kean Santang ataupun ayahnya sang Prabusiliwangi tentunya akan merasa terpanggil untuk melihat sang Nabi terakhir, Muhammad saw, yang namanya telah mereka ketahui dalam kitabnya, hingga kemudian memerintahkan putranya berguru langsung pada beliau saw.

Faktor perdagangan


Route perdagangan kuno dari negara Arab hingga ke China. Route ini digunakan sejak 200 SM hingga 1450an M. Dapat dilihat pada peta diatas, untuk mencapai Cina harus melewati pulau Sumatera terlebih dahulu. Route ini tetap di gunakan para utusan Rasul saw untuk melakukan syi’ar Islam hingga ke negeri-negeri yang jauh. Route ini pula yang digunakan dalam perjalanan hijrah kaum muslim bani Alawiyyin (keturunan nabi saw), kaum Syi’ah Ahlulbait dan dari keturunan para pengikutnya yang terjadi secara bergelombang.

Hubungan perdagangan yang terjadi antara penduduk Nusantara dan Jazirah Arab telah terjalin jauh sebelum kelahiran Rasul saw. penelitian tentang keterlibatan Nusantara dalam jalur perdagangan Internasional pada masa lalu cukup banyak, diantaranya adalah pendapat T.W Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam yang menyatakan hubungan perdagangan antara Nusantara dengan Arab telah terjadi sejak abad ke- 2 SM. Sementara dalam buku Masuknya Islam ke Timur Jauh disebutkan tidak semua suku Arab yang melakukan hubungan dagang dengan Nusantara tapi hanya suku Quraisy dan leluhur Quraisy yaitu Kan’an serta beberapa suku tertentu dari Yaman yang melakukan hubungan dagang dengan para pelaut Nusantara. Seperti diketahui suku Quraisy adalah suku leluhur Rasulullah saw dan rasul saw sendiri pun di kenal sebagai pedagang ulung.  

Dari hubungan perdagangan dan agama ini, semakin wajarlah bila kedua tokoh ini memang pernah bertemu, hanya saja kisahnya mungkin tidak semistis dan segaib seperti yang kebanyakan kita ketahui di berbagai blog internet.

Imam Ali as adalah guru bagi Kian Santang, bukan hanya bertemu Imam Ali dan berguru pada beliau, dalam salah satu sumber yang kami dapatkan, Kean Santang juga belajar dan bertemu langsung dengan Rasul saw, setelah sebelumnya bertemu atau berpapasan dengan Imam Ali as. Peristiwa ini terjadi di Mekkah  sekitar tahun 630 M, setelah penaklukkan Mekkah oleh kaum muslim. (3)

Rasul saw kemudian memerintahkan Kean Santang untuk belajar Islam dengan Sayyidina Ali RA, hal ini pun bukan sesuatu yang aneh karena bisa di baca dalam kisah-kisah sejarah Rasul saw, Rasul saw biasa memerintahkan para sahabat pilihan untuk mengajarkan Islam bagi mereka yang baru mengenal Islam.

Rakeyan Sancang atau Kean Santang?

Dua nama ini muncul setelah ditemukannya data dari seorang ulama Mesir bahwa salah seorang sahabat Imam Ali adalah pangeran dari Timur Jauh (Nusantara). Data ini diambil dari manuskrip kuno yang tersimpan di univ. al azhar Mesir yang diantaranya mengisahkan tentang sahabat Imam Ali, seorang pangeran yang berasal dari Timur Jauh, yang ikut perang Shiffin dan beberapa peperangan lain bersama Imam Ali.

Setelah di teliti oleh Ir H. Dudung Faithurohman, satu-satunya kisah pertemuan pangeran dari Timur jauh dengan Imam Ali adalah kisah Kean Santang yang terjadi di jawa, dan setelah diteliti kembali pangeran jawa yang hidupnya satu masa dengan Imam Ali dan menjadi sahabat Imam Ali, serta ikut dalam perang Shiffin tidak lain adalah Rakeyan Sancang. (4) 

Kesimpulan ini tentunya banyak menimbulkan opini dari berbagai kalangan pemerhati sejarah, karena jelas terjadi perbedaan tokoh utama, kisah yang beredar di masyarakat Sunda selama berabad-abad adalah ‘Kean Santang’ sementara tokoh yang bertemu dengan Imam Ali as, yaitu ‘Rakeyan Sancang’ pangeran jawa yang masa hidupnya satu masa dengan Imam Ali, lalu mana yang benar? Rakeyan Sancang atau Kean Santang?

Berikut adalah beberapa pembuktian yang kami dapatkan dari hasil penelitian kami tentang sejarah Islam di Sunda berdasarkan naskah-naskah kuno, situs purbakala, Mitos, legenda, kisah turun temurun, naskah silsilah, kajian ilmu Anthropologi, Filologi dan arkeologi yang kami dapatkan.

Pembuktian pertama tentu saja melalui penelusuran sumber, baik lisan, tulisan atau mengunjungi situs yang terkait dengan tokoh Kean Santang dan Prabusiliwangi.

Terdapat beberapa sumber tertulis berupa naskah kuno yang menjadi rujukan data tahun, dua diantaranya didapat dari naskah Wangsakerta dan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang mengatakan bahwa Kean Santang adalah putra Prabusiliwangi yang hidup sekitar tahun 1400-1500-an Masehi, sementara fakta sejarah membuktikan pada kita Imam Ali hidup pada tahun 600M-663M, yang artinya jarak waktu antara Imam Ali dengan Kean Santang sekitar 900tahun! Dan tentunya mustahil secara ilmu sejarah kedua tokoh ini dapat bertemu.

Namun lain hal-nya dengan Rakeyan Sancang yang masa hidupnya kurang lebih satu masa dengan Imam Ali, hingga di tarik kesimpulan yang bertemu dengan Imam Ali adalah Rakeyan Sancang dan beliau adalah tokoh yang berbeda dengan Kean Santang. Kesimpulan ini diambil hanya berdasarkan perkiraan tahun yang tertera pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.

Benarkah demikian? Benarkah Rakeyan Sancang dan Kean Santang adalah 2 tokoh yang berbeda?

Bila benar demikian artinya kita telah membuang seluruh sumber lisan, tradisi dan budaya, situs pemakaman kuno yang tersebar merata di seluruh Indonesia, sejarah dan silsilah para tokoh muslim yang telah menjadi pemimpin di Jawa Barat sejak tahun 800-an Masehi. Tentu saja hal tersebut mustahil dilakukan dalam penelitian sejarah yang benar. (tentang pemakaman muslim kuno lebih lengkapnya bisa dibaca tulisan kami tentang Cangkuang, Situs Hindu atau Islam? https://sofiaabdullah.wordpress.com/2020/02/12/cangkuang-situs-pemakaman-muslim-kuno-yang-terlupakan-1/)

Setelah kami pelajari dari penelitian Prof. Boechari (alm) seorang filolog yang cukup terkenal mengatakan bahwa kedua naskah diatas adalah 2 diantara ratusan naskah salinan yang dibuat atas perintah kolonial, jadi sangat memungkinkan pada kedua naskah ini terjadi penambahan dan pengurangan data sesuai pesanan pemerintah kolonial pada masa itu, masih menurut Prof. Boechari (alm), untuk mengetahui keotentikan isi ke-2 naskah tersebut harus melakukan seleksi dan perbandingan dengan data sejarah yang lain. (5)

Dari penelusuran inilah kami juga menemukan fakta sejarah penting mengenai tokoh Prabusiliwangi. Berdasarkan peninggalan bangunan,  silsilah dan kisah-kisah pada naskah kuno seperti Babad, Cariosan dan sebagainya, diketahui bahwa Prabusiliwangi pun sebenarnya hanya gelar yang digunakan untuk menyebut para penguasa yang adil di Nusantara dari masa ke masa, dari mulai zaman nabi Nuh as hingga Prabusiliwangi terakhir sebelum era kolonial yang mencapai puncak kejayaan pada tahun 1482-1521, dan inilah prabusiliwangi yang umumnya diketahui masyarakat saat ini.

Gelar prabusiliwangi yang lain yang umum diketahui dikalangan sejarawan atau pemerhati sejarah adalah Sang Sribaduga, Ratu Haji Di Pakuan Pajajaran, Dari gelar Haji dapat dipastikan bahwa Prabusiliwangi adalah seorang muslim atau penganut agama millatu Ibrahim yang juga melaksanakan haji di Mekkah jauh sebelum kelahiran agama Islam di Arab. Gelar ini tercantum dalam prasasti Batu Tulis di Bogor (6).


Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut.
Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Dialah yang membuat parit (pertahanan) pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) saka “Panca Pandawa Mengemban Bumi”

Mengenai prabusiliwangi, lebih lengkapnya InsyaAllah akan kami bahas dalam tulisan yang lain.

Rakeyan dari Sancang

Pembuktian kedua bisa dilihat melalui nama. Kian Santang adalah sebutan bukan nama. Kata Kian atau Kean awalnya berasal dari kata ‘Rakryan’ yang diambil dari bahasa sanskrta yang artinya pangeran atau pemimpin. Seiring dengan perubahan zaman, perpindahan kisah dari generasi ke generasi kata Rakryan menjadi kata Rakeyan, dari rakeyan menjadi Keyan, Kean dan Kian.

Dalam ilmu filologi perubahan kata adalah hal yang umum terjadi, kasus kata Rakryan sama seperti yang terjadi pada kata ‘raden’ yang berasal dari kata ‘Rahadyan’ yang berarti pemimpin (agama atau wilayah). Setelah kedatangan kaum muslim yang hijrah dari Arab dan persia sekitar tahun 600-800an Masehi, masuklah unsur arab kedalam kata Rahadyan menjadi Ra’Dien yang artinya kurang lebih sama, pemimpin agama, kata Ra’din kemudian berubah menjadi Raden. (7) Dari perjalanan kata Rakeyan menjadi Kian dan rahadyan menjadi Raden saja membutuhkan waktu ratusan tahun.

Hal yang sama pun terjadi dengan kata ‘Sancang’ seiring dengan perubahan dialek dan pengaruh yang lain dalam kisah turun temurun menjadi kata ‘Santang’. Sancang adalah nama kota kuno di Jawa Barat, yang lokasi-nya saat ini masih dapat kita kunjungi di hutan Sancang, Garut Selatan.

