Ziarah ke Situs Makam Pasarean Agung Sentono Boto Putih (2)

Tokoh-tokoh yang dimakamkan di Sentono Boto Putih

Sentono Boto putih, seperti umumnya situs makam-makam kuno, terdiri dari beberapa kompleks makam. Pada tiap kompleks makam terdapat gapura paduraksa dan dinding yang mengitari makam yang disebut cungkup makam. Satu cungkup makam terdiri lebih dari 1 makam, biasanya dari satu keluarga. Cungkup makam ini memisahkan kompleks makam yang satu dan lainnya. Keberadaan cungkup makam yang unik yang tersebar di Nusantara sering kali dikatakan sebagai bangunan bercirikan Hindu atau Budha, padahal agama apapun tidak memiliki kaitan dengan bentuk bangunan. Bangunan terkait dengan budaya dan lingkungan dimana masyarakat tersebut berada.

Terdapat beberapa tokoh penting yang dimakamkan di Sentono Boto Putih ini. Berikut 5 tokoh yang cukup terkenal dan banyak diziarahi diantaranya :

1. Pangeran Lanang Dangiran/Kiai Ageng Brondong, w 1638. Seorang ulama dan pemimpin dukuh Botoputih. Beliau keturunan Brawijaya dan leluhur dari trah Kanoman dan Kasepuhan Surabaya (dukuh = wilayah setingkat kecamatan).

2. Mas Adipati Panji Djoyodirono. Wafat 1758. Beliau adalah cucu dari Ki Ageng Brondong, atau Putera ke-13 dari 14 putera Kyai Tumenggung Onggodjoyo I. Semasa hidup beliau menjabat sebagai Bupati Kanoman di Wonokromo Surabaya, 1746-1758.                                              (Sumber : https://id.rodovid.org/wk/Orang:238670)

3. Raden Tumenggung Adipati Aryo Tjondronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono). Wafat sekitar akhir abad ke-17.

4. Al Habib Syekh bin Ahmad bin Abdullah Bafaqih, wafat pada tahun 1811. Beliau adalah seorang pejuang melawan pemerintah kolonial Belanda dan juga guru dan penasehat dari keturunan pangeran Lanang Dangeran.

5. Maulana Mohammad Syaifuddin. Beliau adalah Sultan Banten ke XVII / yang terakhir yang wafat pada tanggal 3 Rajab 1318 H/11 November 1899.

Ziarah ke Situs Makam Pangeran Lanang Dangeran di Pasarean Agung Sentono Boto Putih.

Pangeran Lanang Dangiran dikenal pula dengan sebutan Kiai Ageng Brondong dan Sunan Boto Putih.

Ketiga nama di atas bukan nama asli beliau. Pangeran Lanang Dangiran adalah seorang tokoh ulama yang mengajarkan nilai-nilai Islam dalam  berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Pangeran Lanang Dangiran adalah 1 dari 5 bersaudara, putra dari Pangeran Kedawung atau Sunan Tawangalun. Dalam kisah babad, beliau disebut juga dengan penguasa atau Raja Blambangan. Pada usia 18 tahun pangeran Lanang Dangiran berguru kepada Kyai Kendhilwesi di Sedayu.

Hingga tulisan ini kami bagikan, kami baru menemukan sekilas biografi dan silsilah beliau berdasarkan silsilah keturunan beliau dan silsilah versi babad, namun sayangnya dari beberapa versi silsilah ini kami belum menemukan nama asli beliau. Silsilah keluarga dari keturunan beliau yang kami temukan pun kemungkinan bersumber dari versi babad, seperti silsilah keluarga yang banyak kami temukan di Indonesia. Salah satu ciri silsilah versi babad umumnya tidak menyertakan nama asli tokoh nasab. Nama yang digunakan umumnya julukan, gelar jabatan, tempat asal, tempat tokoh dimakamkan atau tempat wafatnya. contoh : Joko Tingkir, Jaka Sembung, Rakeyan Sancang, Pamanah Rasa dan sebagainya.

Berdasarkan beberapa silsilah yang kami temukan beliau adalah generasi ke-8 keturunan Brawijaya yang bernama asli wan Abu Abdullah, penguasa terakhir Champa dari tahun 1471-1478. Nama asli Brawijaya terakhir hingga leluhur beliau keatas kami dapat dari silsilah keluarga keturunan Raden Fatah (yang bernama asli Raden Hasan).

Berikut silsilah beliau :

1. Raden Sumana/Singhawardhana/Bhre Paguhan, nama asli beliau Abdullah Khan,  Kerajaan Paguhan meliputi wilayah sekitar Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo, Jawa Timur. Raden Sumana berputra

2. Wikramawardhana/ Raden Gagak Ali, nama asli beliau Ahmad Syah Jalal, berputra

3. Kertawijaya/Brawijaya I (Bhre Tumapel III) W 1451, nama asli beliau Jamaluddin Husein al Akbar, dalam karya sastra dan pewayangan beliau dikenal juga sebagai Prabusiliwangi terakhir, wafat di tahun yg sama dengan Brawijaya I.

4. Raden Rajasawardhana Dyah Wijayakumara / Brawijaya II + Putri Indu Dewi Purnamawulan (Bhre Lasem sang Halemu) W 1382, nama asli beliau Ali Nurul Alam, dalam kisah babad atau pewayangan dikenal sebagai Patih Gajah Mada. Keterangan nama asli ini didapat dari keturunan beliau yang berada di Kesultanan Kelantan, pada masa lalu disebut juga Kesultanan Chermin (sekarang Kelantan).

5. Bhre Kertabhumi / Raden Alit /Brawijaya V/ Ongkowijoyo/ Arya Dillah / Arya Damar / Damar Wulan nama aslinya adalah wan Abu Abdullah W 1478 (penguasa Champa terakhir) berputra

6. Raden Sudjana / Lembu Niroto. Gelarnya Adipati Blambangan (saudara Raden Fatah/Raden Hasan) berputra

7.  Menak Simbar / Adipati Puger, berputra

8. Menak Sumende. Gelar : Adipati Blambangan, berputra

9. Menak Gadru. Gelar : Adipati Blambangan, berputra

10. Menak Werdati / Menak Lampor = eyang/kakek dari Raden Paku Sunan Giri pancer trah Dermoyudo. Gelar : Jumeneng Bupati Blambangan, berputra

11. Sunan Rebut Payung / Menak Beduyu. Gelarnya adalah Adipati Blambangan Timur, berputra

12. Pangeran Kedawung / Pangeran Tawangalun / Adipati Blambangan Timur, berputra

13. Pangeran Lanang Dangiran / Ki Ageng Brondong W 1638

14. Anggawangsa Adipati Jangrana (Jayeng Rono) Bupati Surabaya.

15. Sawung Galing, Joko Berek, Joko Tangkeban (Panembahan Panotogomo).

Nama asli Brawijaya terakhir kami dapat dari silsilah keluarga keturunan Raden Fatah (Raden Hasan).

