‘Membaca’ Babad Tanah Jawi

Ketika awal penelitian sejarah beberapa tahun yang lalu, Babad Tanah Jawi dan Naskah-naskah kuno sejenis adalah sasaran utama kami untuk mengetahui sejarah tanah Jawa dan Nusantara langsung dari penulis nusantara, bukan teori-teori milik para sejarawan era kolonial.

Ternyata tidak seperti harapan kami sebelumnya, yang mengira akan menemukan sejarah Nusantara yang asli, alih-alih kami menemukan banyak hal yang tidak patut dan seronok ketika membaca naskah-naskah ini.

Naskah demi naskah kami telusuri sebagai bahan perbandingan isi naskah, dan lagi-lagi kami menemukan banyak hal yang janggal, yang rasanya mustahil ditulis oleh para pujangga keraton yang ilmunya tinggi dan memahami sejarah negeri ini dengan bahasa yang fasih.

Akhirnya penelusuran melalui naskah kuno kami hentikan sementara, beralih pada bukti sejarah yang lain berupa bukti bangunan, silsilah, diskusi dengan para ahli sejarah dibidangnya masing-masing dan catatan para orientalis Eropa yang datang ke Nusantara sekitar abad ke-17 dan 18.

Kami beralih pada bukti sejarah yang lain bertujuan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Nusantara pada masa naskah-naskah ini dibuat.

Dari hasil penelusuran yang kami lakukan, Rusaknya mayoritas naskah-naskah kuno di Indonesia sangat erat kaitannya dengan politik dan kekuasaan yang ada saat itu, karena penguasa memilki peran yang sangat penting dalam melestarikan atau merusak sejarah suatu bangsa.

Dari bukti-bukti diatas kami akhirnya mendapat jawaban, kenapa mayoritas naskah-naskah kuno, seperti babad tanah Jawi, naskah Wangsakerta, Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah kuno yang lain memiliki pola kisah yang hampir sama, yaitu;

Kecendrungan untuk menghina para wali dan ajaran Islam, penghinaan pada leluhur Nusantara dan hal-hal sejenis yang mustahil ditulis oleh para pujangga keraton kecuali posisi mereka berada dibawah kecaman dan tekanan.

Berikut kesimpulan yang kami dapatkan agar lebih mudah memahami Babad Tanah Jawi :

1. Babad Tanah Jawi yang ada saat ini adalah Babad Tanah Jawi hasil salinan para sarjana Belanda yang kemudian disalin berulang-ulang oleh para muridnya dari generasi ke generasi, hingga memiliki banyak versi.

2. Babad Tanah Jawi versi aslinya ditulis dalam bentuk tembang macapat, berbahasa jawa kuno. Bahasa Jawa kuno dengan huruf sanskrta pada masa Babad Tanah Jawi ini dibuat, baik yang asli yang dibuat akhir tahun 1600an atau Babad Tanah Jawi yang salinan yang dibuat akhir tahun 1800an adalah bahasa istimewa, bahasa kuno khusus yang dipelajari oleh para pujangga dan ahli sejarah keraton untuk melestarikan sejarah negeri ini. Dikatakan sebagai bahasa istimewa karena bahasa yang umum digunakan pada masa itu dan ratusan tahun sebelumnya adalah bahasa ‘Jawi’ atau ‘Arab pegon’ yaitu bahasa Melayu, Sunda dan Jawa yang di tulis dengan tulisan/huruf Arab dengan penambahan beberapa huruf disesuaikan dengan bahasa Melayu, Sunda dan Jawa.

3. Babad Tanah Jawi ditulis dalam bentuk Tembang macapat yaitu sejenis puisi yang terikat oleh konvensi/aturan penulisan yang sangat ketat. Babad tanah Jawi yang ada saat ini dan menjadi salah satu sumber sejarah tanah jawa atau sejarah Indonesia adalah penyeragaman Gaya penulisan dari beberapa orang penulis dan penerjemah yang memiliki Gaya penulisan berbeda-beda.

4. Adanya perubahan bentuk dari puisi ke prosa (karangan bebas), ditambah lagi tata bahasa dan cara membacanya yang rumit, menyebabkan perlunya keahlian khusus untuk bisa menerjemahkan naskah kuno yang berbentuk tembang macapat ini. Karena alasan inilah pemerintah kolonial mempekerjakan para pujangga keraton baik sukarela atau dengan paksaan.

5. Berikut jenis tembang macapat yang banyak digunakan dalam babad tanah jawi :

Dhandhanggula : Dhandanggula adalah tembang yang berisi harapan yang baik. Karena berisi harapan yang baik, nasehat, dan sebagainya, penulisan dhandhanggula memakai metrum yang isinya lembut dan manis seperti gula. Tembang dhandhanggula memiliki watak yang luwes dan mengenakkan. Cocok sebagai pembuka suatu pembelajaran, rasa cinta. Lambang dari tembang ini adalah kisah anak muda yang mengalami kejadian yang indah.