Gambar diatas adalah peta kecamatan di Garut. Makam berada di kecamatan Cisompet (no.40)

Jadi berdasarkan temuan diatas, kami menyimpulkan bahwa Keyan Santang/ Kian Santang dan Rakeyan Sancang adalah tokoh yang sama, yang dikisahkan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun hingga mengalami perubahan bunyi dan makna, yaitu yang pada awalnya hanya gelar menjadi nama.

Rakeyan Sancang sendiri bila dilihat dari arti bahasa, artinya pangeran yang berasal dari Sancang, menegaskan jabatan dan asal kota atau tempat dimakamkannya sang pangeran.

Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, Sancang adalah kota kuno yang sekarang lokasinya berada di Garut Selatan dan terkenal dengan hutan/leuweung ‘Sancang-nya’. Kami mengetahui bahwa hutan Sancang adalah lokasi bekas pemukiman kuno, diantaranya ditandai dengan adanya kompleks pemakaman di dalam hutan Sancang.

Lokasi makam berada di puncak bukit. Pemandangan leuweung Sancang dari situs makam.
Makam Prabu Rakeyan Sancang. Berlokasi di situs Gunung Nagara, Sancang Garut. Gambar sekitar lokasi makam.
Lokasi makam berada di Padepokan Gunung Nagara.

Kisah Rakeyan Sancang dan pertemuannya dengan Imam Ali ra  dikisahkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, baik dalam bentuk pantun maupun wayang, dan seperti umumnya tradisi lisan pasti mengalami penambahan, pengurangan isi kisah dan perubahan nama tokoh yang disesuaikan dengan dialek sang penutur.

Sumber tertulis yang ada sekarang umumnya adalah salinan yg dibuat pada era kolonial atau berdasarkan kisah turun temurun yang kemudian ditulis dalam bentuk pantun atau prosa. (tentang pemalsuan sumber sejarah tertulis untuk lebih lengkapnya bisa dibaca tulisan kami yang berjudul ‘nasib Sumber Sejarah Tertulis di Indonesia; https://sofiaabdullah.wordpress.com/category/sejarah/sumber-sejarah/)

Salah satu sumber tertulis yang kami dapatkan dari salah satu padepokan di Banten, mengenai kisah Kian Santang, yang lebih bisa diterima dalam ilmu sejarah mengatakan bahwa pertemuan antara Kian Santang dengan Imam Ali terjadi di Mekkah setelah peristiwa fathu Makkah/ penaklukkan Makkah (629 M) pertemuan ini memang di sengaja karena perintah dari sang ayah, Prabusiliwangi, agar putranya mencari guru yang ilmunya mumpuni.

Singkat kisah setelah mempelajari Islam langsung dari Rasul saw dan Imam Ali as, Kian Santang diperintahkan Rasul saw untuk mengabarkan ttg Islam atau syi’ar di tanah Jawa (Sunda).

Kisah prabusiliwangi yang berperang melawan anaknya sendiri, atau Prabusiliwangi yang berubah atau ‘ngahiang’ menjadi maung setelah kalah berperang dengan putranya sebenarnya tidak pernah ada, kisah-kisah tersebut hanyalah penambahan-penambahan yang dipaksakan dengan tujuan merusak data sejarah hingga tidak layak lagi di jadikan sumber, karena berdasarkan sumber dari Banten tadi Prabusiliwangi-lah justru yang memerintahkan putranya untuk berguru ke Imam Ali di Mekkah.

Peperangan antara ayah dan anak, ketika sang anak memilih Islam adalah kisah rekayasa buatan era kolonial untuk memperburuk citra Islam, kisah seperti ini terdapat hampir di setiap naskah kuno di Indonesia, karena memang mayoritas naskah-naskah ini buatan era kolonial, baik yang berbentuk buku atau lontar.

Kisah orang tua melawan anaknya setelah sang anak memeluk Islam yang terkenal selain Kian Santang dan Prabusiliwangi antara lain Raden Fatah berperang melawan ayahnya, raja Majapahit, Brawijaya V. Kisah Raden Fatah dan Brawijaya V dari Majapahit memiliki alur cerita yang hampir mirip dengan kisah Kian Santang dan Prabusiliwangi, dan beberapa kisah serupa yang kami temukan pada naskah-naskah kuno salinan dari Sumatera dan Kalimantan.

Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa kisah-kisah yang hampir mirip ini pada dasarnya adalah kisah leluhur yang sama hanya saja dikisahkan pada lokasi yang berbeda dengan bahasa dan dialek yang berbeda, seperti yang di katakan pangeran Wangsakerta dalam naskah Wangsakertanya : “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”. (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya)

Malik al Hind & Rakeyan Sancang

pembuktian ketiga dari sejarah Islam. Berdasarkan hadits yang cukup terkenal dikisahkan tentang kedatangan seorang tokoh dari Hindia, tidak disebutkan nama tapi hanya gelarnya saja, Malik al Hind, yang artinya ‘penguasa dari Hindia’. Hindia adalah sebutan bagi kepulauan Nusantara sebelum dan sesudah era kolonial. Sebutan bagi anak benua India ratusan tahun lalu adalah Bharat, dan nama Bharat ini masih di gunakan hingga saat ini sebagai nama resmi India. Setelah masuk Islam Rasul saw mengganti nama Malik al Hind menjadi Abdullah as Samudri. (8)

Keberadaan sejarah Malik al Hind dalam sejarah Islam, menandakan adanya hubungan bilateral antara Rasul saw sebagai pemimpin kaum muslim dengan para pemimpin dari Nusantara (Hindia). Nama Abdullah, gelar as Samudri yang artinya dari Samudera, sebutan untuk kepulauan Nusantara dalam logat Arab, jelas menandakan adanya kesamaan dengan tokoh Kian Santang pada sejarah lokal yang setelah masuk Islam namanya menjadi Abdullah Iman.

Kisah yang kurang lebih sama dengan Kian Santang dalam tradisi lisan masyarakat Ciamis dikenal dengan nama Sanghyang Borosngora yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Abdul Iman. Tokoh ini dan putranya yang benama mbah Panjalu dimakamkan di Nusa Gede, situ Lengkong Panjalu, Ciamis.

Makam mbah Panjalu pitra dari Sang Hyang Borosngora, Lokasi pemakaman di pulau Nusagede di tengah Situ (danau) Lengkong. Sumber gbr : https://www.cicuit.my.id/2017/01/wisata-ziarah-ke-situ-lengkong-di.html?m=1

Adanya usaha pemalsuan sejarah Islam melalui sistem penyalinan dari naskah-naskah aslinya juga tidak bisa dianggap remeh, karena pemalsuan naskah = pemalsuan sejarah, masih menurut Boechari penyalinan ini tidak terbatas hanya pada naskah, namun juga terdapat pada prasasti dan bangunan atau situs-situs kuno.

Kisah-kisah yang tertulis untuk memperburuk citra Islam ini, jumlahnya sangat banyak dalam naskah-naskah salinan yang tersebar di Indonesia. Namun demikian walaupun naskah-naskah ini bukan naskah asli, bukan berarti naskah-naskah ini 100% palsu. Dari hasil penelusuran kami, masih banyak data-data yang asli yang terkandung dalam naskah, bahkan ada yang murni salinan dengan hanya sedikit penambahan dan pengurangan yang tidak menghilangkan makna aslinya. Beragamnya jenis naskah salinan inilah yang menuntut para pemerhati sejarah untuk berhati-hati dan selalu lakukan croschek info dengan sumber sejarah yang lain yang dapat dirujuk kebenarannya.

Mudah-mudahan sepotong kisah penelitian sejarah Islam yang sedang kami tekuni ini dapat bermanfaat dan memberikan sedikit kejelasan tentang sejarah Islam di tanah Sunda.

*catatan penulis

Tulisan ini adalah versi terbaru dari tulisan kami sebelumnya dengan judul yang sama. Tulisan kami sebelumnya  ditulis oleh penulis (SofiaAbdullah) tahun 2010 dan di bagikan di sosial media tahun 2016. Tulisan ini kami revisi dengan tambahan keterangan, sebagian buku-buku referensi dan adanya temuan-temuan terbaru kami yang belum masuk dalam tulisan sebelumnya. Temuan kami terbaru (2016-2020) diantaranya hadits nabi tentang malik al Hind dan beberapa hadits tentang Hindia, penafsiran Saka yang menurut penelusuran kami jauh lebih tua dari konversi Saka yang ada saat ini dan temuan rute perdagangan jalur laut yang melalui Nusantara.

Bagi para pembaca yang pernah membaca tulisan edisi sebelumnya, mohon di informasikan untuk diganti dengan tulisan terbaru kami ini, terimakasih.

Catatan kaki dan Buku-Buku Referensi

(1) Q.s Al Baqarah : 213

(2) Firman Allah SWT dalam al Qur’an QS. Ibrahim 14: Ayat 4:

وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَا نِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗ فَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَآءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”

(3) Suhartawijaya, Ma’mur H.A.H, Kisah Prabu Kian Santang, Jakarta 1401 H (1980 M)

(4) menurut IR Haji Dudung Faiturahman, Rakeyan Sancang adalah putra dari  raja Kertawarman, penguasa Tarumanegara VIII dari tahun 561-628 M. tapi berdasarkan penelusuran penulis, Rakeyan Sancang adalah gelar pemimpin atau putra penguasa daerah Sancang. Adapun siapa nama tokoh dibalik gelar Rakeyan Sancang ini ada beberapa kemungkinan yang masih dalam penelusuran kami lebih lanjut. Dari hasil temuan kami ada perbedaan dalam penafsiran tahun saka, itu sebabnya kami belum mendapatkan nama penguasa adil (prabusiliwangi) dan nama asli Rakeyan Sancang sebelum masuk Islam yang dikenal penduduk setempat yang hidup pada masa Rasulullah saw.