Nama asli pada silsilah Brawijaya ke atas sengaja hurufnya kami tebalkan agar bisa membedakan nama asli tokoh pada silsilah keluarga dengan nama yang tercantum pada silsilah versi babad, yang umumnya tidak menyertakan nama asli beliau.
Catatan ini juga kami khususkan bagi keturunan keluarga pangeran Lanang Dangiran, yang kebetulan membaca tulisan kami.

Silsilah keluarga yang lengkap dengan nama asli tokoh leluhur di Indonesia sangat penting dalam penelitian sejarah. Namun sayangnya silsilah keluarga yang lengkap ini agak sulit ditemukan, diantara penyebabnya adalah faktor keamanan. Keturunan dari tokoh-tokoh terkenal umumnya anti kolonial dan selalu menjadi pemimpin perlawanan kepada pemerintah kolonial. Karena faktor inilah pada masa lalu, untuk melindungi keturunan tokoh-tokoh terkenal ini sengaja dirahasiakan nama aslinya. Tentunya hal tersebut saat ini sudah tidak berlaku lagi, fungsi nasab saat ini lebih sebagai ilmu bantu penelitian sejarah, namun sayangnya menyamarkan nama asli tokoh leluhur akhirnya menjadi tradisi yang bahkan dikalangan keturunannya sendiri pun banyak yang tidak mengetahui seperti sebagian besar keturunan Raden Fatah dan Pangeran Lanang Dangiran pada umumnya.

Selain alasan keamanan, salah satu tujuan penyamaran nama pada silsilah versi babad juga bertujuan untuk menghormati sang tokoh yang juga leluhur Nusantara karena kisah babad adalah sumber kisah pewayangan yang dikisahkan berulang ulang dari masa ke masa. 

Ditulis oleh Sofia Abdullah

Sumber dan referensi

1. https://id.rodovid.org/wk/Orang:238670 (silsilah keturunan pangeran Lanang Dangiran)

2. Silsilah keluarga keturunan Raden Fatah / Brawijaya V

3. Beragam silsilah versi babad dan silsilah versi keluarga sebagai bahan perbandingan.

Pandita Ramabai vs Kartini (bag. 4_Selesai)

Bagian 4 (selesai)

Berdasarkan penelitian Pramoedya Ananta Toer dalam buku Biografi Kartini; ‘Panggil Aku Kartini Saja’, ia mengatakan diterbitkannya buku Doot Duisternis tot Licht (DDTL) di Belanda, salah satu penyebabnya terkait erat dengan persaingan pemerintah Kolonial Belanda dengan pemerintah kolonial Inggris yang berhasil ‘memakmurkan’ negara jajahannya, dengan mengangkat tokoh kesetaraan gender dari India, didikan pemerintah kolonial Inggris bernama Pandita Ramabai (1858-1922), yang berasal dari kasta Brahma yang akhirnya berpindah keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen.

Pemerintah kolonial Inggris membantu Ramabai mendirikan sekolah-sekolah dan yayasan sosial untuk wanita dan anak-anak perempuan serta mengadakan penghimpunan dana sosial dan pendidikan menggunakan namanya; Ramabai Fonds.

Singkatnya untuk menyaingi ‘kebaikan’ pemerintah kolonial Inggris di tanah jajahannya, dan menyaingi popularitas Ramabai dan Ramabai Fonds, serta memperlihatkan superioritas Belanda di tanah jajahannya, Belanda ingin menjadikan sosok Kartini sebagai ‘Ramabai’-nya pemerintah kolonial Belanda.

Namun fakta berkata lain, Kartini bukanlah ‘Ramabai’ atau sosok yang diinginkan Belanda untuk menunjukkan ‘kebaikannya’ sebagai pemerintah kolonial.

Kartini adalah Kartini, sosok wanita muda yang kritis dan sangat peduli dengan bangsanya, terutama kaum wanita dan anak-anak.

Pada sisi kedua kehidupan Kartini, pemahamannya tentang agama Islam, sebagai agama leluhurnya pun banyak berubah, karena telah menemukan sosok guru-guru yang mumpuni yang selama ini dicarinya. Pemahaman Kartini pada agamanya beriringan dengan pemahaman pada kondisi negerinya, dan Politik kolonial yang terjadi pada bangsanya. Pandangannya tentang Eropa, lingkungan dan agamanya banyak berubah dan mencapai puncaknya pada usia 20 tahun.

Pandangannya tentang Belanda dan Eropa menjadi terbalik, besar kemungkinan karena pengaruh ayahnya, Sosroningrat dan kakaknya, Sosrokartono, yang banyak berjuang lewat jalur diplomasi dan politik.

Perubahan sikap Kartini bisa di baca dalam surat-suratnya antara tahun 1901-hingga menjelang wafatnya 1904.

Kematian Kartini diusia muda telah meredam semua cita-cita mulianya yang telah ia rencanakan dengan suaminya, yang ia pilih tanpa paksaan dan kesadaran penuh. Pada saat itu Kartini bukanlah siapa-siapa, dan sosoknya hanya dikenal oleh orang-orang terdekatnya saja dan mereka yang bersinggungan langsung dengan Kartini.

Pemerintah kolonial tentunya tidak mengira hal ini akan terjadi, sikap Kartini yang ‘berbalik’ arah bukan hanya membuktikan ‘kegagalan’ pemerintah kolonial untuk ‘mendidik’ Kartini menjadi ‘Ramabai’-nya Belanda namun juga sebagai pengakuan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak dapat memakmurkan tanah jajahannya dan ‘mendidik’ pribuminya agar mencintai Belanda dan negara Eropa sebagai bangsa superioritas.