Cara penulisan: tembang dhandang gula terdiri dari 10 larik (baris kalimat), tiap-tiap barisnya memiliki aturan penulisan yang berbeda pula.

Baris pertama terdiri atas 10 suku kata, berakhiran huruf ‘i’ (10 i), Baris ke-2: 10 a, Baris ke-3: 8 e, Baris ke-4: 7 u, Baris ke-5: 9 i, Baris ke-6: 7 a, Baris ke-7: 6 u, Baris ke-8: 9 a, Baris ke-9: 12 i, Baris ke-10: 7 a

Pangkur : Tembang macapat pangkur banyak digunakan pada tembang-tembang yang bernuansa Pitutur (nasihat), pertemanan, dan cinta. Baik rasa cinta kepada anak, pendamping hidup, Tuhan dan alam semesta. Banyak yang memaknai tembang macapat pangkur sebagai salah satu tembang yang berbicara tentang seseorang yang telah menginjak usia senja, dimana orang tersebut mulai mungkur atau mengundurkan diri dari hal-hal keduniawian. Oleh karena itu sangat banyak tembang-tembang macapat pangkur yang berisi nasihat-nasihat pada generasi muda.

Pangkur terdiri atas 7 larik (baris), larik pertama terdiri atas 8 suku kata, diakhiri dengan huruf vokal a (8-a), larik ke-2: 11-i, larik ke-3 : 8-u, larik ke-4 : 7-a, larik kelima : 12-u, larik ke-6 : 8-a, larik ke-7 : 8-i

Asmarandana : salah satu tembang macapat yang berisi perjalanan kehidupan, kisah percintaan. Terdiri dari 7 larik: 8-i, 8-a, 8-é, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a

6. Dalam Aturan poetika jawa atau Sunda, aturan/konvensi tersebut dinamanakan guru wilangan dan guru lagu. Akibat aturan guru wilangan dan guru lagu diatas para pujangga jawa dituntut ketrampilan yang luar biasa dalam mengolah bahasa. Namun sebagai sumber informasi adanya aturan guru lagu dan wilangan ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada nama tokoh dan peristiwa untuk menyesuaikan aturan guru wilangan dan guru lagu tersebut, contohnya penyebutan tokoh dan tempat yang sama bisa disebut dengan nama yang berbeda-beda. (sumber hal. ix Babad Tanah Jawi Vol. 1)

7. Karena sulitnya menulis dan mengartikan babad Tanah Jawi ini, pemerintah kolonial Belanda tetap menggunakan jasa para pujangga keraton untuk menulis kembali, mengartikan, dan membuatnya menjadi bentuk prosa sesuai keinginan mereka agar lebih mudah difahami oleh para sarjana Belanda. Tapi sayang salinan ini kemudian banyak mendapat penambahan dan pengurangan pesanan pemerintah kolonial. Penambahan dan pengurangan isi babad versi salinan pemerintah kolonial dapat dilihat dari kisah-kisah tidak masuk akal yang menghinakan leluhur nusantara, kisah perselingkuhan, incest dan kisah detail yang seronok yang sangat tidak pantas untuk dimasukkan dalam kisah kronik pemerintahan.

Setelah mengetahui 7 poin tentang Babad Tanah Jawi di atas, kami harapkan para pembaca, peminat sejarah dan rekan peneliti dapat bersikap lebih kritis ketika mengambil dan menyikapi informasi yang diperoleh dari kisah-kisah babad, wawacan, dan naskah kuno lainnya, karena mayoritas naskah-naskah ini adalah salinan yang sangat rentan dengan pesanan pemerintah kolonial saat itu.

Tujuan utama penyalinan ini adalah untuk membenarkan teori-teori sejarah Indonesia buatan era kolonial, terutama sejarah yang terkait dengan leluhur Nusantara, karena berdasarkan teori kolonial, leluhur nusantara adalah bangsa yang primitif, yang sangat rendah kedudukannya bila dibandingkan bangsa Eropa.

Padahal fakta dilapangan membuktikan sebaliknya. Canggihnya informasi dua dekade terakhir melahirkan banjirnya informasi sejarah yang memungkinkan kita untuk dapat mempelajari bukti-bukti arkeologis, tradisi dan naskah-naskah kuno yang ditemukan di berbagai belahan dunia yang membuktikan bahwa leluhur nusantara adalah para pelaut yang hebat yang berperan penting dalam perdagangan dunia kuno.