(5) Kumpulan Tulisan Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti, penrbit KPG, Jakarta 2012

(6) Berdasarkan teori era kolonial, dan menurut pendapat beberapa sejarawan, gelar Haji yang banyak tercantum setelah gelar jabatan (Ratu, Adipati dsb) seperti dalam gelar Prabusiliwangi; ratu haji di pakwan pajajaran diartikan sebagai gelar raja/kaum bangsawan yang bermakna sama dengan Aji. Tapi Dalam kamus Jawa Kuno Zoetmoulder 2 kata ini adalah 2 kata dengan arti yang berbeda. Haji dalam kamus jawa kuno berarti raja, keluarga raja, pangeran, Seri Baginda, Yang Mulia. Contoh penggunaan kata haji dalam naskah kuno: Ad 8, 17; Udy&RY 12,23; AW&TK 98. Passim : Stri haji, bini haji, kadaņ haji, bapa haji, ibu haji, bhrtya haji, kuti haji, pakis haji, tapa haji, bwat haji. Cara penggunaanya khusus; tidak pernah di dahului ņ, sang, sri dsb (Zoetmulder, 327)
Sementara kata ‘aji’ artinya kitab suci, teks suci, teks yang berwenang,mis. Peraturan2 utk brahman, instruksi ttg administrasi, politik, ptaktek kekuasaan,dll; formula dengan kekuatan  magis atau sangat suci (Zoetmulder, hal. 17). Aji memiliki arti yang sama dengan haji hanya dalam kidung bukan dalam kakawin, karena dalam kidung diperbolehkan adanya pemotongan huruf. Dari hasil pengamatan kami kata haji lebih sesuai untuk kata ‘haji’ yang artinya gelar bagi mereka yang telah melakukan ibadah haji di Mekkah. Ibadah haji adalah salah satu ritual agama Tauhid uang telah ada sejak masa nabi Ibrahjm as. Pembahasan gelar haji akan kami bahas dalam tulisan kami berikutnya yang khusus membahas gelar haji ini, InsyaAllah.

(7) Rakeyan berasal dari kata Rakryan. Kata ini digunakan untuk menunjukkan pangkat atau kt benda kategorik (apatih,tumenggung, dll); dipakai dalam sapaan sopan atau kpd orang yang lebih muda, kakak pd adik, suami pada isteri. (Zoetmulder,hal. 911) Kata raden berasal dari kata ra+hadyan, radyan, rahaden, raden artinya orang yang berstatus tinggi, raja/tuan, orang berpangkat atau tinggi martabatnya, cth : raden mantri, raden Wijaya, raden Galuh, raden Arya (Zoetmulder, hal. 327)

(8) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak (kitab al-‘At’imah Vol. 4, halaman 150), dari sahabat Sa’id al-Khudri r.a, disebutkan bahwa ada seorang raja dari negeri India (al-hind) yang datang membawa hadiah kepada Rasulullah Saw berupa tembikar yang berisi jahe. Hadits tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «أَهْدَى مَلِكُ الْهِنْدِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَرَّةً فِيهَا زَنْجَبِيلٌ فَأَطْعَمَ أَصْحَابَهُ قِطْعَةً قِطْعَةً وَأَطْعَمَنِي مِنْهَا قِطْعَةً

Artinya: “Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. berkata: ada seorang raja dari Hindia memberikan hadiah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebuah tembikar yang berisi jahe. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi makan kepada sahabat–sahabatnya dari jahe tersebut sepotong demi sepotong, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memberikan saya sepotong jahe dari dalam tembikar itu” (HR. Hakim, hadits nomor. 7190)

Buku-Buku Referensi

  1. Al Husaini al hamid H. M. H, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw, Cet. XI 2006, Pustaka Hidayah.
  2. Subhani, Ja’far, Sejarah Nabi Muhammad SAW = Ar Risalah/Ja’far Subhani; penerjemah, Muhammad Hasyim&Meth Kieraha; penyunting, Tim Lentera, cet. 8, Jakarta; Lentera 2009
  3. Al Hadad. Bin Thahir. Al Habib Alwi, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Jauh, Cet.I, 2001, Lentera Baristama.
  4. Sunyoto. Agus, Atlas Wali Songo, Cet.1, 2012, Pustaka Iman.
  5. C.I.E.MA.Arnold.TW, Preaching Of Islam : A History Of The Progation Of The Muslim Faith, 1913.
  6. Aceh. Aboebakar.H.Dr.Prof, Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia, Cet.4,1985, Ramdhani.
  7. Al Jibouri. Yasin. T,Konsep Tuhan Menurut Islam, Cet. 1, 1997, Ansariyan Publication Qum Iran
  8. Tjandrasasmita,Uka, Arkeologi Islam Nusantara, penerbit KPG, Jakarta 2009
  9. Ekadjati. Edi. S, Pustaja Rajya-rajya i Bhumi Nusantara Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanalogi). Direktorat Jendral Kebudayaan Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung, 1987 (Naskah Wangsakerta)
  10. Ekadjati. Edi. S, Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta, PT Dunia Pustaka Jaya, Cet. 1, 2005.
  11. Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Cet.1,2012, Kepustakaan Popular Gramedia.
  12. Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, Cet 2, Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  13. Raffles. Thomas. Stamford, The History Of Java, Cet. 3, Yogyakarta, Narasi,2014
  14. Suhartawijaya, Ma’mur H.A.H, Kisah Prabu Kian Santang, Jakarta 1401 H (1980 M)
  15. Zoetmulder, P.J, S.O Robson, Kamus Jawa Kuna-Indonesia; penerj.Darusuprapta, Sumarti Suprayitna-Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1995.
  16. Al Kharbuthli Ali Husni Prof Dr, Sejarah Kabah, cet. 3, 2013, Khazanah Pustaka Islam.
  17. Dan berbagai sumber lain baik berupa buku atau situs online terkait, yang jumlahnya terlalu banyak bila kami sebutkan semua di artikel ini.

‘Nasib’ Sumber Sejarah Tertulis di Indonesia

Sebelum membicarakan panjang lebar tentang sejarah Indonesia, saya mau bicara dulu tentang sumber sejarah di negeri ini.

Sumber sejarah ini perannya sangat penting dalam penelitian sejarah, bila sumber sejarah rusak, dipalsukan, atau disalahartikan, otomatis sejarah pun akan rusak.

Karena itu, penting sekali untuk mempelajari sumber sejarah sebelum digunakan sebagai sumber penelitian.

Apa saja sih sumber sejarah itu?

Seperti kita pelajari di sekolah, secara garis besar sumber sejarah itu terbagi dua; sumber sejarah tertulis dan tidak tertulis. Sumber sejarah tertulis adalah semua tulisan dan catatan kuno yang ditemukan dalam bentuk prasasti, naskah, kitab, yang tertulis dalam lontar, kertas atau pelepah kayu.

Gbr. Kakawin Kresnayana, salah satu sumber sejarah tertulis yang mengisahkan tentang perjalanan Prabu Kresna, menyelamatkan Istrinya, Rukmini yang di culik

Sumber sejarah tidak tertulis adalah warisan budaya berupa adat istiadat, tradisi, bentuk bangunan, permainan, lagu daerah, alat musik tradisional, keyakinan, dan ideologi.

Kali ini, saya akan share tentang sumber sejarah tertulis di Indonesia, sebagai rujukan terpenting dalam penelusuran sejarah di negeri ini. Untuk sumber sejarah tidak tertulis, akan saya bahas dalam kesempatan lain.

Sumber Sejarah & Kaitannya dengan Penguasa

Sumber sejarah memiliki kaitan yang erat dengan penguasa dan kekuasaan. Dari masa ke masa, setiap penguasa yang sah dan adil akan berusaha untuk melindungi sejarah bangsanya dengan berbagai cara, diantaranya dengan menuliskan kisah kisah leluhur bangsa ini dalam bentuk naskah lembaran ataupun kitab-kitab untuk dipelajari kembali oleh generasi setelahnya. Untuk melindungi naskah-naskah kuno tertulis tersebut, leluhur nusantara menyalin kembali naskah-naskah tersebut, baik dalam bentuk aslinya dengan mempelajari huruf dan bahasa yang digunakan pada naskah kuno tersebut atau dengan bahasa dan tulisan yang digunakan masyarakat pada saat itu.

Tujuan penyalinan dengan bahasa yang berlaku saat itu adalah agar isi naskah dapat dimengerti oleh masyarakat.

Namun, hal sebaliknya akan terjadi bila penguasa yang memerintah saat itu bukan pemerintah yang sah, yang berkuasa karena kehendak pribadi atau golongan tertentu yang tidak didukung mayoritas masyarakat. Pemerintah yang tidak sah ini akan menghilangkan sumber sejarah tertulis lama atau yang asli dan menggantinya dengan kitab-kitab yang mengisahkan tentang kemuliaan sang penguasa baru dan merendahkan penguasa lama.

Buku atau kitab yang tertulis ini kemudian akan menjadi sumber sejarah terpenting bagi generasi yang akan datang untuk mengetahui berdiri, berjalan, dan runtuhnya suatu bangsa. Dengan mempelajari sumber sejarah tertulis, kita dapat mengetahui ‘status’ dari negeri yang tertulis dalam sumber sejarah tersebut. Bila suatu negeri atau wilayah dikuasai dengan paksa atau dijajah, sejarah negeri tersebut akan dirusak atau dipalsukan, dengan tujuan melegalkan kekuasaan yang telah diambil secara paksa.

Bila suatu negara di analogikan sebagai rumah, maka sumber sejarah tertulis adalah ‘sertifikat’ rumah tersebut, yang menjelaskan perihal rumah dan pemilik rumah sebelumnya. Namun, bila terjadi ambil alih sepihak atau dengan cara paksa, maka si pemilik baru rumah tersebut akan menyatakan apapun agar rumah tersebut menjadi miliknya yang sah. Tidak hanya itu, pemilik baru rumah ini membuat rumah tersebut seolah tak memiliki penghuni sebelumnya jadi siapapun boleh mengambil rumah tersebut.

Sama halnya dengan sebuah negara yang tidak meninggalkan sejarah tertulis, negara tersebut dapat diambil alih sepihak atau dianggap sebagai negara yang primitif oleh negara lain. Hal ini disebabkan negara tersebut dianggap tidak berpenghuni atau dianggap memiliki penduduk yang primitif.

Itulah fungsi penting sejarah tertulis, ia merupakan bukti sah bahwa wilayah tersebut sebelumnya sudah dimiliki secara turun temurun oleh para leluhur pendiri negeri.

Namun bila terjadi kudeta, pihak yang mengkudeta akan melegalkan kekuasaannya dengan cara membuat sejarah baru yang memuliakan namanya dan merusak citra atau merendahkan status para pendiri negeri.

Gambar. Babad Tanah Jawi. Babad ini mengisahkan tentang pergantian kekuasaan dari Mataram lama yang beribukota di Pajang, dengan Mataram Baru yang mengatasnamakan Islam, padahal pemerintahan lama yang di kudeta adalah juga pemerintahan Islam.