Dari sinilah urgensitas membentuk tokoh wanita yang pro kolonial itu muncul dikalangan tokoh Politik etis Belanda. Belanda tidak mungkin menggunakan tokoh-tokoh wanita lain yang jelas-jelas menyerang kedudukannya sebagai pemerintah kolonial, seperti Cut Nyak Dien, misalnya.

Satu-satunya cara untuk memenuhi urgensitas ini adalah dengan mengambil tokoh wanita sebagai pejuang kesetaraan gender yang didukung dan didanai oleh pemerintah kolonial, seperti yang terjadi pada Pandita Ramabai. Dari sinilah awal mula diterbitkannya surat-surat Kartini oleh J. H Abendanon, yang surat-suratnya banyak mengalami proses pengeditan hingga sesuai apa yang dibutuhkan pemerintah kolonial pada saat itu.

Kartini Mati Dibunuh?

Wafatnya Kartini pada usia 25 tahun, 4 hari setelah kelahiran putranya RM Singgih Soesalit, memang bukan hal yang aneh, namun asumsi Kartini tewas dibunuh pun bermunculan karena 2 sebab :

1. Proses kelahiran sangat sulit, hingga dokter Belanda yang membantunya menggunakan ‘alat bantu’ yang tidak di jelaskan apa yang dijadikan alat bantu tersebut, hingga proses kelahiran berhasil, namun Kartini mengalami pendarahan hebat, namun pendarahan ini pun berhasil dilalui, dan Kartini pun sehat kembali.

2. Pada tanggal 17 September tepat hari ke empat pasca melahirkan, menurut penelitian dr Bouman, Kartini pun masih sehat, hingga sebelum pulang kerumahnya dr. Ravetijn memberikan obat untuk kesehatan Kartini, namun tidak lama kemudian Kartini mengalami Kram perut dan hanya sekitar setengah jam setelah minum obat tersebut Kartini pun wafat. Dari sinilah asumsi dibunuhnya Kartini pun bermunculan, namun sayangnya tidak ada penelitian lebih lanjut tentang kasus ini.

Bila pun Kartini dibunuh, bukanlah satu hal yang aneh mengingat sosok Kartini adalah orang yang diharapkan oleh pemerintah kolonial dapat menjadi sosok seperti ‘Ramabai’ dan mengharumkan pemerintah Kolonial, namun yang terjadi justru berbalik, bukannya mengharumkan nama pemerintah kolonial seperti Ramabai mengharumkan nama inggris, Kartini justru menjadi pejuang dalam yang menentang pemerintah kolonial melalui jalur pendidikan dan karya tulis-nya yang sudah mulai dimuat di majalah-majalah dan koran-koran yang terkenal saat itu.

Rencana-rencana Kartini bersama suami dan saudara-saudara perempuannya dianggap berbahaya bagi kelangsungan pemerintah kolonial, walaupun baru rencana, tapi dengan dukungan kuat dari pengaruh dan kedudukan suaminya tentunya akan dengan mudah cita-cita Kartini terlaksana. inilah menurut pandangan kami yang memperkuat asumsi dibunuhnya Kartini dengan cara di racun oleh dokter yang membantu proses kelahiran putranya RM Singgih Soesalit.

Kesimpulan

1. Kartini memang bukan pahlawan seperti Cut Nyak Dien yang terjun kelapangan mengusung senjata bersama suaminya Teuku Umar atau pahlawan pendidikan dan diplomasi seperti Dewi Sartika dan Hajjah Rasuna Said, Kartini hanyalah sosok wanita bangsawan pada umumnya yang memiliki kemampuan untuk bersekolah dan melalui surat-suratnya dapat diketahui bahwa ia memiliki rasa empati dan kepedulian yang tinggi pada masyarakatnya terutama kaum wanita dan anak-anak sebagai generasi penerus negeri, dan tentu saja rasa peduli dan empati sangat tidak sebanding bila di sejajarkan dengan para pahlawan wanita yang lain yang turun langsung berjuang untuk memperbaiki nasib negeri ini dengan segenap tenaga dan kemampuan mereka dan semestinya hari Kartini di ubah menjadi Hari Pahlawan Wanita untuk mengenang jasa para pahlawan wanita bukan hanya Kartini saja.

2. Seperti layaknya manusia yang terus belajar, Kartini pun akhirnya mendapat ilmu yang memberikan penjelasan padanya dari yang tidak mengerti apapun menjadi mengerti, hingga ia banyak menyebut kata-kata “dari kegelapan menuju cahaya” yang kemudian diterjemahkan menjadi “Dot Duisternis Tot Licht” yang menandakan dua sisi Kehidupan Kartini dalam pemahaman agama-nya dan negerinya yang pada awalnya tidak mengerti yang diungkapkan seperti berada dalam kegelapan, menjadi mengerti yang diungkapkan Kartini bagaikan mendapatkan cahaya.

3. Setelah membaca dan mempelajari sosok Kartini dari buku-buku referensi yang kami gunakan untuk menulis artikel ini, dan mempelajari sejarah penerbitan buku edisi Belanda-nya dan edisi melayu-nya semakin jelas adanya kepentingan Belanda yang turut di propagandakan untuk mempercepat dilaksanakannya politik Etis yang hasil akhirnya akan menguntungkan pemerintah kolonial juga. Salah satu program politik etis adalah mempermudah beasiswa pendidikan tinggi ke Belanda dengan tujuan menciptakan generasi pribumi baru yang pro-pemerintah kolonial dan sekuler.

4. Kepentingan Belanda untuk merendahkan Islam di mata pemeluknya, juga terlihat dalam surat-surat Kartini mengenai pandangannya tentang Islam pada masa kanak-kanak dan remaja, namun ketika Kartini akhirnya menemukan guru dan medapatkan penjelasan-penjelasan tentang Islam yang selama ini ia pertanyakan dengan detail pada awal suratnya, seakan sengaja di hilangkan dan yang dikisahkan hanya proses perubahan pada diri Kartini setelah mengenal Islam lebih dalam melalui buku-buku berbahasa Arab pegon yang diberikan gurunya.