Tokoh-tokoh Islam dalam kisah-kisah babad, mulai dari nama hingga biografi dapat dikatakan hampir semua bercampur dengan kisah fiktif atau potongan kisah para nabi dan rasul hingga tidak layak dijadikan sumber sejarah. Kisah Raden Fatah yang membunuh ayahnya, Brawijaya setelah masuk Islam adalah salah satu contohnya, kisah ayah membunuh anak atau sebaliknya hanya karena sang anak atau sang ayah beragama Islam, banyak terdapat dalam naskah-naskah kuno yang tersebar dalam naskah-naskah kuno dari kepulauan Nusantara hingga semenanjung Melayu.

Rusaknya sejarah Islam dalam naskah babad dan naskah kuno pada umumnya terkait dengan perubahan sistem politik dan usaha pemerintah kolonial untuk merusak citra tokoh pemimpin Islam agar tidak dihormati lagi oleh masyarakat. Karena tokoh-tokoh Islam sering kali memimpin perlawanan kepada pemerintah kolonial.

Contoh kisah tokoh Islam yang memiliki sejarah keluarga yang tidak jelas seperti pemimpin Pajang sultan Hadiwijaya alias JokoTingkir yang memiliki leluhur siluman Buaya putih, Sunan Giri yang dibuang ke laut karena dianggap pembawa sial oleh kakeknya, sang raja Blambangan atau tokoh wali membunuh wali yang lain, semua kisah ini terjadi karena naskah Babad Tanah Jawi yang asli dibuat pada era pergantian pemimpin melalui kudeta dari era kasunanan yang dipimpin oleh sultan Pajang dengan sistem pemerintahan Walisongo-nya menjadi Kesultanan atau kerajaan yang berafiliasi ke Turki Utsmani dengan gelar pemimpin tertingginya adalah Sultan Agung.

Naskah-naskah ini pada era kolonial kemudian dipelajari dan disalin berulang-ulang hingga sampai ke masa kita sekarang.

Namun demikian walaupun naskah-naskah kuno ini adalah salinan dan rentan pemalsuan namun masih sangat bisa untuk digunakan sebagai sumber sejarah tertulis, karena banyak informasi yang bisa kita ambil baik secara langsung atau tidak mengenai sosial budaya, bentuk bangunan, tata kota dan sebagainya yang ada pada saat itu. Namun sebagai peneliti dan peminat sejarah, membandingkan naskah yang satu dan lainnya sangat diperlukan, terutama melakukan perbandingan dengan bukti tertulis yang lain seperti; Prasasti, Nisan, surat menyurat, catatan perjalanan dari bangsa lain yang berkunjung ke Nusantara dan sebagainya.

Dengan metode perbandingan isi kita dapat menyimpulkan jalannya sejarah yang berlaku saat tulisan tersebut dibuat. Cabang-cabang ilmu yang lain juga diperlukan, seperti arkeologi, paleologi, filologi, genetika sebagai penguat bukti sejarah.

Ditulis oleh : Sofia Abdullah

Sumber :

1. Rochyatmo. Amir, Wimarta. Sri. Soekesi, Babad Tanah Jawi Vol. 1, Amanah Lontar, 2003

2. Riana. I Ketut, S. U. Prof. Dr. Drs, Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara Krtagama Masa Keemasan Majapahit, Cet 1, Kompas Media Nusantara

3. Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Cet.1, Kepustakaan Popular, Gramedia 2012.

4. Al Hadad. Bin Thahir. Al Habib Alwi, Sejarah Masuknya Islam Di Timur Jauh, Cet.I, 2001, Lentera Baristama.

5. Sunyoto, Agus, Atlas Wali Songo, Cet.1, 2012, Pustaka Iman.

6. C.I.E.MA.Arnold.TW, Preaching Of Islam : A History Of The Progation Of The Muslim Faith, 1913.

7. Aceh, Aboebakar.H.Dr.Prof, Sekitar Masuknya Islam Ke Indonesia, Cet.4,1985, Ramdhani.

8. Saefullah. DR. H. SA. MA, Sejarah &Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Cet. 1, 2010, PustakaPelajar

Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Cet. 1, 2010, PustakaPelajar

9. Al Mahsyur. Alwi. Idrus, Sejarah Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW Di Indonesia Singapura Malaysia Timur Tengah India Dan Afrika, Cet.4, 2013, Sara Publishing.

10. Solikhin, Muhammad. KH, Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Di Eksekusi Wali Songo, Erlangga,2011.11.

11. Adam. Warman. Asvi, Menguak Misteri Sejarah, Cet.1, 2010, Kompas.

12. Ricklefs.M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Cet.1, 2005, Serambi Ilmu Semesta.

13. Suryanegara. Mansur. Ahmad, Api Sejarah , Cet.1, 2009, Salamadani.14. Dan sumber- sumber lain yang terkait.

14. Dan sumber- sumber lain yang terkait.

Tinggalkan komentar