Karena itu, dalam penelusuran sejarah yang bersumber dari kitab kitab yang disalin dari naskah kuno, kita tidak boleh langsung mempercayainya. Kita sebaiknya mempelajari dulu sejarah naskah tersebut, seperti melihat latar belakang sosial budaya pada saat itu, sejarah dan tokoh penulisan naskah, masa penyalinan naskah, oleh siapa naskah tersebut disalin, dan siapa penguasanya pada saat itu. Mengetahui sejarah naskah dan sumber sejarah tertulis lain sangat penting, karena sumber sejarah erat terkait dengan para penguasa pada masa ditulisnya naskah-naskah tersebut.

Pergantian kekuasaan dalam suatu negeri menjadi tema umum yang dibahas dalam naskah naskah kuno. Pergantian penguasa juga dapat menjadi patokan asli atau tidaknyansejarah yangbtertuang dalam naskah kuno tersebut. Sebagai contoh; Pergantian kekuasaan yang tidak sah tentunya akan melahirkan pemberontakan dan kerusuhan, bahkan peperangan, karena penduduk wilayah tersebut tidak rela negerinya ‘diambil’ oleh penguasa yang tidak sah. Sebaliknya pergantian kekuasaan yang sudah menjadi tradisi atau kebiasaan akan mendapat dukungan masyarakat dan sedikit sekali mengisahkan pemberontakan atau peperangan antar daerah.

Selainnpergantian kekuasaan, untuk menentukan naskah kuno tersebut asli dapat dilihat dari perjalanan kisah tokoh leluhur, apakah dalam naskah tersebut banyak terdapat kisah yang ganjil? Atau peristiwa peperangan yang tidak pernah selesai? Itu artinya naskah tersebut ditulis untuk menghilangkan jejak sejarah yang asli.

Sumber Sejarah Tertulis dan Penguasa

Sumber sejarah tertulis di Indonesia mengalami beberapa kali pergantian penguasa, dari mulai pra kolonial (hingga tahun 1600an ), era Mataram Baru (1600- 1755 M) kemudian era Kolonial (1755-1941 M). Setiap masa ini menghasilkan sumber sejarah bagi generasi setelahnya, baik itu berupa karya sejarah dan sastra atau naskah kuno berupa berita yang mengisahkan peristiwa yang terjadi pada masa naskah tersebut ditulis.

Naskah-naskah ini, baik yang asli ataupun salinan, ditulis oleh para ahli sastra dan sejarah yang cukup dikenal pada masanya. Naskah naskah ini yang kemudian dijadikan sebagai kitab rujukan sejarah untuk masa kini dan yang akan datang.

Pada era kolonial naskah naskah kuno dan Kitab kitab ini sebagian besar disalin, diterjemahkan dan ditafsirkan oleh sejarawan Eropa. Naskah-naskah ini sangat rentan dipalsukan, karena proses yang dilakukan bukan hanya dilakukan penyalinan berulang kali tapi juga para sejarawan Eropa saat itu memberi banyak penambahan dan pengurangan pada isi naskah hingga merubah kisah dan nama tokoh leluhur yang dikisahkan.

Naskah-naskah kuno dan artefak yang pada awalnya terjaga dan terawat dengan apik dalam perpustakaan-perpustakaan keraton (benteng kota), pada era kolonial banyak yang hilang karena diambil pihak kolonial sebagai rampasan perang atau rusak terbakar.

‘Nasib’ sumber Sejarah tertulis Nusantara

Ditangan pihak kolonial naskah naskah ini disalin, dengan isi yang dimodifikasi, dimaknai dan disesuaikan dengan kepentingan pemerintah kolonial pada saat itu, baik disengaja maupun tidak.

Naskah salinan inilah yang dikalangan ahli sejarah dikenal dengan nama Naskah Tinulad.

3 kitab salinan terkenal yang sudah disalin belasan bahkan puluhan kali oleh sejarawan Eropa dan tidak pernah ditemukan naskah aslinya hingga saat ini (2020)

Mengenai Naskah Tinulad, pada tanggal 16 September 1988, dalam rangka forum diskusi panel Naskah Sumber Sejarah, para ahli sejarah, diantaranya terdiri atas ahli filologi dan epigrafi terkemuka seperti prof. Boechari (1927-1991), ahli sejarah Sunda seperti Atja, Ayatrohaedi, dan lain sebagainya, menyatakan bahwa sebagian besar sumber sejarah yang kita miliki dan dijadikan sumber sebagai sejarah negeri ini adalah sumber sejarah Tinulad atau Salinan, yaitu naskah atau sumber sejarah tertulis yang disalin kembali dari sumber sejarah asli, atas permintaan penguasa pada zamannya.

Sumber sejarah Tinulad/salinan ini terbagi dalam 2 jenis:

1. Dalam bentuk naskah, sumber sejarah disalin ulang dalam bentuk teks yang ditulis di dalam buku atau sejenis kertas folio. Kasus penyalinan seperti ini banyak terjadi, terutama untuk transliterasi prasasti atau naskah-naskah lontar.

Dilihat dari fisik naskah, hiasan pada naskah ini jelas hiasan khas Eropa, yang menandakan naskah ini disalin oleh sejarawan Eropa

2. sumber sejarah Tinulad yang disalin dengan menyerupai bentuk aslinya, Naskah Tinulad seperti ini disebut Tinulad Otentik. contoh : salinan tulisan pada prasasti yang ditulis di atas batu, dibuat kembali persis seperti aslinya, diatas batu. Demikian pula hal nya dengan tulisan pada lempeng logam atau lontar, disalin kembali pada lempeng logam atau lontar. (*)

Contoh tinulad otentik yang terkenal adalah kitab Negarakrtagama, menurut keterangan dari Prof. DR. Drs. I Ketut Riana, S.U, kitab asli Negarakrtagama ini tidak pernah ditemukan, kemungkinan kitab ini hancur bersama runtuhnya kerajaan Majapahit.

Gambar. Kitab Negarakrtagama salinan dalam bentuk lontar dan kitab. Tradisi penyalinan naskah kuno dengan lontar masih terus dibudayakan hingga saat ini di Bali, tepatnya di Karang Asem dibawah asuhan I Dewa Gde Catra dan di Gedong Kirtya, Singaraja di bawah asuhan Prof. DR. DRS. I Ketut Riana, S.U (penterjemah kitab Negara Krtagama, yang terbit tahun 2009). Sumber gambar naskah lontar Negarakrtagama http://library.lontar.org/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkpklontar-ldl-img-135

Kitab asli Negarakrtagama yang tidak pernah ditemukan kemungkinan ditulis pada bilah lontar. Naskah diambil alih oleh pemerintah kolonial Tahun 1894, ketika terjadi penyerangan puri Cakranegara, Lombok. Sebelum puri habis terbakar, J.L.A Brandes mengambil semua naskah yang terdapat di puri Cakranegara, yang kemudian diketahui, bahwa naskah tersebut adalah naskah salinan yang dibuat pada abad ke- 17.

Naskah temuan inilah yang terus disalin berulang kali oleh pemerintah kolonial baik dalam bentuk naskah lontar atau kitab. Setidaknya naskah ini disalin dan dibuat duplikatnya dalam bentuk lontar lebih dari 15 kali, hingga bagi mata orang awam akan sulit membedakan antara naskah yang asli dengan yang palsu.

Jumlah Naskah Tinulad yang tersebar di Indonesia yang dibuat pada era kolonial, kisaran tahun 1870-1900-an sangat banyak dan sangat rentan untuk dipalsukan sejarahnya.

Kenapa harus dipalsukan?

Seperti yang disebutkan sebelumnya, tujuan pemalsuan sejarah tertulis diantaranya :

1. Melegalkan kekuasaan di wilayah yang diambil paksa atau dijajah, dengan cara meninggikan status yang menjajah menjadi terhormat dan merendahkan status penduduk asli wilayah tersebut.

2. Melanggengkan kekuasaan kolonial untuk menguasai kekayaan alam Indonesia.

Berikut contoh Naskah-naskah Tinulad yang cukup terkenal di Indonesia yang ke otentikan isi-nya hingga saat ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Naskah-naskah ini antara lain:

Kitab Negara Krtagama.

Kitab ini mengisahkan masa pemerintahan dan tata kota pada masa kerajaan Kediri, Singosari dan Majapahit (walaupun nama Majapahit tidak ada dalam kitab ini). Tertulis pada lontar dan kitab. Menggunakan dua macam bahasa dan tulisan; huruf dan bahasa Bali, huruf sanskerta dan bahasa Jawa kuno. Naskah ini diambil sebagai rampasan perang oleh pemerintah kolonial (bukan ditemukan seperti yang kita pelajari pada sejarah umum). Kitab lontar asli yang disalin pada abad ke -17 oleh para penyair dan sejarawan keraton ini diambil oleh pemerintah kolonial dari perpustakaan Keraton Lombok, setelah tentara KNIL milik pemerintah kolonial menang dan membunuh ratusan warga lombok dan membakar habis keraton lombok. Naskah ini kemudian dipelajari dan disalin oleh JLA Brandes. Naskah yang disalin oleh JLA Brandes ini kemudian disalin kembali oleh murid-muridnya hingga lebih dari 15 kali salinan dengan penafsiran yang berbeda beda, penyalinan ini termasuk naskah dalam bentuk lontarnya.

Babad Tanah Jawi

Kitab ini juga merupakan Naskah Tinulad yang telah belasan kali ditulis ulang dan diterjemahkan dalam berbagai versi.

Kitab Pararaton

Naskah Wangsakerta dan masih banyak lagi.

Gambar. Naskah salinan Wangsakerta, koleksi Sribaduga Museum

Naskah ini termasuk salah satu naskah kontroversi, dan para ahli sejarah hingga saat ini masih mendebatkan sah atau tidaknya informasi yang ada pada naskah ini untuk dijadikan sumber sejarah karena alasan-alasan berikut:

1. Bangunan aksara. sambungan huruf per huruf dalam Naskah Wangsakerta banyak terdapat kesalahan.
2. Ornamen pada naskah menunjukkan adanya unsur Eropa, bukan Jawa Asli. Dan hanya ada pada lembaran pertama, tidak ada pada lembaran berikutnya.

3. Naskah terlalu kasar untuk ukuran naskah sepenting ini.
4. Garis tebal tipis pada huruf hanya dapat dibuat dengan pena modern yang baru ada sekitar tahun 1800an. Alat tulis asli nusantara pada saat itu adalah kuas, canting, dan pena bulu. Alat tulis ini memiliki kualitas tulisan yang jauh beda dengan naskah ini, salah satunya adalah ketebalan tulisan merata.
5. Terlalu sesuai dengan sejarah teori kolonial.