5. Sosrokartono adalah sosok kakak yang paling dekat dengan Kartini. Setelah sekolah di Belanda, Sosrokartono sering kali melakukan korespondensi dengan adiknya ini, namun anehnya dalam buku kumpulan suratnya tidak satupun surat dari Kartini yang ditujukan untuk kakaknya Sosrokartono. Kejanggalan juga terlihat dalam surat-surat Kartini yang memperlihatkan hubungan yang sangat akrab dan sangat terbuka, akan lebih cocok bila surat itu ditujukan dari seorang adik kepada kakak-nya, bukan kepada tokoh-tokoh politik Belanda dan istrinya yang belum pernah ditemui oleh Kartini, seperti yang terdapat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

6. Setelah mempelajari sepak terjang pemerintah kolonial Belanda dalam memalsukan bukti-bukti sejarah dari mulai buku hingga prasasti (lih. Postingan kami sebelumnya tentang pemalsuan sumber sejarah tertulis di Ind), besar kemungkinan buku ‘Dot Duisternis Tot Licht’ adalah memoar sosok Kartini yang ditulis oleh sang kakak yang jenius dan ahli bahasa Sosrokartono dalam bentuk roman epistolary atau novel epistolary yang memang sedang populer pada awal 1900-an. Novel Epistolary adalah novel yang berbentuk surat menyurat atau kisah perjalanan. Contoh novel Epistolary yang terkenal pada era Kartini adalah novel ‘Dracula’ karya Bram Stocker yang terbit tahun 1897.

7. Sosok Sosrokartono yang tidak dikenal selama ini dan tidak pernah dipublikasikan dalam buku–buku sejarah menambah kecurigaan kami bahwa kumpulan surat Kartini yang kemudian di bukukan adalah karya R.M.P Sosrokartono sebagai memoar untuk mengenang sang adik, Kartini, yang kemudian disunting, dicetak dan diterbitkan oleh J.H Abendanon untuk kepentingan politik etis pemerintah kolonial.

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Referensi

1. Satu Abad Kartini 1879-1979 : bunga rampai karangan mengenai Kartini/koordinator, Ariestides Katoppo, cet.ke-4 Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1990

2. Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara 2003

3. Pane, Amijn, Habis Gelap Terbitlah Terang, cet. Ke 23, Jakarta: Balai Pustaka 2006

4. TEMPO, Gelap Terang Hidup Kartini, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 2013

5. https://en.wikipedia.org/wiki/Kartini

6.https://en.wikipedia.org/wiki/Pandita_Ramabai

7.https://en.wikipedia.org/wiki/Epistolary_novel

8.https://mampirjepara.wordpress.com/tag/rmp-sosrokartono/

Dua Sisi Kehidupan Kartini (Bag. 2)

Siapakah Kartini?

Alur waktu di bawah ini akan menjelaskan pada kita dengan ringkas siapa Kartini;

21 April 1879 Kartini lahir dari rahim Ibunya yang bernama Ngasirah, garwa ampil (istri kedua) ayahnya, RM AA Sosroningrat yang berasal dari keluarga kaum bangsawan, dan pada saat itu menjabat sebagai bupati Jepara. Pada masa ini peraturan kolonial mengharuskan golongan bangsawan menikah dengan golongan bangsawan. Pernikahan dengan golongan yang bukan bangsawan akan dianggap pernikahan tidak resmi secara hukum, hanya resmi menurut Agama Islam (nikah siri). Istri dari golongan bangsawan disebut ‘garwa padmi’ atau istri utama, istri dari golongan non-bangsawan disebut ‘garwa ampil’ atau ‘garwa selir’.

1885-1892 Kartini kecil bersekolah di Sekolah Rendah Belanda (Europeesche Lagere School, setingkat dengan Sekolah Dasar pada saat sekarang) hingga berusia 12,5 tahun. Ketika sekolah ia dijuluki Kuda Kore (kuda liar) karena seringnya ia tertawa keras hingga terlihat giginya, sebagai anak bupati yang bergelar raden Ajeng yang memiliki banyak aturan tata krama, tentu saja hal ini adalah suatu pelanggaran.

1892 pada usia 12,5 tahun Kartini mulai di pingit, diberi pendidikan di balik dinding kompleks rumahnya. Dipingitnya Kartini bukan berarti ia tidak lagi mendapat pendidikan, seperti kalangan bangsawan pada umumnya Kartini tetap mendapat pendidikan formal dan ketrampilan dibalik dinding kompleks rumahnya, dengan bekal inilah kemampuan berbahasa dan menulis Kartini berkembang pesat.

1895 Kartini berusia 16 tahun, membuat tulisan pertamanya berupa artikel tentang perkawinan pada suku Koja, berjudul; Het Huelijk bij de Kodja’s.

1896, usia Kartini 17thn, kedua adiknya Roekmini dan Kardinah mulai dipingit bersamanya. Kakaknya Sosrokartono, melanjutkan sekolah HBS (setingkat SMP-SMA) ke Semarang. Sosrokartono banyak mengirimkan buku-buku, novel dan majalah yang sedang populer ketika itu, dari sinilah, Kartini memiliki pengetahuan yang luas tentang dunia luar.

1898 Artikel Kartini tentang Perkawinan pada Suku Koja dipublikasikan di jurnal Bijdragen TLV.

2 Mei 1898, usia 18 tahun, Kartini di bebaskan dari pingitan, kakak tercintanya Sosrokartono melanjutkan studi ke Belanda & menjadi Mahasiswa jenius, ahli bahasa yang disegani para dosen.

25 Mei 1899, usia Kartini 20 tahun, Mulai berkorepondensi dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar di Belanda.

1901-1902 usia Kartini 20-23 tahun menemukan guru yang mengajarkannya agama Islam, disinilah titik balik kehidupan Kartini dimulai, dari yang awalnya banyak memuji pemerintah kolonial, feminisme wanita Eropa, dan seolah-olah tergantung oleh pada pemerintah Kolonial, menjadi pengeritik keras terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, terutama tentang program Zending (Kritenisasi) disekolah, Rumah Sakit dan tempat pelayanan umum lainnya, dengan gaya bahasa yang pedas namun masih sangat sopan.

1903, Januari Tuan & Nyonya Abendanon membujuk Kartini untuk membatalkan niatnya bersekolah ke Belanda namun melanjutkan HBS ke Batavia. Kartini kecewa dan tidak disangka orang yang selama ini ia kira akan menolongnya justru menarik bantuannya. Kartini akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke Batavia.