Dalam bentuk prasasti antara lain:

Padrao, dikatakan sebagai prasasti perjanjian Sunda-Portugal, faktanya Padrao adalah prasasti berbentuk tugu setingi 165cm yang didirikan oleh para pelaut portugis sebagai tanda kedatangannya pada suatu wilayah, Padrao ini ada di berbagai wilayah yang disinggahi para pelaut portugis.

Padrao dalam sejarah umum dikatakan sebagai perjanjian kerajaan Sunda dengan Portugis untuk melawan Kesultanan Demak, faktanya Padrao adalah semacam tugu peringatan yang dididirikan di setiap wilayah yang pernah disinggahi pelaut portugis pada masa “Pencarian Dunia Baru”.

Sunda Kelapa adalah nama salah satu pelabuhan Internasional pada saat itu yang pernah disinggahi oleh para pelaut portugis ini, dan didalam prasasti ini pun tidak disebut sebut nama kerajaan Sunda, hanya nama kapten dan simbol kerajaan Portugal.

Memang benar bahwa perjanjian itu ada, namun, hanya perjanjian jual beli dan sewa tanah antara adipati pelabuhan Sunda Kelapa dengan Portugis penguasa Malaka, dan ini adalah hal yang umum terjadi, karena pada masa itu, sekitar abad pertengahan sebelum dan sesudahnya hingga akhir abad ke-19, proses perdagangan membutuhkan waktu yang lama bagi para awak kapal untuk menetap di kota-kota pelabuhan untuk menjual barang dagangannya dan membeli barang yang baru. Karena proses yang lama inilah, para pedagang menyewa tanah dan membangun tempat tinggal sementara selama di wilayah tersebut.

Padrao adalah batu berbentuk tugu setinggi 165 cm, yang berfungsi sebagai penanda bahwa para pelaut Portugal pernah singgah pada lokasi tempat didirikannya prasasti tersebut, prasasti ini tidak ada kaitannya dengan sejarah Jakarta ataupun kerajaan Sunda, fungsi prasasti yang ditemukan di pelabuhan Sunda Kelapa ini hanya sebagai penanda kedatangan Portugis di pelabuhan Sunda Kalapa pada tahun 1522.

Prasasti Batu Tulis Bogor, pada foto lama yang kami ambil dari wikipedia, pada bagian atas batu tulis ini masih terlihat kalimat ‘Bismillahirrahmanirahim‘ dan bekas tulisan lama yang dihapus kemudian ditindih dengan huruf baru. Setelah mengunjungi situsnya langsung, besar kemungkinan situs ini awalnya adalah makam, karena masih ada beberapa makam yang tersisa. Dan yang dikatakan sebagai prasasti batu tulis adalah nisan penanda makam leluhur yang memiliki peran yang sangat penting di wilayah jawa barat.

Prasasti Batu Tulis, Bogor, foto ini adalah foto lama yang diambil di lokasi situs antara tahun 1950-1960, masih terlihat samar ukiran kalimat “Bismillahirrahmanirahim” dan langsiran warna putih dibawah tulisan dan bahasa Sunda Kuno yang digunakan untuk menutup jejak asli tulisan pada batu ini, yang menurut pengamatan kami setelah berkunjung langsung ke situsnya di Bogor adalah batu bertulis yang digunakan sebagai penanda makam atau nisan.

Setelah mengetahui keberadaan naskah dan sumber sejarah Tinulad ini, yang sebagian besar dibuat pada era kolonial, semakin jelaslah bahwa ada usaha yang luar biasa dari pihak kolonial untuk menguasai wilayah Nusantara dan menjajah perekonomian negeri ini untuk waktu yang tak terhingga.

Ada satu hal yang menurut saya sangat disayangkan mengenai naskah dan sumber sejarah Tinulad ini, kenapa para ahli sejarah tidak pernah mensosialisasikan masalah ini? Karena saya pribadi saja sebagai pecinta sejarah, baru mengetahui tentang naskah Tinulad ini setelah melakukan penelitan serius tentang sejarah Islam di nusantara dan mempelajari banyak penelitian dari para peneliti dalam dan luar negeri tentang sumber sejarah yang ada.

Menyikapi banyaknya sumber sejarah yang dipalsukan, diantara para peneliti asing tentang Sejarah Indonesia, mengambil dua sikap, ada yang mengkritisi sumber sejarah, dan mempertanyakan keakuratan data dari sumber sejarah tersebut, ada juga yang menuliskan apa adanya yang mereka temukan dalam sumber sejarah tersebut walaupun mereka tau, sumber sejarah yang mereka ambil bukan sejarah asli, seperti biografi Diponegoro yang ditulis oleh Peter Carey.

Namun sayangnya sikap peneliti sejarah dari negeri sendiri justru kadang membuat sejarah seolah ‘harga mati’ dan tidak ada alternatif, hanya karena sikap fanatik berlebihan kepada pengusung teori pertama yang tidak lain adalah sejarawan era kolonial.

Teori adalah hasil hipotesa dari serangkaian bukti-bukti yang diambil dari sumber sejarah yang ada. Pertanyaannya, bila sumber sejarahnya dipalsukan, otomatis hipotesa dan teori yang ada pun akan gugur. Teori adalah pendapat yang sangat bisa dikritisi, tentunya setelah dipelajari latar belakang teori tersebut.

Mempelajari latar belakang lahirnya sebuah teori tentunya akan sangat sulit bagi masyarakat awam pecinta sejarah dan para pelajar serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang panjang. Itu sebabnya, akan sulit bagi masyarakat umum untuk menelusuri sumber-sumber sejarah tadi. Karena faktor inilah, seharusnya sudah menjadi tugas para peneliti dan para ahli sejarah untuk menyampaikan informasi latar belakang sejarah dalam wacana-wacana umum kemasyarakat dengan cara yang menarik agar masyarakat umum tidak buta dengan sejarah bangsanya sendiri.

Bagaimana seharusnya sikap peneliti terhadap naskah-naskah Tinulad?

Walaupun sumber sejarah yang kita miliki pada umumnya adalah naskah Tinulad, bukan berarti naskah tersebut tidak lagi dapat digunakan, hanya saja dalam menggunakan sumber-sumber sejarah tersebut memerlukan penelitian dan perbandingan dengan sumber sejarah tertulis yang lain dari berbagai negara sebagai bahan pembanding dengan naskah-naskah Tinulad yang ada.

Seorang peneliti harusnya bersikap netral dan seimbang, dan harus membuang jauh ‘kukungan’ teori lama, jadi ketika menemukan bukti sejarah baru, banyak alternatif sejarah yang bisa diambil. Contohnya, menurut teori era kolonial kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan Budha, namun ketika melakukan penelitian, ditemukan bukti-bukti bahwa Sriwijaya adalah ternyata kerajaan Islam. Bukti-bukti yang dapat menguatkan argumen ini harus dinyatakan secara jelas mengikuti standar penelitian ilmiah.

Namun, fakta yang selama ini terjadi adalah bukti apapun yang ditemukan sifatnya hanya mengekor teori lama, bukan memasukkan alternatif baru dalam sejarah Sriwijaya, walaupun bukti-bukti pendukung bahwa kerajaan ini adalah kerajaan Budha baik tertulis atau tidak, sangat sedikit.

Sumber-sumber sejarah dari luar negeri juga sangat diperlukan karena banyak peristiwa sejarah saling terkait antara peristiwa yang satu dengan lainnya.

Sedangkan untuk sumber sejarah tertulis berupa naskah naskah kuno, dapat dipelajari dengan cara membandingkan dan mempelajari hasil penelitian para ahli sejarah dari dalam dan luar negeri.

Untuk meneliti sendiri, tentunya akan sulit dan membutuhkan waktu yang lama karena penelitian sejarah melibatkan berbagai disiplin ilmu, ditambah lagi sumber sejarah yang kita miliki banyak tersebar di Eropa dan Amerika, dan hanya mengizinkan orang orang tertentu untuk memasuki perpustakaan perpustakaan ini. Karenanya, mempelajari dan membandingkan sumber sejarah dari para peneliti lain akan mempermudah penelusuran sejarah.

Salah satu diantara para peneliti yang dapat kita pelajari hasil penelitiannya tentang naskah kuno yang kita miliki di Belanda adalah seorang ahli sejarah dan peneliti naskah Islam kuno dari timur jauh, bernama Dr. Jan Just Witkam, profesor Codecology dan Paleografi Dunia Islam dari Universitas Leiden, Belanda, yang telah menyusun daftar koleksi ribuan naskah Islam kuno yang dimiliki perpustakaan Leiden.

Daftar naskah kuno koleksi Leiden yang telah dikumpulkan oleh prof. Witkam ini telah mencapai ribuan naskah dengan keterangan singkat yang telah tersusun hingga 21 jilid dan masih berjalan hingga saat ini.

Pada jilid pertama bukunya, ia mengatakan bahwa ribuan koleksi naskah kuno Indonesia yang kini ada di perpustakaan Universitas Leiden Belanda diperoleh dari hasil rampasan perang atau dibeli dari perorangan yang menjualnya kepada Universitas Leiden secara berangsur angsur selama berabad abad dari mulai era kolonial hingga tahun 1960-an oleh para misionaris atau pihak pribumi yang prokolonial.

Selain sumber sejarah berupa naskah, budaya dan penduduk juga mempunyai peranan penting dalam penelusuran sejarah. Sumber silsilah atau nasab yang masih dimiliki dari tiap-tiap keluarga di Indonesia sangat membantu sebagai bahan perbandingan penelusuran leluhur nusantara dengan silsilah yang terdapat pada naskah-naskah Tinulad.

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Catatan kaki & Sumber

(*) sumber:

1. Boechari,hal. 545-547, melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti, Kpg Gramedia, Jakarta, 2012)

2. Riana, I Ketut, S.U, Prof, DR, drs, Kakawin desa warnana uthawi Nagarakrtagama

Bangunan Berkubah, Bangunan Universal atau milik Islam?

Ketika kita membicarakan tentang Masjid yang pertama muncul di dalam kepala kita adalah bangunan berkubah dengan menara-menaranya, seperti bangunan yang ada di jazirah Arab sekarang. Sama halnya ketika kita membicarakan tentang Islam, selalu dihubungkan dengan jazirah Arab. Faktanya bangunan berkubah, bentuk relung (arch), bangunan dengan bentuk dasar melingkar adalah bangunan yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Bangunan berkubah telah dimulai dari peradaban Mesopotamia kemudian menyebar perlahan ke wilayah Eropa, Asia Barat (Timur tengah), Asia Selatan (anak benua India dan sekitarnya), Asia tengah hingga ke sebagian Cina. (1)

Bentuk kubah seperti yang kita kenal saat ini adalah bangunan tradisi yang berkembang pesat pada masa kekaisaran Romawi dari tahun 753 BC sampai 476 AD. Kubah yang menjadi tradisi bangunan di wilayah kekuasaan Romawi ini kemudian tersebar ke berbagai wilayah kekuasaanya, sekaligus menjadi pembeda bangunan tradisional periode Romawi dengan bangunan pada masa Yunani kuno. (2)

Melalui perluasan wilayah, pasang surut kekuasaan, perang, perdagangan, dan sebagainya, bangunan kubah tersebar ke berbagai wilayah kekuasaan Romawi yang terbentang dari mulai pantai Afrika utara, Mesir, Eropa Selatan, sebagian besar Eropa Barat, wilayah Balkan (Yunani, Bulgaria, Romania, Serbia, Bosnia, dsb.), Timur Tengah, Anatolia (Turki, Asia Barat) Levant, sebagian Mesopotamia (Iraq, Syiria, sebagian Iran, sebagian Turki) dan sebagian Jazirah Arab. (3)

Tahun 395 M, Kekaisaran Romawi terbagi menjadi 2, kekaisaran Romawi Barat yang beribukota di Milan, Italia dan kekaisaran Romawi Timur yang beribukota di Constantinopel (sekarang Istambul, Turki). Setelah Romawi barat runtuh, tahun 476 M, wilayahnya yang berada di sepanjang Eropa Barat saat ini terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kekaisaran Romawi dilanjutkan oleh Kekaisaran Romawi Timur yang terletak di wilayah Eropa Timur sekarang dengan ibukotanya Constantinopel. Tahun 1453 Romawi Timur Runtuh dengan diambil alihnya ibukota Constatinopel oleh Ottoman (kesultanan Turki Utsmani). Constantinopel kemudian diubah namanya menjadi Istambul. (4)

Hagiasophia, contoh bangunan berkubah tertua yang hingga kini masih ada. Bangunan berkubah ini berkali kali mengalami pergantian fungsi. Dibangun pada tahun 532 M sebagai Catedral Kristen Byzantium (537 M-1054 M) kemudian dialihfungsikan menjadi gereja Ortodoks Yunani, gereja Katolik Roma, dialihfungsikan kembali menjadi gereja Ortodoks Yunani hingga 1453 diambil alih oleh Ottomaan dan dijadikan Masjid hingga 1931, ketika Ottoman runtuh bangunan ini dijadikan museum hingga saat ini. Sumber gambar : https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Hagia_Sophia_Mars_2013.jpg
bagian dalam kubah Hagiasophia, dengan bangunan khas relung yang dihiasi kaligrafi pada era Ottoman ketika berfungsi sebagai Masjid. Sumber gambar : Photographic firm Sébah & Joaillier, started by Jean-Pascal Sébah (1872-1947) Policarpe Joaillier (also spelt “Polycarpe” in some sources, 1848 – 1904)

Pada masa puncak kekuasaan Romawi hingga pasang surut kekuasaanya, pengaruh kebudayaan Romawi tersebar di berbagai wilayah kekuasaanya. Bentuk bangunan berkubah adalah salah satunya. Kubah pada bangunan, yang merupakan ciri khas Romawi tersebar di berbagai negeri yang dikuasainya, namun bentuk bangunan berkubah tidak berkembang di Arab karena mayoritas penduduknya pada masa itu adalah nomaden, dan kondisi lingkungan padang pasir yang kering dan cuaca yang ekstrem, bentuk rumah dengan bangunan persegi adalah bentuk bangunan yang sesuai dengan iklim jazirah Arab.

bentuk bangunan persegi denga atap datar adalah ciri khas bangunan tradisional Arab. Bentuk bangunan adalah hasil budaya yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebiasaan masyarakat setempat. Masjid pada masa Rasul saw mengikuti tradisi masyarakat setempat, di arab berbentuk persegi. Ketika Islam mulai tersebar ke berbagai negeri, bentuk bangunan Masjid pun disesuaikan dengan budaya bangunan masyarakat setempat. Sumber gambar : https://www.dailymail.co.uk/travel/travel_news/article-6776769/Swooping-Saudi-Stunning-drone-photos-reveal-remote-Arabic-villages-ancient-structures.html
rumah modern di Arab yang mengikuti model bangunan tradisi Arab. Sumber gambar : https://www.arabnews.pk/node/1233301/saudi-arabia

Berbeda dengan di arab, bentuk bangunan berkubah berkembang pesat di wilayah Eropa Barat dan Timur, karena kondisi lingkungan yang mendukung, karenanya bangunan berkubah banyak ditemui di daerah Spanyol, Eropa Barat dan Timur sejak abad ke 1 M. (5) Bentuk bangunan berkubah kemudian menyebar ke sebagian Asia Tengah (Kazakstan, sebagian Iran, Uzbekistan, Rusia, sebagian kecil Cina) dan sebagian kecil India.

Kubah tidak identik dengan masjid, justru gereja-gereja kuno di wilayah Asia tengah, Eropa dan Rusia umumnya memiliki bangunan berkubah, yang merupakan pengaruh percampuran budaya lokal dengan budaya warisan Romawi. Bangunan berbentuk kubah adalah hasil kebudayaan suatu bangsa, jadi sangat tidak tepat bila bangunan berkubah ini dikaitkan dengan dengan agama tertentu. Dalam hal tempat ibadah, agama akan beradaptasi dengan budaya setempat. Demikian hal nya dengan ajaran Islam, Rasul saw mengajarkan ajaran Islam dengan budaya dan bahasa setempat dengan tujuan agar ajaran Islam mudah dikenal dimanapun ajaran Islam disebarkan.

Gbr 1. Kubah pada gereja st.Emmanuel, Jakarta, dengan bangunan berkubah bergaya Eropa, dibangun 1835, selesai 1839. Sumber gambar : Merrillees, Scott, Batavia in Nineteenth Century Photograph, 2nd Edition, Hal. 177

Kubah pertama kali ditambahkan pada banguan Masjid pada tahun 691 Masehi, pada bangunan Masjidil Aqsa (6). Kemudian disebarluaskan keseluruh wilayah Arab dan Asia Tengah.

Pada masa kekuasaan Turki Usmani (1299-1923), Osman Ghazi, pendiri Kekhalifahan Turki Usmani, memperluas penyebaran bangunan berkubah pada bangunan masjid ke negara-negara jajahannya sekaligus memperkenalkan simbol bulan bintang pada bangunan masjid. Osman Ghazi pada tahun 1299, dari namanya ini di mulailah dinasti Turki Utsmani.

Kekhalifahan ini berawal dari satu wilayah kecil di Sogut- Anatolia yang merupakan salah satu wilayah milik kesultanan Seljuq Roma. Wilayah ini dipimpin oleh ayah Osman Ghazi; Ertugrul Ghazi.

Tahun 1281, Setelah ayahnya wafat, ia menggantikan posisi ayahnya, Ertugrul, menjadi panglima utama Kesultanan Seljuk Rum, sekaligus kepala wilayah Sogut, Anatolia. Pada masa kekuasaannya ia berhasil menguasai Bursa, yang merupakan wilayah kerajaan Byzantium, Romawi.
Pada masa ini kekuasaan Mongol dan Romawi telah melemah, karena perang perebutan wilayah yang terus menerus, para pejuang Mongol banyak yang bergabung dalam pasukan Osman I. Tambahan pasukan Mongol ini memperkuat Pasukan Osman I dalam ekspansinya menguasai berbagai wilayah di Eropa, yang merupakan pecahan-pecahan dari kerajaan Romawi.

Tahun 1299, Osman Ghazi (7), melepaskan jabatannya sebagai kepala wilayah Sogut dari kesultanan Seljuk dan memerdekakan wilayah ini dari kesultanan Seljuk. Ia mengangkat dirinya sebagai sultan dan memakai gelar Sultan Rum, karena ambisinya untuk menaklukkan semua kekuasaan Romawi, dan menaklukkan semua kerajaan Islam di bawah kekuasaannya.

Nama Turki Utsmani yang artinya Turki milik Utsman diambil dari nama Osman Ghazi sebagai pendiri wilayah kerajaan di Sogut dan sekitarnya yang ia kudeta dari Dinasti Seljuq. Selama hampir 700 tahun masa kekuasaannya, turki Usmani banyak memperkenalkan budaya Turki dan Asia Tengah kepada negara-negara yang telah ia taklukkan. Lamanya kekuasaan Turki di wilayah Timur Tengah dan sebagian kecil Eropa menyebabkan timbulnya asumsi masyarakat Eropa bahwa segala sesuatu yang merupakan peninggalan dinasti Turki Usmani dikatakan peninggalan Islam. Hal ini tentu saja tidak tepat karena Islam tidak mengajarkan simbol atau arsitektur khusus.

Salah satu peninggalan dari Turki Usmani yang sangat dekat dengan umat muslim adalah simbol bulan bintang dan kubah. Begitu kuatnya pengaruh Turki Utsmani dalam kebudayaan Nusantara, dan Asia Tenggara, hingga bila kita mengatakan masjid yang pertamakali muncul di kepala kita adalah bentuk kubahnya atau simbol bulan bintang-nya, padahal faktanya simbol bulan bintang dan bentuk kubah pada Masjid adalah lambang kekuasaan yang berarti bahwa satu wilayah telah berhasil atau pernah dikuasai oleh Turki.

Pada masa awal penyebaran Islam, ketika utusan-utusan rasulullah saw diutus ke negeri-negeri yang jauh pada tahun ke-7 H, Masjid tidak identik dengan simbol apapun, banguan masjid dilihat dari fungsinya bukan bentuk. Dimanapun Islam masuk, Islam akan membaur dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat, tujuannya agar ajaran tauhid ini mudah dipelajari dan dimengerti. Bangunan masjid pun disesuaikan dengan tradisi setempat, agar masyarakat setempat merasa nyaman dan tidak asing dalam mempelajari Islam. Tradisi dan budaya seperti bangunan, karya seni dan sastra memiliki perang penting dalam penyebaran Islam secara damai keseluruh dunia dalam waktu yang relatif singkat.