Juni 1903 sambil menunggu surat Beasiswa-nya turun, Kartini bersama kedua adiknya menjadikan pendopo dibelakang rumah mereka sebagai sekolah gadis Jawa pertama di Hindia Belanda setingkat SD, untuk anak-anak gadis di lingkungan sekitar rumahnya. Suratnya yang bertanggal 4 Juli 1903 kepada Abendanon mengatakan bahwa Kartini senang sekali ia telah mempunyai 7orang murid.

Juli 1903 Dengan pilihannya sendiri, Kartini membatalkan niatnya untuk melanjutkan HBS ke Batavia, dan memilih menikah dengan Bupati Rembang RM Djojoadiningrat, dengan kesadaran penuh tanpa paksaan. Dalam suratnya pada tanggal 1 Agustus kepada ny. Abendanon Kartini menjelaskan alasannya mengapa ia membatalkan beasiswa pendidikannya ke Batavia, salah satu diantaranya adalah karena ia menyadari posisinya sebagai wanita untuk berjuang di bidang diplomasi sangat lemah, karenanya calon suaminya yang telah lebih dulu berjuang di bidang pendidikan ini akan menjadi penolong utamanya dan bekerja sama dalam mencapai cita-citanya mendidik bangsanya melalui jalur pendidikan dan diplomasi. (hal.198,Pane)

8 November 1903 menikah dengan bupati Rembang, RM Djojoadiningrat, surat-surat Kartini berpendapat terbalik dengan sejarah umum yang kita ketahui, bahwa seolah-olah Kartini menikah dengan terpaksa karena tidak Kuasa menolak tradisi, faktanya Kartini justru merasa senang dengan pernikahannya, karena suaminya memiliki cita-cita yang sama dengannya dan bersedia membantu Kartini mencapai cita-citanya mendirikan sekolah pribumi. Rasa syukur Kartini yang mendalam karena telah menemukan orang yang dapat mengerti perjuangannya dan berjanji akan membantunya, terlihat dalam suratnya kepada nyonya Abendanon pada tanggal 1 Agustus 1903, ketika ia menolak dengan sopan beasiswa untuk melanjutkan HBS untuk pendidikan guru ke Batavia yang ia dapatkan dari pemerintah kolonial dan memilih menikah saja, karena dengan menikah, dan bersama dengan suaminya ia akan lebih banyak menolong bangsanya. (hal. 199,Pane)

Dalam suratnya yang lain kepada Tuan Abendanon dan Nyonya ketika Kartini telah resmi menjadi Istri RA Djaja Adiningrat, Kartini mengatakan:

“Saya mengucap syukur, membiarkan saya dibimbing oleh orang yang ditunjukkan oleh Allah Yang Mahakuasa menjadi kawan saya seperjalanan menempuh hidup yang luas yang kerap kali sangat sukarnya ini.”

Cita-cita Kartini untuk melanjutkan sekolah memang tidak terwujud, namun cita-citanya yang lain yang jauh ia anggap lebih penting telah di depan mata, yaitu bersama suaminya kelak ia akan mendirikan sekolah dan mendidik kaum pribumi.

13 September 1904 melahirkan putra pertamanya R. M Soesalit

17 September 1904 Kartini wafat pada usia yang masih sangat muda 25 tahun, 4 hari setelah melahirkan anak pertamanya. Banyak asumsi yang beredar seputar kematiannya, karena 3 hari sebelumnya kondisi Kartini setelah melahirkan cukup baik, hingga tanggal 17 pun kondisi Kartini cukup baik. kondisinya memburuk setelah meminum obat dari dr Ravesteijn yang membantunya melahirkan. Kartini wafat setengah jam setelah meminum obat tersebut, dari sinilah kemudian muncul rumor bahwa Kartini meninggal karena diracun, namun sayang tidak ada yang bisa membuktikan asumsi ini. (hal. 109, Gelap Terang hidup Kartini)

Foto Kartini & Suaminya (atas). Bawah: foto R.M Singgih Soesalit, putra Kartini

Dari alur waktu diatas dapat kita ketahui bahwa :

Kartini lahir dan hidup pada masa Indonesia dalam keterpurukan yang dahsyat. Kemiskinan dan kelaparan merajarela akibat tanam paksa yang dilakukan Belanda untuk mengisi Kas negara yang kosong akibat perang Jawa yang dipimpin pangeran Diponegoro yang telah menguras Kas negara belanda.

Untuk meringankan beban penduduk jawa saat itu, para pejuang mengambil 2 sikap untuk menolong penduduk Hindia (nama Indonesia pada era kolonial), yaitu sebagai kaum ulama yang bersebrangan dengan pemerintah Kolonial dan sebagai pejabat pemerintahan yang seolah-olah taat pada aturan kolonial.

Ayah Kartini RMA Sosroningrat sebagai gol. Pejabat pemerintah, walaupun di satu sisi memiliki banyak keterbatasan menolong bangsanya, namun di sisi lain ia kuat dalam hukum, hingga mendapat fasilitas-fasilitas dari pemerintah kolonial yang tidak dapat diganggu gugat untuk kesejahteraan penduduknya.

Poligami yang dilakukan kaum bangsawan pada saat itu adalah salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan, dengan memiliki banyak istri dari rakyat biasa, satu orang kaum bangsawan dapat menolong puluhan warganya dari kemiskinan, seperti ibu kandung Kartini sendiri yang bernama Ngasirah.

Kondisi ini kemudian diketahui Kartini sejalan dengan bertambahnya usia. Menjadi istri ke empat dari Bupati Rembang dengan sadar dan tanpa paksaan pun juga sebagai bukti kepada masyarakat bahwa bukan hukum poligami yang ditentang Kartini, namun tradisi dan adat yang telah menyalah artikan hukum tersebut.

Kartini lahir pada era kemenangan Belanda atas para pejuang nusantara, yang mana Belanda memiliki aturan yang ketat bagi kaum bangsawan yang menduduki jabatan di pemerintahan.

Norma Norma yang berlaku dalam lingkungan keraton tidak lepas dari pantauan pemerintah kolonial, dari mulai sistem pendidikan hingga cara berpakaian.

Salah satu sistem pendidikan yang berlaku saat itu adalah mewajibkan anak-anak bangsawan sekolah di sekolah-sekolah Belanda. Disekolah ini setiap murid wajib mengikuti pendidikan kristen sebagai agama mayoritas pemerintah kolonial, mewajibkan kebaktian, walaupun beragama Islam, namun disisi lain melarang keras diterjemahkanya Al Qur’an dengan alasan Al Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan, Al Qur’an hanya diperbolehkan dipelajari hurufnya, dibaca tanpa difahami artinya.

Sistem pendidikan lain yang juga berlaku pada masa ini adalah dilarangnya Huruf Arab Jawa atau Arab Pegon yang telah umum digunakan masyarakat luas saat itu. Sebagai gantinya masyarakat jawa saat itu diwajibkan mempelajari huruf latin sebagai huruf bangsa Eropa dan wajib mempelajari huruf Jawa kuno, yang penggunaan sudah sangat jarang, hanya berlaku pada kalangan sastrawan pada masa itu. (lih. Arab di Nusantara, Van den Berg)

Akibat dari aturan di atas, sebagian besar kaum bangsawan akhirnya pro kepada Belanda, tidak mengenal agama dan tradisi leluhurnya, hingga lahirlah orang-orang jawa yang pro Belanda. Namun lain hal-nya dengan para pejuang yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, seperti RMA Sosroningrat, ia memilih memingit anak-anak putri mereka agar tetap kenal dengan ajaran agama leluhurnya dan tradisi bangsanya.

Dipingitnya Kartini adalah akibat dari campur tangan pemerintah kolonial untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pro kolonial, dengan cara ikut terlibat dalam mengatur Norma dan tradisi yang berlaku saat itu.

Singkat kata tradisi pingit pada masa itu terjadi bukan murni sebagai tradisi Jawa tapi akibat dari kebijakan Belanda mengatur sistem pendidikan sedemikian rupa hingga bila diikuti akan melahirkan generasi-generasi yang pro kolonial, terutama bagi kaum bangsawan saat itu.

Kartini hanya mengikuti sekolah wajib bersekolah di Sekolah Belanda dengan bahasa pengantar dan tulisan Belanda hingga tamat Sekolah Dasar, itupun telah membuat Kartini kecil ‘buta’ akan agama Islam, agama yang dianut oleh keluarganya secara turun temurun.

Mengapa demikian? Salah satu cara pemerintah kolonial mempertahankan negeri jajahannya adalah dengan menguasai agama, tradisi dan budaya yang di anut mayoritas masyarakat saat itu, dalam hal ini adalah Islam. Sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia masa itu, pemerintah kolonial harus mempelajari lebih dalam tentang Islam. Ajaran Islam dan tokoh-tokoh-nya dianggap sebagai ‘musuh’ pemerintah kolonial karena setiap kali ada perlawanan terhadap pemerintah kolonial sering kali didalangi oleh ulama atau Kyai.

Dari masa ke masa pemerintah kolonial kemudian banyak mengutus mata-mata untuk mempelajari Islam dan penganutnya agar mengetahui kelemahan kaum muslim dan mengalahkan mereka. Salah satu diantara tokoh mata-mata ini, yang teorinya masih digunakan hingga saat ini, bernama Snouck Hougronje. Menurut pendapatnya salah satu cara agar dapat ‘menjinakkan’ Hindia harus menjauhkan umat Islam dari agamanya, karena Islam mengajarkan membela diri dan berjuang melawan penjajahan, maka umat Islam identik dengan revolusi atau memberontak kepada pemerintah kolonial, dan cara menjauhkan Islam dari umatnya yang paling efektif adalah melalui dunia pendidikan yang diajarkan sedini mungkin.

pemerintah kolonial menerapkan sistem pendidikan yang disarankan oleh Snouck Hougronje dan para orientalis Belanda pada masa itu. Sistem pendidikan inilah yang berlaku pada masa Kartini.

Awal Kartini aktif menulis dan surat menyurat dengan koleganya di Belanda masih dalam usia yang terbilang muda 15-18 tahun, dalam kondisi dibalik tembok keraton, perjalanan keluar keraton adalah pengalaman yang luar biasa bagi Kartini dan saudara-saudaranya.

Dalam kondisi seperti itu bisa dikatakan pengetahuan Kartini pada awal ia melakukan korespondensi dengan kolega-nya di Belanda, tidak mengerti sesungguhnya kondisi politik dan perekonomian bangsanya, dan hal tersebut tentunya sangat wajar karena dunia yang diketahui Kartini hanya melalui buku-buku dan novel yang dibacanya.

Bertambahnya umur, beriring dengan kepandaiannya dan rasa ingin tahunya yang begitu besar, menjadikan Kartini tidak pernah berhenti belajar hingga akhirnya ia mengetahui segala situasi dan kondisi yang terjadi di negerinya.

Dari sinilah ia mulai berbalik, dari yang pada awalnya banyak memuji Belanda, menjadi pengkritik keras segala kebijakan Belanda, terutama peran pemerintah kolonial dalam usahanya melakukan Zending (menasranikan pribumi) melalui pendidikan dan pelayanan umum seperti rumah sakit.

Protes Kartini mengenai Zending dapat dibaca dalam suratnya kepada Tuan Abendanon, bertanggal 1 Febuari 1903, Kartini mengucapkannya dengan cukup tegas ; “usahakanlah Zending itu (sebagai suatu kegiatan sosial bagi masyarakat) tetapi tidak dengan menasranikan orang! (lih. buku Habis gelap terbitlah terang, hal.181, terj. Armijn Pane, cet. Ke 23 terbitan Balai Pustaka 2006 )

Pandangannya tentang agama pun mengalami perubahan total setelah bertemu beberapa orang guru, diantaranya yang ia sebutkan dalam surat-suratnya antara tahun 1901-1903, ada sosok wanita tua yang mengajarinya tentang makna agama, ada pula Kyai Sholeh Darat (1820-1903) yang walaupun tidak disebutkan namanya, namun Kyai Sholeh Darat adalah ulama yang menjadi pengisi tetap acara-acara keagamaan di Kadipaten Jepara. Menurut pengakuan cucu Kyai Sholeh Darat yang dimuat dalam Tribun Jateng, Kartini berguru pada beliau selama kurang lebih setahun. pengaruh Kyai Sholeh Darat dapat dilihat dalam surat-surat Kartini selanjutnya yang telah memiliki banyak pemahaman tentang Ilmu agama.

bersambung ke bag.3

Dua Sisi Kehidupan Kartini (bag.1)

Kartini & Politik Etis (bag. 3)

Dua Sisi Kehidupan Kartini (bag.1)

Sejak diangkatnya Kartini menjadi pahlawan nasional pada tanggal 2 Mei 1964, berdasarkan SK Presiden Sukarno no. 108 tahun 1964, namanya semakin mengundang kontroversi dari masa ke masa. Bagaimana tidak, karena pada masa yangvkurang lebih sama dengan masa Kartini hidup, bertebaran pahlawan wanita di berbagai propinsi di Indonesia dengan berbagai keahlian dan kontribusi mereka kepada bangsanya.