The Great Mosque of Xi an, salah satu masjid tertua didunia yang masih terawat apik. Masjid dengan bangunan tradisional China ini dibangun pada tahun 705 M, pada masa Dynasty Tang yang mengalami perluasan pada dinasti-dinasti setelahnya.sumber : https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/22/1_great_mosque_xian_2011.JPG

Budaya setempat memiliki kaitan yang erat dengan penyebaran agama, dan bangunan berkubah adalah salah satu hasil dari budaya tersebut, dan tidak semua bangsa memiliki bangunan berkubah. Setiap bangsa memiliki ciri khas bangunan tersendiri.

Bangunan berkubah, dapat berfungsi sebagai bangunan apapun, karena bangunan berkubah merupakan tradisi suatu bangsa. Bisa dilihat seperti pada contoh di atas, tidak semua yang berkubah itu masjid, atau menunjukkan ciri khas agama tertentu, seperti yang selama ini dipakai sebagai salah satu dasar penentu agama atau kepercayaan.

Berikut adalah contoh bangunan – bangunan berkubah, dari mulai Gereja atau Catedral kuno, kuil Hindu, Kuil Budha, Synagog (tempat ibadah Yahudi) hingga Masjid. Semua bangunan ini berkubah, karena bangunan berkubah  memang tradisi setempat dimana rumah-rumah ibadah ini berdiri. Bangunan berkubah ini umumnya bangunan tua yang dibangun dari sebelum abad ke-10 sampai abad ke-15.

Kubah pada gereja Holy Sepulchure-yerusalem-palestina, yang dibangun sekitar abad ke 4 Masehi, telah menggunakan kubah sebagai bagian dari bangunan gereja. Sumber gambar; bestourism.com
catthedral of Annuciation dibangun pada tahun 1489 di Kremlin Rusia http://en.wikipedia.org/wiki/File:The_Annunciation_Cathedral,Kremlin,_Moscow%284030612191%29.jpg
Kubah pada gereja Ortodox tua yang telah direnovasi tahun 1938 di Moscow-Rusia
http://hipberlin.blogspot.com/2011/02/russian-orthodox-church.html

Selain sebagai gereja, bangunan berkubah juga digunakan dalam berbagai kuil Hindu dan Budha di India dan Pakistan, seperti terlihat pada gambar berikut.

Bangunan Stupa di Sanchi, Madhya Pradesh, India, salah satu kuil Budha berbentuk kubah dengan fondasi bangunan melingkar. Pengaruh budaya bangunan Roma jelas terlihat pada bangunan Stupa ini. Sumber gambar : https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:003_Front_View_(33709016166).jpg#
Vihara Chetiyagiri, bangunan berkubah pada komplek stupa Budha Sanchi, Madhya Pradesh, India. Bangunan ini dibuat tahun 1950 untuk menyimpan relic (sisa abu jenazah) yang di yakini sebagai relic dari 2 murid Budha, Sumber gambar :https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Chetiyagiri_Vihar_02.jpg
Kuil Agama Hindu, Dakhineswar, Bengal Barat, bangunan berkubah sebagai tempat ibadah agama Hindu ini selesai dibangun tahun 1855. Sumber gambar : https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Dakhineshwar_Temple_beside_the_Hoogly,_West_Bengal.JPG#mw-jump-to-license
Masjid berkubah dengan warna biru mendominasi di kota Samarqand ini adalah ciri khas bangunan Masjid di Uzbekistan dan Persia. Masjid ini dibangun tahun 1330 M. Sumber gambar https://mvslim.com/one-of-the-most-beautiful-mosques-is-located-in-uzbekistans-blue-city-samarkand/
Great Synagogue of Florence, Italia. Didirikan tahun 1880, bentuk bangunan disesuaikan dengan bangunan tradisi masyarakat setempat, yaitu bangunan berkubah yang memang menjadi ciri khas bangunan di Roma, Italia. Sumber gambar : https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Synagogue_Florence_Italy.JPG#

Bagaimana dengan Indonesia?

Sama seperti bangsa lain bangsa kita pun memiliki ciri khas bangunan sendiri, yang unik dan indah. Sayangnya bangunan Masjid dengan tradisi Nusantara ini sekarang sudah sulit ditemui karena miskinnya pemahaman sejarah bangunan Masjid dan ada upaya yang jelas dari era kolonial untuk menghilangkan jejak asli budaya Nusantara dengan mengaitkan budaya bangunan yang ada di Nusantara dengan agama tertentu. Padahal seperti yang telah disebutkan di atas antara agama dengan bentuk bangunan tidak saling terkait. Dalam membuat tempat ibadah
agama mengikuti budaya setempat, bukan sebaliknya budaya yang mengikuti agama, seperti pemahaman terbalik yang ada di Indonesia hingga saat ini. Contoh pemahaman terbalik yang kita temui di buku sejarah umum yang notabene adalah buatan era kolonial adalah adanya sebutan bangunan bercorak Hindu/Budha/Islam. Kalimat yang benar seharusnya adalah bangunan/tempat ibadah agama Hindu/Budha/Islam dengan tradisi atau ciri khas atau bercorak bangunan tradisional Indonesia.

Pintu masuk atau gerbang menju kompleks Masjid dan Makam di KotaGede, Yogyakarta. Bangunan tradisi nusantara yang mulai terlupakan karena adanya stigma banhwa bangunan tradisi nusantara ini dikatakan sebagai bangunan bercorak Hindu Budha. Fakta yang benar seharusnya tempat ibadah mengikuti tradisi setempat bukan sebaliknya. https://www.beautifulmosque.com/Kotagede-Mosque-in-Yogyakarta-Indonesia
Masjid menara Kudus, kota Kudus, Jawa Tengah. Keseluruhan bangunan Masjid ini dibangun dengan ciri khas bangunan Nusantara. Dari mulai Gapura, Menara, bentuk bagian Masjid, bentuk makam dan sebagainya. Pada awal abad ke -20, bagian Masjid yang indah ini di pugar, di danai sepenuhnya oleh pemerintah Belanda dan di beri Kubah pada bagian atap Masjid yang awalnya tidak ada. Sumber gambar : COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_minaret_bij_de_moskee_van_Koedoes_TMnr_10016671
Masjid Menara Qudus saat ini, setelah mengalami pemugaran besar pada awal abad ke 20
Sumber gambar : https://commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Masjid_Menara_Kudus.jpg

Islam adalah ajaran agama yang memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah hanya kepada Allah SWT. Sama seperti dalam agama lain yang datang dengan damai.

Budaya dan tradisi masyarakat setempat adalah alat bagi agama untuk menyebarkan ajarannya. Pemaksaan bangunan mengikuti tempat asal tradisi bangunan tersebut berada, seperti bangunan kubah di Indonesia pada awal abad ke-20, menandakan tidak adanya asimilasi budaya atau percampuran budaya antara budaya lokal dengan pendatang seperti yang gambarnya kita lihat diatas pada Masjid di Samarqand dan tempat ibadah lain yang terjadi dengan periode yang sangat panjang.

Tidak adanya asimilasi budaya artinya terjadi pergantian pemerintahan dengan cepat yang mendatangkan budaya asing untuk menggantikan budaya lokal seperti yang terjadi pada bangunan Masjid di Indonesia. Kubah pada bangunan masjid di Indonesia baru mulai dibangun pada awal abad ke 20, setelah periode politik etis, dimana pada periode ini sistem pendidikan Belanda telah menggantikan sistem pendidikan Nusantara, seperti pesantren. Dengan bergantinya sistem pendidikan, pola pikir masyarakat Indonesia pun berubah mengikuti pola pikir barat, terutama pemahaman mereka tentang ajaran Islam.

Masjid dengan tradisi bangunan Indonesia memiliki bangunan menyerupai tempat ibadah agama sebelumnya, yaitu agama Dharma atau Sunda wiwitan, yang dalam teori era kolonial disebut sebagai agama Hindu Budha atau agama Hindu Syiwa. Ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia, bangunan tradisi ini hanya mengalami sedikit penyesuaian sesuai syariat Islam yang berlaku, seperti penambahan tempat wudhu, tempat hadas (mandi), lokasi pemakaman dan sebagainya sebagai syarat bangunan Masjid, bukan dilihat dari bentuknya tapi fungsinya.

Pada akhir abad ke-20, mulai muncul bangunan Masjid berkubah di Indonesia seiring melemahnya kerajaan Turki Utsmani dan hijrahnya para pembesar kerajaan Turki Utsmani ke Nusantara. (8)

Berjalannya waktu, ditambah sistem pendidikan era kolonial yang berusaha menghilangkan tradisi di Nusantara terutama yang terkait dengan Islam menyebabkan pemahaman bentuk bangunan tradisi nusantara bergeser, tradisi nusantara menjadi tradisi bercorak Hindu-Budha.

Masjid-masjid yang masih bertahan menggunakan corak bangunan lama dikatakan bercorak Hindu Budha, stigma ini kemudian melekat begitu kuat hingga Masjid yang di bangun pada masa ini (awal abad ke-20) harus menggunakan kubah yang merupakan bangunan tradisi Turki, Asia Barat, Tengah dan negara-negara Eropa lain.

Ditulis oleh SofiaAbdullah

Catatan dan sumber-sumber

1. Hill, Donald Routledge (1996). A history of engineering in classical and medieval times(Illustrated ed.).p.69 New York, NY: Routledge. ISBN 

2. Fleming, John; Honour, Hugh; Pevsner, Nikolaus, eds. (1991). Dictionary of Architecture (4th ed.). London, England: Penguin Books. ISBN 978-0-14-051241-0.

3. Lehmann, Karl (1945), “The Dome of Heaven”, in Kleinbauer, W. Eugène (ed.), Modern Perspectives in Western Art History: An Anthology of Twentieth-Century Writings on the Visual Arts (Medieval Academy Reprints for Teaching)25, University of Toronto Press (published 1989), pp. 227–270, ISBN 

4.”ancient Rome” | Facts, Maps, & History”. Encyclopædia Britannica. Retrieved 5 September 2017.

5. Lancaster, Lynne C. (2005). p.49 Concrete Vaulted Construction in Imperial Rome: Innovations in Context(illustrated ed.). Hong Kong: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-84202-0.