Pertanyaan-pertanyaan penulis seputar kehidupan Kartini kemudian merebak, dan penulis yakin pertanyaan yang sama timbul di kalangan pemerhati sejarah, “kenapa seolah-olah hanya Kartini satu-satunya pahlawan wanita yang paling berjasa di Nusantara?” “apakah perannya demikian besar hingga ada hari khusus dan lagu untuk mengenang beliau?”

Siapakah sebenarnya Kartini? Benarkah sosok Kartini terkait dengan Politik Etis? Benarkah Kartini Dibunuh?

Tulisan ringkasan biografi Kartini yang kami bagi menjadi 4 bagian ini, semoga dapat menjawab pertanyaan – pertanyaan yang beredar seputar sosok beliau, yang juga menjadi pertanyaan kami selama ini sebagai pemerhati sejarah nusantara. Sosoknya yang mengundang pro-kontra membuat kami semakin penasaran untuk menelusuri kehidupan Kartini yang singkat namun meninggalkan banyak pertanyaan seputar sosoknya.

Sumber utama tulisan ini adalah buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang disusun ulang oleh Armijn Pane hingga menjadi bab-bab yang kita kenal sekarang. Buku ini adalah kumpulan surat R.A Kartini yang berdasarkan sejarah yang kita ketahui selama ini dibukukan oleh salah seorang sahabat pena Kartini, bernama J.H Abendanon, dengan judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya Dari Kegelapan Menuju Cahaya.

Buku ini kemudian diterjemahkan oleh 4 orang sarjana Leiden dari Hindia Belanda (Indonesia) dan disusun kembali oleh Armijn Pane. Namun sayangnya sejak awal buku ini terbit baik dalam bahasa Belanda-nya apalagi terjemahan bahasa melayu-nya mengalami banyak sekali penyuntingan atau di edit, dan terjemahan bahasa Indonesia yang ada pada kita saat ini hanya tinggal sekiyar 40% dari edisi Bahasa Belanda-nya.

Buku-buku lainnya yang menjadi sumber tulisan ini antara lain; Satu Abad Kartini (1979) yang merupakan kumpulan tulisan para ahli yang telah membaca dan meneliti kehidupan Kartini, buku biografi Kartini karya Pramoedya Ananta Toer (alm) yang berjudul ‘Panggil Aku Kartini Saja’ dan buku penelitian Tempo; ‘Gelap Terang Hidup Kartini’, dan beberapa penelitian lain yang saya ambil dari beberapa website.

Setelah membaca dan mempelajari lebih dalam, barulah dapat difahami siapa itu Kartini berdasarkan surat-suratnya, dan Kartini berdasarkan penelitian para ahli sejarah dari masa ke masa.

Dari surat-suratnya kepada para sahabatnya kita bisa melihat pandangan-pandangan Kartini ketika ia berusia kanak-kanak, remaja hingga dewasa dan apa yang mendasari seorang Kartini bersikap demikian.

Dari beberapa buku yang menjadi pegangan kami untuk menulis artikel ini, kami pelajari ada dua sisi dalam kehidupan Kartini yang terungkap dalam surat-suratnya, sisi pertama adalah sosok Kartini yang masih sangat muda dengan emosi yang bergolak, yaitu usia 12-17 tahun, dan sosok Kartini yang mulai dewasa pada usia 17-25 tahun, yang telah mengerti tentang segala hal di lingkungannya dengan lebih mendalam. Namun sayangnya sosok Kartini dan pandangan-pandangannya yang telah dewasa jauh melebihi batas umurnya dalam melihat kondisi di sekitarnya dengan lebih mendalam justru kurang diperhatikan.

Sisi pertama kehidupan Kartini telah banyak kita ketahui melalui forum diskusi, laman-laman di Website ataupun media sosial, karenanya dalam tulisan ini penulis akan lebih menyorot sisi kehidupan Kartini saat ia berusia 17-25, dan kejanggalan-kejanggalan seputar kehidupan Kartini.

Namun demikian satu hal yang tidak pernah berubah dari seorang Kartini adalah keinginannya untuk memajukan bangsanya terutama kaum wanita lewat pendidikan, tujuannya jelas, bukan untuk menjadi pegawai pemerintah, atau bekerja di luar rumah, namun tujuan pendidikan bagi kaum wanita menurut Kartini terkait dengan tugas utama wanita sebagai pendidik anak-anaknya, seperti yang tertulis dalam suratnya :

“dan bagaimanakah seorang Ibu dapat mendidik anak-nya kalau ia sendiri tidak berpendidikan?”

Kedua sisi dalam kehidupan Kartini dapat terbaca dalam surat-suratnya yang ia tulis ketika berusia 17-19 tahun, sebagai seorang remaja yang megisahkan kehidupannya, suka dukanya dan pandangannya pada masa kanak-kanak dan remaja. Dan sebagaimana remaja pada umumnya yang memiliki emosi yang bergolak, Kartini pun demikian, ia banyak meluapkan emosinya tentang lingkungan sekitarnya, agama, tradisi dan adat yang berlaku saat itu.

Dan sebagaimana layaknya remaja, dan tinggal di dalam pingitan, tentunya memiliki pengetahuan yang sangat kurang tentang kondisi Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negeri jajahan, dan tidak mengetahui dengan jelas penyebab terpuruknya kondisi lingkungan sekitar kediamannya serta kebijakan-kebijakan yang diambil kaum bangsawan ketika itu.