6.https://sofiaabdullah.wordpress.com/2020/03/21/masjid-al-aqsa-masjid-berkubah-pertama-dalam-sejarah-islam/#more-688

7. Dikenal pula dengan nama Osman I ( 1258-1324 ). Osman I lahir dan wafat di Sogut, Anatolia. Osman I atau Osman Khan atau Osman Ghazi adalah putra dari Ertugrul Ghazi bin Kaya Alp Oğlu Süleyman Şah bin Kutalmis. Ghazi, pada nama-nama sultan pada era Kekhalifahan Turki Usmani adalah gelar kehormatan, yang kurang lebih artinya “sang penakluk” atau “Ksatria yang telah menaklukkan”. Gelar Ghazi ini pertama kali di sematkan oleh Sultan Seljuk dari Rum kepada ayah dari Osman I, Ertugrul, karena di bawah pimpinannya, ia telah berhasil merebut wilayah Ghaza, Kata Ghazi sendiri adalah sebutan untuk orang yang telah berhasil merebut wilayah Gaza, Gaza berasal dari kata Ghawzah yang berarti wilayah yang diperebutkan.)

8. Diawali dengan berdirinya Mataram Baru (Mataram Islam) yang mengkudeta sistem pemerintahan lama (sistem Dewan Wali), menjadikan Jawa sebagai salah satu propinsi Turki Utsmani, dan memilih pemimpin yang taat dengan kekhalifahan Turki Utsmani, Jawa dan Sumatera yang paling awal terkena dampaknya. Kedatangan para pembesar kerajaan Turki Utsmani ini bisa dilihat dari kompleks pemakaman Turki yang tersebar di Jawa dan Sumatera.

Fakta Dan Fiksi Sejarah Masjid

Masjid sebagai sumber sejarah Islam di Indonesia

Masjid adalah identitas Islam yang tidak mungkin bisa dipungkiri. Semakin tua masjid yang ada di kota atau wilayah tertentu, menandakan semakin awal agama Islam masuk ke wilayah tersebut.

Demikian pula dengan situs pemakaman muslim kuno, yang umumnya terdapat dalam satu kompleks dengan area Masjid. Pada setiap makam, terdapat nisan. Nisan adalah peninggalan budaya tertulis sebagai penanda lokasi makam dan informasi ringkas dari tokoh yang dimakamkan di wilayah tersebut. Nisan adalah salah satu bukti tertulis yang jelas tentang sejarah kedatangan Islam di Nusantara. Oleh sebab itu, masjid, makam, dan nisan merupakan tiga sumber sejarah penting kedatangan Islam di Nusantara, maupun di seluruh dunia.

Atap tumpang atau atap bersusun pada Masjid Demak. Sumber foto: koleksi pribadi.
Masjid dan makam Sunan Sendang Dhuwur, Lamongan, Jawa Timur. Salah satu ciri Masjid dan makam kuno adalah kedua bangunan ini berada dalam satu kompleks. Selain Masjid dan makam yang berada dalam satu kompleks, dalam area kompleks masjid kuno juga terdiri atas lembaga pendidikan dan tempat tinggal bagi para pengurus masjid.

Masjid dan makam kuno ini adalah salah satu bukti terpenting kami dalam penelusuran sejarah Islam di Indonesia.

Namun, apa yang terjadi bila bangunan yang seharusnya adalah Masjid dan makam kuno sebagai penanda kedatangan Islam di Indonesia ini dirusak, dihancurkan atau di ubah fungsinya sebagai bangunan lain baik disengaja atau tidak? tentunya perusakan situs ini dapat dipastikan akan merubah jalannya peristiwa sejarah yang terkait dengan Islam.

Sejarah Islam di Indonesia menjadi abu-abu, bahkan gelap, karena dipenuhi dengan ketidak jelasan, ditambah lagi banyaknya sumber-sumber tentang Islam yang hanya diambil dari naskah-naskah Babad atau Wawacan yang sudah disalin berulang kali untuk kepentingan pendidikan atau politik.

Pengetahuan tentang sejarah Islam di Indonesia yang kita ketahui saat ini hampir semuanya adalah tulisan sejarawan era kolonial, yang sering kali bertentangan dengan fakta sejarah yang kami temukan di lapangan. Diantaranya berupa tradisi, keyakinan leluhur Nusantara, dan silsilah tokoh yang kami temukan. Adanya fakta fakta yang berbeda antara teori sejarah Islam dan fakta dilapangan sangat bisa dipahami, karena sejarawan era kolonial saat itu memiliki pengetahuan terbatas tentang ajaran Islam. Selain itu, adanya kepentingan politik kolonial, yang pada saat itu menjadikan Islam sebagai musuh terbesar mereka. Akibatnya, sejarah Islam di Indonesia pun semakin gelap.

Tentunya sangat ironis bahwa negara dengan penduduk mayoritas Islam tapi sejarah Islamnya hingga kini masih menjadi perdebatan dikalangan sejarawan.

Perdebatan yang berkepanjangan ini timbul karena kurangnya mengambil sumber-sumber dari sejarah Islam itu sendiri. Pada umumnya, sejarawan era kolonial dan murid-muridnya hanya mengambil sumber-sumber dari situs arkeologi dan sumber tertulis berupa catatan perjalanan, naskah kuno, dan prasasti yang terkait dengan Indonesia, tidak melihat dari pokok ajaran Islam dan sejarah Islam yang terjadi sejak zaman Rasul saw yang pastinya berpengaruh pada sejarah Islam di Indonesia.

Metode Penelusuran sejarah yang Kami gunakan

Metode penelusuran yang kami gunakan untuk menemukan sejarah masuknya Islam di Nusantara, diantaranya :

1. Melakukan riset sejarah Islam dari berbagai sumber sejarah mazhab untuk mengetahui bagaimana cara rasul menyebarkan syi’ar Islam dari berbagai sudut pandang mazhab.

2. Menelusuri proses awal masuknya Islam hingga warisan Islam bisa tersebar merata hampir diseluruh dunia dalam waktu yang relatif singkat.

3. Melakukan riset dari berbagai sumber mengenai tokoh-tokoh penerus yang menyebarkan syi’ar Islam setelah rasul wafat dan peristiwa apa yang terjadi dalam sejarah Islam yang terkait dengan penyebaran Islam di Indonesia.

4. Melakukan penelitian mengenai leluhur nusantara dan keyakinannya. Faktor leluhur nusantara dan keyakinannya memiliki peran besar dalam mempercepat perkembangan Islam di Nusantara karena dari berbagai situs arkeologi, temuan-temuan naskah kuno dan dari sumber-sumber lainnya yang kami temukan di berbagai belahan dunia dapat dipastikan Islam telah masuk ke Nusantara sejak zaman Nabi Muhammad SAW atau sejak masa awal perkembangan Islam di Mekkah (610 M–622 M) dan Madinah (622 M-632M).

5. Menelusuri sejarah bangunan masjid kuno untuk mengetahui perkiraan masjid tersebut dibangun berdasarkan sejarah bentuk bangunan. Masjid dan makam kuno di Indonesia adalah kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan. Tiap-tiap bangunan ini memiliki fungsinya masing-masing. Bangunan yang berada pada masjid dan makam kuno ini kami bandingkan dengan bangunan sejenis di lokasi yang berbeda namun masih digunakan hingga saat ini. Dengan Perbandingan ini kami dapat memperkirakan usia dan fungsi bangunan yang berada di sekitar lokasi masjid kuno. Perbandingan ini sangat penting karena bentuk bangunan masjid kuno sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat, bila tidak mengetahui ini besar kemungkinan bangunan yang harusnya adalah masjid atau bangunan makam di katakan sebagai bangunan lain.

Metode ini kami gunakan karena banyaknya situs bangunan yang telah dihancurkan, dipalsukan, hilang, atau dipindahkan ke lokasi lain. Demikian pula halnya dengan bukti tertulis yang seharusnya dapat menjelaskan bangunan yang ada, namun karena adanya penyalinan naskah yang berulang-ulang, pemaksaan teori Hindu-Budha pada era kolonial hingga saat ini, menjadikan bukti tertulis tidak lagi dapat diandalkan keakuratannya.

6. Metode berikutnya adalah mengunjungi berbagai situs masjid kuno di Indonesia yang ada hingga saat ini, mempelajari sejarah bangunannya, sejarah wilayah dan tokoh yang terkait dengan masjid tersebut. Selain mengunjungi masjid dan makam, kami juga mempelajari sejarah situs berdasarkan penelusuran foto-foto sejarah masjid dan makam yang pernah ada.

Sebagai negara yang memiliki penduduk dengan agama mayoritas Islam sejak ratusan tahun lalu, Indonesia memiliki banyak sekali peninggalan-peninggalan Masjid dan makam kuno yang telah berdiri sejak awal kedatangan Islam di Nusantara.

Masjid adalah warisan peninggalan Islam, sementara makam adalah bukti sejarah yang paling akurat dalam memberikan informasi tokoh leluhur yang dimakamkan dan dengan keberadaan makam, menandakan bahwa tokoh yang dimakamkan tentulah beragama tauhid atau monoteisme, dan menjadi salah satu bukti yang penting bahwa tokoh leluhur nusantara bukan beragama Hindu atau Budha seperti yang kita ketahui dalam teori-teori buatan era kolonial. Teori ini dibuat oleh sejarawan Eropa yang kemudian diturunkan kepada para muridnya, pribumi atau non pribumi pasca politik etis.

Awal teori-teori ini dibuat hanya menjadi bahan diskusi dikalangan sejarawan kolonial dan sama sekali tidak menyertakan ilmuwan pribumi. Karenanya, dalam transliterasi naskah-naskah kuno dan prasasti banyak ditemukan kesalahan-kesalahan remeh yang seharusnya tidak ada, bila mereka benar-benar ahli dalam sejarah Hindia, atau berdiskusi dengan para ahli sastra yang tersebar di seluruh Hindia (Indonesia) pada saat itu. Contoh kesalahan fatal dalam transliterasi dan penerjemahan naskah diantaranya dalam penyebutan gelar ‘Ratu’ yang diterjemahkan sebagai gelar pemimpin wanita yang seharusnya adalah gelar untuk pemimpin laki-laki, ‘Keraton’ yang seharusnya adalah kota yang dikelilingi dinding dengan kompleks bangunan yang beragam diartikan sebagai istana, dan sebagainya.

Fakta dan fiksi seputar sejarah Masjid dan makam akan kami coba jelaskan bagian perbagian yang dimulai dengan sejarah masjid pada masa Rasulullah saw.

Sumber

Damais, Louis-Charles. 1995. “Epigrafi Islam di Asia Tenggara.” Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional kerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme Orient.