Sebagai seorang remaja, ketidak tahuan Kartini tersebut adalah hal yang sangat wajar mengingat usianya yang masih sangat belia, yaitu 12,5 tahun ketika mulai dipingit. Sebagai anak yang pandai dan memiliki rasa ingin tahu yang besar ia ingin sekali meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, namun tidak di perbolehkan karena alasan tradisi dan adat. Dari sinilah Kartini muda mulai protes, terhadap lingkungan sekitarnya.

Walaupun demikian Kartini termasuk gadis yang cukup beruntung pada masanya, karena selain terlahir dari keluarga bangsawan, ayah, kakeknya dan garis keturunannya keatas adalah juga kaum intelektual dengan pemahaman Islam yang bagus, karena itu rasa ingin tahu Kartini yang besar pun terfasilitasi.

Hal ini terlihat karena dalam masa pingitan pun ayahnya, R. M. A Sosroningrat, tetap memberikan pendidikan yang terbaik bagi putri-putrinya. Dalam hal pendidikan agama pun sebenarnya Kartini cukup mendapatkannya dari ayahnya ataupun ibu kandung-nya, Ngasirah. Ngasirah adalah putri seorang guru agama yang disegani, ia mendidik Kartini cukup keras dalam membaca dan menghafal Al Qur’an.

Namun sayang ajaran Islam yang diterima Kartini hanya bersifat ritual tanpa penjelasan. Penjelasan yang ia dapatkan hanya bersifat petuah atau nasehat turun temurun dari keluarganya, dan beberapa diantaranya sudah berbaur dengan tradisi dan adat.

Hal ini terjadi karena pemerintah kolonial mengatur pendidikan agama Islam bagi para pejabat dengan demikian ketat hingga walaupun membaca Al Qur’an masih diperbolehkan namun penerjemahannya serta tafsirnya dilarang, karena belanda takut bila kaum muslim mengetahui ajaran Islam, akan terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Namun karena masih belia Kartini tidak mengetahui politik kolonial ini.

Pergaulannya yang luas dengan kalangan Nyonya-nyonya Belanda, kenalan ayahnya, berpengaruh banyak terhadap pola pikir gadis Jawa ini, ditambah lagi tradisi feodal di kalangan bangsawan Jawa, yang dimata Kartini sangat merendahkan wanita, berbanding terbalik dengan apa yang Kartini kecil lihat terhadap perlakuan wanita Eropa, hingga menambah deretan kekaguman Kartini kecil kepada bangsa Eropa.

Namun berjalannya usia, bertambahnya ilmu, membuat Kartini semakin faham bahwa apa yang selama ini ia anggap benar ternyata tidak selamanya benar. Demikian pula sebaliknya, sesuatu yang ia anggap salah belum tentu salah.

Inilah periode terbalik dalam kehidupan Kartini, ketika ia berumur 18 hingga wafatnya pada usia 25 tahun.

Titik balik kehidupan Kartini dimulai ketika ia bertemu beberapa orang guru yang mengajarkan agama Islam padanya, dari guru-guru nya inilah ia mulai berkenalan dengan Islam sejati melaui terjemah dan tafsir Al Qur’an.

Tentang gurunya ini Kartini mengatakan dalam suratnya :

“Ada disini seorang tua tempat aku meminta bunga yang berkembang di dalam hati (maksudnya Ilmu agama yang selama ini dirindukan Kartini).

Sudah banyaklah yang diberikannya dan sangatlah banyaknya ‘bunga’ simpanannya, dan aku hendak lagi, senantiasa lagi, dan dia pun suka menambahnya lagi dan lagi tapi tiada boleh aku peroleh dengan percuma saja, bunganya itu harus kubeli…

dengan apa? Apakah pembayarannya? Lalu dengan sungguh-sungguh terdengarlah suaranya mengatakan, “berpuasalah sehari semalam, berjagalah pula waktu (malam) itu, bersepikan diri (perbanyaklah tafakkur/merenungi nikmat yang telah Allah SWT berikan).

Habis malam datanglah siang

Habis topan datanglah reda

Habis perang datanglah menang

Habis duka datanglah suka.

(Hal. 149, Pane)

Islam yang selama ini ia ketahui hanya dari ritualnya saja, dan hafalan-hafalan ayatnya saja, kini telah membukan cakrawala ilmu bagi seorang Kartini. Tentang periode ini, dalam suratnya kepada nyonya Van Kol ia mengatakan :

Wahai sangat benar gembira hati para orang tua karena kami yang tersesat telah balik kepada jalan yang benar, sangatlah mengharukan hati kami. Seorang tua disini karena girangnya, menyerahkan kepada kami semua kitab-kitabnya, naskah bahasa Jawa, yang ditulis dengan huruf Arab, kami pelajarilah kembali, membaca dan menulisnya (maksudnya naskah bahasa Jawa dengan huruf Arab atau arab pegon_penulis) (lih. Hal.151, Pane)

Setelah periode ini, sering kali dalam suratnya kepada teman-temannya ia mengatakan “dari kegelapan menuju cahaya” yang dipetik dari Al Qur’an surat al Baqarah : 257, untuk menggambarkan perubahan dirinya dari Kartini yang lama menjadi Kartini yang baru, dari yang tidak mengerti apa-apa tentang agama, menjadi mengetahui ajaran-ajaran agamanya, sehingga ia merasa mendapatkan cahaya setelah berjalan di kegelapan.

Dari kata-katanya ini-lah diambil judul kumpulan suratnya yang dalam bahasa Belanda memiliki arti yang sama “Door Duisternis tot Licht” yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Habis gelap terbitlah terang” agar terdengar lebih puitis.

Dalam buku penelusuran Pramoedya Ananta Toer tentang RA Kartini, yang kemudian ia beri judul ‘Panggil Aku Kartini Saja’, Pramoedya Ananta Toer menyatakan dengan gamblang bahwa pemerintah Belanda dengan politik etisnya membesarkan nama Kartini karena Kartini dianggap sebagai contoh terbaik ‘didikan’ Belanda yang bisa diberikan kepada pribumi jajahannya. (hal. 12). Benarkah demikian?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, baiknya kita mengetahui dulu siapa itu Kartini melalui alur waktu kehidupan Kartini.

(bersambung ke Bagian 2)

Dua Sisi Kehidupan Kartini_Siapakah Kartini? (Bag. 2)